riana's playlist

859 176 10
                                    

break the rules


“Riana!”
 
Riana buru-buru menarik diri saat mendengar suara Giska, begitu lantang di tengah riuhnya pesta. Tampaknya mencari Riana karena harus melakukan sesi foto bersama dengan si birthday girl yang hari ini usianya resmi bertambah. 
 
Jiwa mundur selangkah, lalu tersenyum.
 
“Tunggu di mobil, nanti aku nyusul ke sana,” bisik Riana di dekat telinga Jiwa, kemudian beranjak menuju lantai dasar.
 
Sayang sekali ciuman harus disudahi, mengingat mereka sedang berada di ruang umum. Terlebih, dikelilingi selebgram yang sibuk merekam video. Bayangkan jika Jiwa dan Riana terekam sedang berciuman mesra di balkon? Bisa dipastikan besok pagi akan ada thread panjang lebar soal pasangan yang melakukan hal tak senonoh di pesta ulang tahun seorang selebgram.
 
Jiwa menuruti ucapan Riana. Tanpa menyentuh cocktail atau champagne, langsung berjalan menuju pelataran parkir. Menebus riuhnya kerumunan dan gegap gempita pesta.
 
Setibanya di pelataran parkir, Jiwa berdiri di samping mobilnya. Merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel yang sejak tadi dalam mode silent. Ada beberapa pesan baru, dari atasan yang bertanya soal progress desain untuk sebuah produk kosmetik.
 
Sambil menunggu Riana datang, Jiwa memutuskan untuk membalas pesan dari atasannya.
 
Selang lima belas menit, akhirnya Riana muncul. Berlari kecil dari pintu lounge and bar, wajahnya berseri-seri. Mungkin baru saja meneguk segelas cocktail.
 
Be careful. Jangan lari-lari,” ucap Jiwa.
 
Riana tersandung karena kondisi pelataran parkir yang cukup gelap, tapi Jiwa menangkapnya dengan sigap. Sehingga Riana tak sampai jatuh mencium paving block.
 
“Kayak Gemi aja sukanya lari-lari,” ucap Jiwa.
 
Riana tertawa, lalu berkata, “let’s go. Kita jalan-jalan aja, aku nggak betah di sini. Terlalu banyak selebgram.”
 
Right now? Kamu udah pamit sama Bita?”
 
“Habis acara potong kue, aku langsung pamit pulang.”
 
Jiwa mengangguk, kemudian membuka pintu mobil. Mempersilakan Riana untuk masuk terlebih dulu, layaknya seorang putri yang harus selalu dijaga oleh bodyguardnya. 
 
She flutters.
 
Mau semandiri apa pun Riana, tetap saja ia senang diberi perhatian-perhatian manis dari seseorang. Dari luar memang terlihat sangat tangguh, seperti perempuan ambisius yang tak membutuhkan bantuan dari siapa pun. Tapi, sebenarnya hatinya selembut kapas.
 
Riana tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil.
 
Setelah itu, barulah Jiwa ikut masuk. Duduk di depan kemudi, memasukkan kunci.
 
“Mau ke mana?” tanya Jiwa setelah menyalakan mesin mobilnya.
 
Night drive,” jawab Riana sambil tertawa. “I mean, ini masih terlalu awal buat pulang. Lagipula besok juga libur.”
 
“Makan malam di mana?”
 
Drive thru.”
 
“Kangen fast food, ya? Selama di lapangan pasti nggak pernah makan di luar, kan?”
 
“Hei, aku nggak selalu di perkebunan. Kadang ke kota juga, beli jajanan.”
 
Jiwa terkekeh pelan, kemudian mulai melajukan mobilnya. Meninggalkan lounge and bar yang terletak di Senopati.
 
Kondisi jalan masih ramai, meskipun tidak sepadat saat rush hour. Restoran, coffee shop, dan bar yang terletak di kanan dan kiri jalan mulai dipadati oleh pengunjung. Tanda bahwa kehidupan malam di ibukota telah dimulai.
 
“Putar musik, Babe. Biar nggak terlalu sunyi,” kata Jiwa di tengah perjalanan.
 
“Mau coba dengerin lagu dari playlistku?” tanya Riana sembari mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam tas.
 
“Boleh. Aku juga penasaran kamu sukanya lagu-lagu yang kayak apa.”
 
“Oh, aku nggak yakin kamu bakal suka.”
 
“Kamu suka musik rock?”
 
No!”
 
“Udah lebih dari cukup. Aku bisa tahan dengerin lagu apa aja, asalkan bukan rock.”
 
Riana menghubungkan ponselnya dengan audio mobil. Tak lama kemudian, lagu What 2 Do yang dipupulerkan oleh Dean mulai terdengar. One of Riana’s favourite.
 
Setelah lagu terputar, Riana melirik ke arah Jiwa. Memperhatikan ekspresinya, lalu menebak kalau laki-laki itu belum pernah mendengar lagu yang sedang diputar. Tapi, tampaknya cukup menikmatinya.
 
By the way, kamu ngapain aja selama aku di luar kota?” tanya Riana, memulai kembali pembicaraan di antara mereka.
 
“Kerja, tidur, jogging, main sama Brown, sesekali ke rumah buat main sama Gemi,” jawab Jiwa, tatapannya fokus ke arah jalan.
 
“Kamu nggak punya temen? Nggak ada satu pun yang bisa diajak hang out?”
 
“Ngejek, ya?”
 
“Nggak gitu. Maksudku, kamu selalu di studio, jarang banget hang out sama temen. Biasanya kan cowok suka kumpul di bar, main bowling, atau nongkrong di kafe sambil ngerokok.”
 
“Yang ngajak nongkrong sih banyak, tapi waktunya nggak pas.”
 
I see. Karena kamu kerjanya pas malam, kan?”
 
“Iya.”
 
“Nggak kepikiran buat pindah ke perusahaan yang ada di sekitar Jakarta? Biar lebih enak juga kan jam kerjanya, nggak usah begadang sampai tengah malam.”
 
No. Kerja kantoran nggak cocok buat aku. Apalagi kadang-kadang kalau apply kerja sebagai illustrator juga harus siap merangkap jadi content creator, copy writer, and video editor juga. Agak gila kalau ngasih beban kerjaan. Makanya lebih enak kerja di perusahaan asing.”
 
Tawa Riana seketika pecah, sebab apa yang diucapkan oleh Jiwa memang benar. Masih banyak perusahaan yang suka membebankan banyak job desk kepada satu orang. Yang lebih parah, gaji yang ditawarkan juga tak seberapa.
 
“Emang gitu, sih. Job desk yang harusnya dibagi buat beberapa orang, harus dikerjain sendirian. Capek banget jadi budak korporat, apalagi kalau dapet atasan yang ambisius,” ucap Riana sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
 
“Kamu kalau lembur dapet insentif?” tanya Jiwa penasaran.
 
“Tergantung. Kalau lembur gara-gara pekerjaan divisiku yang memang belum selesai, ya otomatis nggak dapet insentif.”
 
“Kerja di perusahaan yang sekarang mulai dari entry level?”
 
“Iya, dari fresh graduate langsung kerja di sana. Dimulai dari sustainability staff, sampai sekarang jadi sustainability analyst.”
 
“Beberapa tahun lagi pasti bisa naik jadi head of sustainability.”
 
“Terlalu jauh. Nggak mau masang ekspektasi yang terlalu tinggi. Apalagi sekarang climate change lagi ramai dibahas. Aku pengen cari pekerjaan lain, mungkin jadi staf kementerian atau kerja di NGO.”
 
“Tapi, kamu nyaman kan sama pekerjaan yang sekarang?”
 
I love my job. Tapi, tetep aja ngerasa nggak nyaman setelah tahu gimana realita di lapangan. Akhirnya malah muncul keinginan buat ikut bantu memperbaiki apa-apa yang udah rusak. Yang paling gampang ya join ke lembaga yang punya kewenangan buat ngeluarin kebijakan.”
 
Jiwa menoleh ke samping, lalu tersenyum. Senang sekali ketika Riana terlihat begitu antusias menjelaskan tentang bidang yang digelutinya. Perempuan itu terlihat sepuluh kali lebih attractive saat sedang membicarakan soal cita-cita besarnya.
 
Di saat yang bersamaan, lagi Can’t You See I’m a Rockstar — Changmo mulai terputar. Sekali lagi, terasa asing di telinga Jiwa.
 
Well, aku nggak bakal resign dalam waktu dekat, sih,” sambung Riana, kemudian terkekeh pelan. “Itu cuma salah satu cita-citaku aja, yang nggak tahu kapan bisa diwujudkan.”
 
You know…aku dulu pernah kerja kantoran. Setiap hari harus duduk di depan komputer dari jam delapan sampai jam lima sore, kadang-kadang harus lembur juga. Waktu itu, cita-cita terbesarku adalah bisa lepas dari job yang terlalu mengikat dan bisa kerja sendiri di rumah as a freelancer. Awalnya cita-cita itu rasanya mustahil, karena kerja freelance itu agak tricky, hasil yang didapat nggak tentu. Tapi, akirnya cita-cita itu bisa diwujudkan juga. Aku sekarang kerja dari studio, waktunya fleksibel walaupun harus sering begadang.”
 
Riana tertegun, lalu menatap Jiwa lekat-lekat. Memperhatikan laki-laki itu dari samping.
 
Sebab kalimat panjang yang baru saja diucapkan terasa sangat menenangkan. Seolah memberi satu kekuatan baru bagi Riana untuk terus mengejar apa yang telah dicita-citakan.
 
Bahkan saat menjalin hubungan dengan Mada, tak pernah sekali pun Riana merasa senyaman dan sehangat ini.
 
Selanjutnya, lagu After Everything yang dipopulerkan oleh Colde mulai mengalun. Menggantikan Can’t You See I’m a Rockstar?
 
“Jiwa,” panggil Riana.
 
Suara itu terdengar begitu lembut dan manis, seketika hadirkan desiran hangat di dalam dada Jiwa. Laki-laki itu menoleh selama beberapa detik, menyadari Riana sedang menatapnya dengan ekspresi yang tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata.
 
“Kenapa, Riana?” tanya Jiwa.
 
Sudut bibir Riana sedikit terangkat membentuk seulas senyuman. “You’re the warmest person I’ve ever met.”
 
Jiwa menghentikan mobilnya di depan restoran fast food. Menatap ke arah Riana yang duduk di sampingnya. Detik berikutnya, lagu bad – wave to earth mulai terdengar.
 
“Malam ini mau nginep di studioku? Aku yang hangat ini bisa peluk kamu sampai tidur,” ucap Jiwa, jemarinya perlahan terulur untuk menyentuh pipi Riana dengan lembut.
 
“Uhm…lain kali, ya. Malam ini aku udah kepanasan, jadi nggak butuh penghangat lagi,” jawab Riana dengan nada bercanda.
 
Jiwa tertawa, lalu kembali melajukan mobilnya menuju order point untuk membuat pesanan. Tangan kanannya memegang setir, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan Riana dengan erat.

***

Hello,

Terima kasih ya yang udah setia ngikutin kisah Jiwa dan Riana. Maaf, akhir-akhir ini lagi hectic banget, jadi nggak bisa rajin update. Jadi, Break the Rules ini semata-mata ditulis cuma buat menuangkan ide di dalam kepala, salah satu cara buat healing di tengah kesibukan. Kebetulan suka NCT Dream and aespa, especially Jeno and Karina.

Anyway, jangan lupa tinggalkan likes and comments ya.

With love,
Calla

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang