fall

908 172 14
                                    

break the rules


Menghubungi Riana yang sedang kunjungan lapangan ternyata sulit setengah mati. Sejak tadi siang, Jiwa menunggu kabar dari Riana. Sebab perempuan itu telah berjanji akan segera menelepon begitu landing di bandara. Tapi, bahkan sampai malam datang, tetap tak ada notifikasi pesan atau telepon yang masuk ke ponsel Jiwa.

"Mas, dari tadi kok fokus sama handphone terus. Punya pacar, ya?"

Ucapan Mami seketika membuyarkan lamunan Jiwa.

"Hm? Siapa yang punya pacar?" sahut Jiwa, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. "Cuma ngecek email, siapa tahu atasan ngirim dokumen penting buat project baru."

Mami tersenyum penuh arti, lalu berkata, "punya pacar juga nggak apa-apa. Mami malah senang. Daripada kamu pacaran sama laptop terus."

Jiwa tertawa, kemudian menuangkan jus jeruk ke dalam gelasnya.

Malam ini Jiwa sengaja pulang ke rumah, makan bersama keluarga. Rasanya sudah lama sekali Jiwa tak menginjakkan kaki di rumah, walaupun sebenarnya belum genap satu bulan laki-laki itu pindah ke studionya sendiri.

Mada juga datang, mengajak Yashinta. Layaknya pasangan baru pada umumnya, mereka terlihat manis saat sedang bicara. Sesekali saling melempar senyuman, serta berbagi sentuhan lembut.

"Mami seneng banget deh malam ini semuanya kumpul di rumah," kata Mami beberapa saat kemudian. "Biasanya cuma bertiga sama Papi dan Gemi."

"Keputusan buat punya anak lagi ternyata tepat, Mi. Bayangkan kalau nggak ada Gemi, tersisa kita berdua di rumah ini," sahut Papi.

Jiwa menoleh ke samping, menatap Gemi yang sedang sibuk makan paha ayam. Mulutnya belepotan, lucu sekali.

"Gimana studionya? Nyaman?" tanya Mada dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

Jiwa mengangguk, "nyaman, sejauh ini nggak ada masalah apa pun. Pemilik gedungnya juga baik, sering ngasih makanan."

Mada terdiam, kemudian mengembuskan napas. Laki-laki itu tahu persis siapa pemilik gedung yang dimaksud oleh Jiwa. Ternyata peringatannya sama sekali tak didengarkan.

"Jangan ajak sembarang perempuan ke studio, Jiw. Nggak enak sama pemilik gedungnya," kata Papi.

Bagaimana jika satu-satunya perempuan yang masuk ke studio Jiwa adalah sang pemilik gedung? Fakta yang menarik, bukan? Tapi, Jiwa tak akan segila itu membeberkan segalanya di depan keluarganya.

"Kalau kamu punya pacar, ajak main ke sini," ucap Mami, yang entah bagaimana selalu bertanya soal pacar tiap kali bertemu. "Umurmu sudah dua puluh tujuh. Mami rasa, kamu sudah siap untuk menikah."

"At least, tahun depan sudah bertunangan," tambah Papi.

Jiwa mengetukkan jemarinya di atas meja, kemudian melirik ke arah Mada.

Mada hanya menunjukkan seulas senyum di bibirnya, kemudian memilih untuk fokus menyantap sup iga yang telah tersaji di atas meja.

Tak berselang lama, ponsel Jiwa bergetar. Ada nama Riana yang tertera di atas layar.

"Aku angkat telepon dulu sebentar," kata Jiwa, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruang makan.

Pergi ke halaman belakang, duduk di gazebo sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik dari saku celana. Setelah itu, barulah Jiwa mengangkat telepon dari Riana.

"Hei, aku dari tadi chat kamu, tapi nggak dibales," kata Jiwa begitu mengangkat telepon.

Di seberang sana, Riana terkekeh pelan. "Sorry. Begitu landing, aku langsung pergi ke perkebunan. Susah sinyal di sana, makanya chat dari kamu baru masuk sekarang."

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang