(i miss you)

537 98 16
                                    

break the rules


Ini bukan pertama kalinya Riana menghadapi perpisahan.
 
Riana beberapa kali menjalin hubungan dengan laki-laki, semuanya berakhir dengan perpisahan. Oleh sebab itu, Riana yakin kalau dirinya akan baik-baik saja setelah berpisah dengan Jiwa. Meskipun sebenarnya lucu saat mengucap kata pisah, padahal mereka bahkan belum memulai sebuah hubungan.
 
Kesunyian yang menggelayuti hati hanyalah sebuah fase yang pada akhirnya akan Riana lewati dengan baik seperti yang sudah-sudah. Cara yang paling efektif untuk mendistraksi pikiran adalah dengan fokus bekerja, serta menghabiskan banyak waktu bersama teman-temannya.
 
Well, kebahagiaan tak melulu bersumber dari kisah percintaan, kan?
 
Riana meregangkan tubuhnya, kemudian merapikan tumpukan dokumen yang ada di atas mejanya. Pekerjaannya telah selesai, bertepatan dengan alarm pada ponsel yang berbunyi dengan lantang. Perempuan itu lekas mematikan alarmnya, kemudian mengemasi barang-barangnya yang masih tercecer.
 
“An, aku pulang duluan, ya,” ucap Riana sambil mengangkat hand bagnya yang cukup besar.
 
“Nggak mau pulang bareng? Aku lagi cek laporan, sebentar lagi selesai,” sahut Antoni.
 
No, thanks. Habis ini aku mau ketemu Windy.”
 
Girls time?”
 
Riana menganggukkan kepala, kemudian berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah cepatnya. Suara yang lantang terdengar di lorong kantor tiap kali ujung heels menyentuh permukaan lantai yang keras dan dingin. Perempuan itu sesekali tersenyum saat berpapasan dengan staf dari divisi lain.
 
Begitu masuk ke dalam lift, Riana mengeluarkan ponsel dari tasnya. Membuka daftar kontak, niatnya ingin menelepon Windy. Tapi, entah bagaimana Riana justru mencari nama Jiwa. Tentu saja nama itu tak ada di dalam daftar, telah dihapus beberapa minggu silam.
 
Riana tersenyum miris, lalu memutuskan untuk menutup kembali ponselnya.
 
Setibanya di lantai dasar, Riana berjalan meninggalkan lift. Menyusuri lobi yang sibuk, hingga akhirnya tiba di depan gedung yang dipadati manusia. Memasuki jam pulang kerja, kawasan perkantoran memang selalu sibuk, ramai, dan riuh.
 
Riana menengok ke kanan dan kiri, lalu melangkahkan kakinya di atas paving block.
 
Sore ini Riana akan hang out berdua dengan Windy. Mungkin jalan-jalan ke mall sebentar, membeli makeup, atau berburu jajanan. Apa saja, yang penting malam ini Riana bisa bersenang-senang.
 
Kantor mereka masih berada di kawasan yang sama, hanya berbeda gedung. Oleh sebab itu, Riana hanya perlu berjalan kaki untuk pergi ke kantor di mana Windy bekerja.
 
Sore ini langit cukup cerah, semburat oranye yang menghiasi langit terlihat begitu cantik. Riana bahkan menghentikan langkah sejenak untuk memotret langit, agar bisa dikirimkan kepada Mama yang sangat menyukai senja.
 
Setelah mengambil beberapa foto, Riana melanjutkan langkahnya. Ponsel yang masih berada dalam genggaman tiba-tiba bergetar.
 
[Windy : Mas Anggi tiba-tiba minta revisi desainnya diselesaiin hari ini juga. I’m so sorry, kayaknya baru bisa keluar kantor sekitar jam tujuh]
 
[Windy : Gimana kalau kamu nunggu di coffee shop yang ada di seberang gedung? Nanti aku minta Jordan ke sana buat nemenin kamu]
 
Riana mengerutkan kening, menyadari ada makna tersirat dari pesan yang dikirimkan oleh Windy. Jemari Riana bergerak dengan cepat, mengetik pesan balasan.
 
[Riana : jujur aja, Win. Kamu sengaja mau jadi makcomblang, kan?]
 
Tak butuh waktu lama bagi Windy untuk membalas.
 
[Windy : nggak ada salahnya, kan? Aku ikut sedih lihat kamu galau terus]
 
Riana menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Tahu persis kalau bertemu dengan orang baru bukanlah ide yang bagus. Hanya buang-buang energi, toh pada akhirnya Riana tak berminat untuk berpacaran.
 
[Windy : aku udah chat Jordan. Dia sebentar lagi berangkat]
 
Riana bahkan tak sempat menolak. Apa boleh buat? Mau tak mau ia harus pergi ke coffee shop untuk kencan buta
 
Bukan masalah besar. Riana hanya perlu duduk selama setengah jam, mengobrol ringan, lalu pulang. Berhenti di pertemuan pertama, tak perlu bertukar nomor telepon atau membuat janji untuk bertemu lagi di kemudian hari.
 
Riana memasukkan ponsel ke dalam tas, kemudian berjalan menuju coffee shop untuk bertemu dengan Jordan.

 
***

 
Jiwa mengusap tengkuk lehernya yang terasa pegal. Rasanya sudah lama sekali tidak duduk berjam-jam di depan layar komputer. Mungkin butuh waktu selama beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
 
Hari ini Jiwa mulai bekerja sebagai product designer di sebuah perusahaan desain dan arsitektur. Meninggalkan kehidupan tenangnya, kembali berinteraksi dengan banyak manusia dan mencari banyak pengalaman baru.
 
Laki-laki itu meninggalkan kantor pada pukul lima petang. Harus melewati jalan yang macet dan berdebu. Sesekali menengok ke kanan dan kiri, mengamati kendaraan yang memadati jalan dan pejalan kaki yang menyusuri trotoar.
 
Sebelum pulang ke rumah, Jiwa memutuskan untuk mampir ke sebuah coffee shop terlebih dulu. Hendak membeli satu cup latte dan strawberry milkshake.
 
Mobil berhenti di depan sebuah coffee shop yang tampak ramai dikunjungi para pekerja kantoran yang baru selesai bekerja. Jiwa turun dari mobilnya, lalu berjalan memasuki coffee shop sambil menggulung lengan kemeja.
 
Begitu melewati pintu kaca yang terbuka lebar, Jiwa justru menjumpai sosok perempuan yang wajahnya sangat familiar. Sedang menempati sebuah meja, duduk berhadapan dengan pria berkemeja abu-abu. Mereka mengobrol ringan, bahkan tertawa.
 
Jiwa diam di tempat, hanya mampu menatap sambil menahan gejolak yang memenuhi dada.
 
Di saat yang bersamaan, Riana menoleh. Kedua matanya membulat dengan sempurna kala bertemu tatap dengan Jiwa. 
 
Ada jarak sejauh sepuluh meter yang terbentang di antara mereka. Suara tawa dan obrolan di sekeliling perlahan memudar. Tatapan Riana hanya tertuju pada Jiwa, demikian pula sebaliknya.
 
Detik itu, Jiwa menyadari bahwa dirinya memang tak menempati posisi spesial di hati Riana. Eksistensinya bisa digantikan dengan mudah, tak butuh waktu lama untuk mengubur kisah dan melupakan segala percikan yang semula hadir di antara mereka.
 
Mungkin memang benar bahwa Riana hanya membutuhkan afeksi, bukan Jiwa.
 
Jiwa yang terlebih dulu mengalihkan pandangan, segera memesan latte dan strawberry milkshake untuk dibawa pulang. Enggan menoleh ke belakang dan menatap Riana untuk kedua kalinya.
 
Laki-laki itu tak tahu kalau Riana masih menatap, meskipun tak ada sepatah kata yang terucap. Ia rindu, ingin memeluk, ingin menceritakan bagaimana hidupnya sejak terakhir kali mereka berjumpa. Tapi, pada akhirnya tidak bisa melakukan apa-apa, seolah ada yang membelenggu hatinya.
 
“Terima kasih,” ucap Jiwa setelah membayar, lalu segera meninggalkan coffee shop dengan langkah cepatnya.
 
Riana refleks berdiri, memandang punggung Jiwa yang kian menjauh.
 
“Kenapa, Ri?” tanya Jordan, sedikit khawatir saat melihat ekspresi Riana yang berubah drastis.
 
Riana tak menjawab, kedua kakinya perlahan bergerak.
 
Berhenti tepat di depan pintu, menatap mobil yang dikemudikan oleh Jiwa pelan-pelan menjauh.
 
Sial.
 
Kenapa rasanya sakit? Kenapa rasanya tak rela untuk benar-benar melepaskan?

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang