leave

1.1K 147 16
                                    

break the rules


“Jangan lupa besok pagi ada meeting dengan tim konsultan. Riana, laporan emisi dari regional office sudah diterima, kan?”
 
Riana tidak benar-benar mendengarkan ucapan Pak Amir. Hanya duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer yang menyala, sesekali menggerakkan jemari di atas keyboard agar terlihat seperti sedang bekerja.
 
Antoni melirik ke arah Riana, mencoba memberi kode lewat tatapan mata. Sayangnya, Riana tak memperhatikan karena pikirannya sedang berkabut. Jujur, sejak tadi pagi Riana tidak fokus dengan pekerjaannya, apa yang terjadi tadi malam terus terbayang di dalam benaknya. Kata-katanya yang tajam pasti telah menorehkan luka di hati Jiwa, padahal laki-laki itu tak melakukan kesalahan apa-apa.
 
“Riana,” panggil Pak Amir dengan penuh penekanan.
 
Lamunan Riana seketika buyar. Perempuan itu lekas berdiri, menatap Pak Amir yang berdiri di depan whiteboard dengan ekspresi kesal.
 
“Maaf, Pak,” ucap Riana.
 
Pak Amir mengembuskan napas, lalu berkata, “laporan emisi sudah diterima?”
 
“Sudah, Pak. Sedang saya periksa.”
 
“Kata staf di regional office, laporannya sudah dikirim sejak tadi pagi. Baru diperiksa sekarang? Sejak tadi kamu mengerjakan apa?”
 
“Maaf, Pak. Tadi saya memeriksa sustainability report tahun kemarin.”
 
“Untuk apa memeriksa sustainability report yang sudah diterbitkan? Harusnya fokus dengan tugas yang ada di depan mata!”
 
Riana diam, tak memiliki argumen yang pas untuk membela diri. Riana sepenuhnya menyadari kesalahannya, tidak seharusnya ia memikirkan masalah pribadi saat jam kerja, apalagi sampai kehilangan konsentrasi.
 
“Jangan mencari alasan untuk membela diri. Saya tidak peduli masalah apa yang sedang kamu pikirkan. Yang jelas, selama berada di ruangan ini kamu harus fokus dengan pekerjaan. Seandainya tidak bisa fokus dan malah membebani staf yang lain, lebih baik ambil cuti,” sambung Pak Amir.
 
“Baik, Pak,” sahut Riana sambil membungkukkan tubuhnya dengan sopan. “Saya akan segera memeriksa laporan emisi, lalu mengumpulkan dokumen yang diperlukan untuk meeting besok pagi.”
 
Antoni ikut tegang, sebab tak biasanya Riana diceramahi habis-habisan oleh atasan.
 
Selama ini Riana terkenal sangat perfeksionis dalam menjalankan tugasnya di kantor. Bahkan saat nyeri haid sekali pun, Riana tetap bisa duduk tegak di depan meja kerjanya untuk mengetik laporan.
 
Selepas Pak Amir pergi, Antoni mendekat ke meja Riana.
 
“Kamu kenapa, Ri? Dari pagi kelihatan nggak fokus,” tanya Antoni.
 
I’m okay,” jawab Riana, lalu kembali duduk di kursinya untuk memeriksa laporan emisi.
 
“Nggak biasanya kamu diomelin sama Pak Amir. Lagi ada masalah, ya?”
 
“Cuma agak capek aja, soalnya kemarin baru pulang dari Semarang.”
 
Antoni mengangguk, lalu kembali ke mejanya. Laki-laki itu memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.
 
Riana menghela napas, mencoba untuk menyingkirkan hal-hal negatif yang memenuhi kepalanya. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan karena sebentar lagi masuk jam pulang kantor.
 
“An, dokumen buat meeting besok pagi dikumpulin jadi satu biar nggak tercecer. Taruh di atas mejanya Pak Amir,” pinta Riana.
 
“Udah ditaruh di mejanya Pak Amir sejak dua jam yang lalu, Ri,” jawab Antoni.
 
Shit.
 
Riana benar-benar kacau.
 
Perempuan itu memijit pelipisnya, kemudian menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ponsel dibuka, lalu masuk ke room chat untuk melihat rentetan pesan yang kemarin dikirim oleh Jiwa.
 
Rasanya getir ketika membaca history chat, terlebih saat menyadari betapa tulusnya Jiwa dalam memberikan afeksi. Sayangnya, satu-satunya hal yang bisa Riana lakukan adalah mendorong Jiwa agar menjauh darinya.
 
“Ri, mau pulang bareng?” tanya Antoni.
 
Riana menutup kembali ponselnya. “Duluan, An. Aku belum selesai cek laporan.”
 
Antoni tersenyum, setelah itu berjalan meninggalkan ruangan divisi sambil menggendong tasnya. Dalam hitungan detik, hanya tersisa Riana seorang diri.
 
Ruangan terasa sunyi. Saat menoleh ke arah jendela, hal yang dijumpai adalah langit dengan semburat jingga. Menandakan bahwa matahari sebentar lagi akan tenggelam.
 
Saat Riana pulang nanti, apakah Jiwa tetap menunggu di depan studio sambil bermain dengan Brown? Atau pemandangan itu akan sirna bersamaan dengan perginya Jiwa dari hidup Riana?
 
Riana tersenyum getir, lalu mematikan komputer saat laporan dari regional office telah selesai diperiksa. Ia lantas berdiri, mematikan lampu, dan berjalan meninggalkan ruangan yang berselimut keheningan.
 

***
 

Saat Riana baru saja turun di halte, langit telah menggelap. Ia berjalan menyusuri trotoar, mendengarkan suara bising kendaraan dan celotehan dari orang-orang yang melintas. Lucu sekali karena Riana merasa kesepian di tengah gegap gempita ibukota yang tak pernah ada matinya.
 
Jalan yang dilewati masih sama seperti hari-hari biasanya, tapi kali ini terasa sedikit berbeda. Saat jarak menuju rumah semakin dekat, Riana tak melihat keberadaan seorang laki-laki yang biasanya memakai sleeveless shirt dan memberi makan kucing di depan studio.
 
Studio dalam keadaan gelap, tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan.
 
Langkah Riana terhenti persis di depan pintu studio. Lalu, sedetik kemudian Brown muncul sambil mengeong.
 
Tangan Riana perlahan bergerak, menyentuh gagang pintu yang terasa dingin. Pintu tidak dikunci.
 
Begitu pintu terbuka, Riana tak menjumpai apa pun di dalam sana. Kosong, hanya ada meja kayu dan kursi rotan yang diletakkan di dekat jendela. Tak ada meja kerja, ranjang, kanvas, berbagai cat dan kuas, whiteboard yang biasa digunakan untuk menempel ilustrasi produk.
 
Riana melangkahkan kakinya ke dalam studio, menyalakan lampu agar bisa melihat seisi ruangan dengan lebih jelas. Brown juga ikut masuk, setia mengekori tiap langkah yang diambil oleh Riana.
 
Jiwa benar-benar pergi. Hanya meninggalkan kunci studio di atas meja, tanpa ada surat atau catatan kecil untuk sang pemilik gedung.
 
Riana terduduk di atas lantai, berpegangan pada kaki meja. Lalu, ia terisak sebab tak dapat menahan rasa nyeri di dalam hatinya.
 

***
 

Jiwa berdiri menghadap jendela, menatap bulan yang malam ini bersinar terang. Nyaris tak ada gumpalan awan yang menutupinya.
 
Jiwa memutuskan untuk meninggalkan studio, menuruti keinginan Riana untuk merentangkan jarak sejauh-jauhnya.
 
Sakit, memang. Sayangnya Jiwa tak bisa terus berjuang seorang diri, sementara Riana justru menarik garis batas. Jiwa tak akan menyalahkan Riana, sebab perempuan itu juga telah melalui banyak hal yang menghadirkan berbagai ketakutan dan kecemasan di dalam kepala.
 
Mungkin apa yang diucapkan oleh Mada memang benar. Sejak awal harusnya Jiwa tidak terlibat dengan Riana.
 
Jiwa tersenyum miris, kemudian membuka ponselnya. Membaca history chatnya dengan Riana sambil mengingat kembali setiap detik yang telah mereka habiskan bersama.
 
Segalanya telah menjadi kenangan. Jiwa dan Riana tidak pernah memulai sebuah hubungan, tapi lucunya mereka memiliki momen perpisahan layaknya sepasang kekasih yang putus di tengah jalan.
 
Jiwa menghapus history chat dengan Riana, juga menghapus nomornya dari daftar kontak.
 
“Jiwa? Mami boleh masuk?”
 
Lamunan Jiwa seketika buyar ketika mendengar suara Mami.
 
“Masuk, Mi,” jawab Jiwa sambil menutup ponselnya.
 
Mami membuka pintu, lalu masuk ke dalam kamar sambil membawa secangkir kopi yang masih mengepul. Aromanya menyeruak, mengalahkan aroma lemon dari air diffuser di dalam kamar.
 
“Besok barang-barang kamu bisa ditata di attic room. Mami janji nggak akan ganggu kamu kalau lagi kerja,” ucap Mami sambil meletakkan cangkir di atas meja.
 
“Aku mau balik kerja di kantor, Mi. Jadi, barang-barang dari studio taruh di gudang aja,” jawab Jiwa sambil menunjukkan seulas senyuman di bibirnya.
 
“Serius? Kamu mau kerja kantoran lagi?”
 
“Iya. Besok mulai cari lowongan pekerjaan, kalau bisa sih yang kantornya di dekat sini.”
 
Mami mengerjapkan mata, bingung luar biasa karena putranya tiba-tiba ingin kembali ke kantor. Padahal, Jiwa lebih menyukai sistem work from home yang jam kerjanya cukup fleksibel.
 
“Kenapa tiba-tiba mau kerja di kantor lagi?” tanya Mami penasaran.
 
“Nggak apa-apa, bosen work from home terus,” jawab Jiwa, tentu saja sepenuhnya dusta.
 
Mencari suasana baru adalah langkah pertama untuk move on. Jiwa ingin mencari pekerjaan yang membuatnya benar-benar sibuk, hingga akhirnya bisa menyingkirkan nama Riana dari dalam kepala.
 
Jiwa tak ingin terus memikirkan Riana seperti orang bodoh. Hidup terus berjalan, Jiwa tidak bisa stuck di titik yang sama sampai membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna.
 
Saat ini hatinya memang sedang terluka. Tapi, seiring berjalannya waktu, segalanya pasti akan baik-baik saja.

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang