break the rules
•
Riana membuka kedua matanya secara perlahan. Kepalanya sedikit pening, efek dari alkohol yang tadi malam diteguk. Setelah berhasil mengumpulkan segenap kesadarannya, perempuan itu mengedarkan pandangan sambil mengerutkan kening.
Rupanya tadi malam Riana tidur di sofa ruang tengah, tubuhnya masih dibalut dengan pakaian kerja yang kemarin. Yang lebih mengherankan, ruangan dalam keadaan rapi dan bersih (padahal sudah tiga hari lamanya tidak dirapikan).
Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?
Riana memijit pelipisnya, lalu mengubah posisi menjadi duduk. Pelan-pelan mengangkat gelas, meminum air untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Lalu, sebuah ingatan yang samar mulai muncul di dalam kepalanya.
“Tunggu sebentar,” gumam Riana, kemudian mengerjapkan mata.
Kenapa tiba-tiba wajah Jiwa muncul di dalam benak Riana?
“Tadi malam aku ketemu Jiwa?” ucap Riana, mencoba untuk menggali ingatannya. “Nggak mungkin. Aku pulang sendirian naik taksi, terus ketiduran di ruang tengah.”
Riana samar-samar mengingat suara Jiwa, bahkan seperti merasakan pelukannya yang hangat. Tapi, apakah kejadian itu memang nyata? Kenapa rasanya mustahil Jiwa datang tanpa diundang dan tiba-tiba memberi pelukan secara percuma?
Riana menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Tak ada waktu untuk memikirkan mimpi yang tak nyata. Ia harus segera mandi, mencuci pakaian, lalu pergi ke super market untuk belanja bulanan.
***
Jiwa berdiri menghadap jendela, tangan kanannya memegang secangkir kopi yang masih mengepul. Rambutnya sedikit basah, dibiarkan terkena angin sampai mengering dengan sendirinya.
Laki-laki itu tenggelam di dalam lamunannya, mengingat kembali kejadian tadi malam.
Riana terlihat kacau, sampai mabuk berat dan hampir jatuh tersungkur. Mulutnya meracau, mengucapkan berbagai kalimat yang terkesan ambigu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ada masalah dengan pekerjaannya di kantor?
Jiwa tak dapat mengelak, faktanya ia memang mengkhawatirkan Riana.
“Mas Jiwa.”
Lamunan Jiwa seketika buyar ketika Gemi memanggil.
Jiwa menolek, menatap Gemi yang berdiri di ambang pintu sambil memegang secarik kertas berisi daftar belanjaan.
“Ayo, Mas,” kata Gemi.
Jiwa lekas menghabiskan kopinya, kemudian meletakkan cangkir kosong di atas meja. Ia menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu, mengambil dompet dan ponsel yang tergeletak di atas ranjang, lalu menggandeng tangan adiknya.
“Let’s go,” katanya.
Sepasang kakak-beradik itu berjalan meninggalkan rumah, masuk ke mobil yang terparkir di carport. Hendak pergi ke super market untuk belanja, menggantikan Mami yang pagi ini ada jadwal arisan.
“Gemi boleh beli jelly, kan?” tanya Gemi, memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju super market.
“Nggak boleh kebanyakan makan jelly, Princess. Nanti diomelin Mami,” sahut Jiwa, tatapannya fokus tertuju ke arah jalan.
“Jangan bilang ke Mami, dong.”
“Berani ngajarin Mas Jiwa buat bohong?”
Gemi langsung memanyunkan bibir, kedua tangannya dilipat di depan dada. Jiwa tertawa, kemudian mengulurkan tangan kirinya untuk mencubit pipi Gemi dengan gemas.
“Mas Jiwa juga sering bohong. Bilang ke Mami nggak punya pacar, tapi sebenernya pacaran sama Tante Riana,” kata Gemi.
Jiwa langsung diam begitu mendengar kata Riana.
Miris sekali, bahkan Gemi yang masih bocah mengira Jiwa dan Riana berpacaran. Padahal faktanya tidak demikian, mereka hanya menjalin hubungan tanpa status dan sekarang sudah kandas.
“Emang kamu tahu pacaran itu apa?” tanya Jiwa dengan nada bercanda.
“Di drama yang biasa Mami tonton, orang pacaran biasanya suka tatapan dan gandengan tangan,” jawab Gemi dengan ekspresi polosnya. “Seperti Mas Jiwa dan Tante Riana.”
Jiwa dan Riana bukan hanya sering bertatapan atau bergandengan tangan. Lebih dari itu, mereka pernah menghabiskan malam bersama. Lucu sekali, sekarang mereka seperti dua manusia yang tidak pernah bertemu sebelumnya.
Jiwa tak membahas soal Riana lagi, memilih untuk memutar musik agar Gemi fokus menyanyi. Maka, sisa perjalanan menuju super market diisi dengan suara nyanyian yang agak cempreng dan sumbang.
Jiwa membelokkan mobilnya, mencari tempat parkir yang pas.
Setelah mobil benar-benar berhenti, Jiwa melepas seat beltnya. Melangkah keluar, lalu membukakan pintu untuk sang adik.
Mereka bergandengan tangan, manis sekali. Berjalan memasuki super market yang cukup ramai karena sekarang akhir pekan. Mengambil troli, lalu menyusuri deretan rak untuk mencari bahan makanan yang tertera dalam daftar.
Saat hendak mencari buah-buahan, Jiwa melihat sosok perempuan yang sangat familiar. Sedang memilih apel sambil memegang sebuah keranjang belanja.
“Itu Tante Riana, kan?” ucap Gemi sambil mengangkat tangannya, menunjuk Riana.
Jiwa mendadak canggung, tak tahu harus menyapa atau pura-pura tak melihat.
“Tante!” panggil Gemi, kemudian berlari menghampiri Riana.
Jiwa tak sempat mencegah, alhasil hanya bisa mengekor di belakang Gemi sambil mendorong troli.
Riana sedikit terkejut saat Gemi menghampirinya, terlebih saat melihat Jiwa menyusul di belakang.
“Hai, Gemi,” sapa Riana, berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja.
Gemi tersenyum, lalu mengamati buah dan sayuran yang ada di dalam keranjang belanja. “Tante Riana lagi belanja sayur dan buah?”
Riana menjawab dengan sebuah anggukan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Jiwa. Ingatan samar tentang pelukan hangat kembali terputar di dalam kepala layaknya cuplikan film. Ada banyak hal yang mendesak ingin keluar, tapi lidahnya terasa kelu untuk sekadar berbasa-basi.
“Are you okay?” tanya Jiwa, akhirnya menjadi pihak pertama yang membuka suara.
Riana mendadak gelagapan. Alih-alih bertanya kabar, Jiwa justru bertanya apakah Riana baik-baik saja.
“I’m okay,” jawab Riana sambil memaksakan seulas senyuman di bibirnya.
Ada kecanggungan yang jelas terasa, begitu menyiksa. Setelah segala hal yang terjadi, bukankah seharusnya mereka berhenti untuk saling peduli dan memperhatikan?
“Udah nggak pusing?” tanya Jiwa sekali lagi.
Jantung Riana seolah berhenti berdetak.
Ternyata tadi malam Jiwa benar-benar datang. Memberi pelukan, membantu Riana menaiki tangga, bahkan merapikan ruang tengah yang tadinya berantakan. Segalanya nyata, bukan sekadar mimpi atau angan-angan karena terlalu merindukan.
Riana menelan ludah dengan susah payah, memberanikan diri untuk menatap kedua mata Jiwa.
“Kamu…tadi malam…” gumamnya, agak terbata-bata.
“Kebetulan mampir buat ngasih makan Brown,” balas Jiwa dengan cepat.
Riana sempat berharap kalau tadi malam Jiwa mampir karena merindukannya. Harapan yang cukup bodoh. Mana mungkin laki-laki itu merindukan sosok yang telah menyakitinya dengan kejam?
“Sorry, tadi malam aku mabuk,” ucap Riana.
“Nggak perlu minta maaf atau ngasih penjelasan,” tandas Jiwa, sekali lagi menarik garis batas yang cukup ketara.
“Aku nggak ngasih penjelasan. Cuma mau minta maaf buat omongan nggak jelas yang tadi malam keluar dari mulutku.”
“Ah, okay.”
Tak bisa dipungkiri kalau Jiwa sedikit kecewa. Tadi malam sempat mengira Riana menangis dalam pelukannya karena sungguh-sungguh merindukan. Tapi, sepertinya hanya dianggap sebagai ucapan tak jelas yang terlontar dalam keadaan tak sadar.
“By the way, makasih udah bantu naik tangga,” kata Riana beberapa saat kemudian.
Jiwa bukan memapah Riana saat menaiki tangga, tapi menggendongnya dan menidurkannya di atas sofa.
“Sama-sama,” jawab Jiwa singkat.
Setelah itu, tak ada yang bicara di antara mereka berdua. Sama-sama kebingungan mencari cara untuk menyudahi interaksi.
“Aku duluan,” ucap Jiwa, memecah keheningan di antara mereka. Laki-laki itu lantas menggandeng tangan adiknya. “Ayo, Princess. Saatnya cari jelly kesukaan kamu.”
Riana masih diam di tempatnya, memandang Jiwa dan Gemi yang berjalan menjauh. Punggung mereka semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik rak besar.
Pertemuan canggung itu cukup menyakitkan, lagi-lagi membuat Riana menyadari di mana posisinya sekarang. Sangat menyedihkan, hanya bisa mengungkapkan isi hatinya ketika berada di bawah pengaruh alkohol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanfictionSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.