break the rules
•
Riana sedang tenggelam di alam mimpi ketika ponselnya yang tergeletak di atas nakas tiba-tiba berdering dengan lantang.
Orang sinting macam apa yang menelepon pagi-pagi buta begini?
Riana membalik tubuhnya ke kanan, menghadap tembok kamar. Telinganya ditutup menggunakan bantal agar dering ponsel tak lagi terdengar. Perempuan itu masih ingin terlelap, satu atau dua jam lagi, mengingat sekarang hari Sabtu.
Sialnya, dering ponsel tak kunjung berhenti.
Dengan jengkel, Riana menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas, siap memaki siapa saja yang berani mengganggu tidur cantiknya. Tapi, yang Riana jumpai pada layar ponsel adalah nama Jiwa.
Dengan amat terpaksa, Riana mengangkatnya.
“Jiwa, kalau kamu telepon aku buat ngasih tahu sesuatu yang nggak penting, aku bakal marah banget,” ucap Riana sambil beranjak dari ranjang, mendekat ke arah jendela.
“Good morning, Beautiful. Aku mau ngajak jogging,” sahut Jiwa, kemudian terkekeh pelan. “Jangan bilang kamu masih tidur? Ini udah hampir jam tujuh, loh.”
Riana membuka jendela, menjumpai Jiwa sudah berdiri di depan studio sambil memegang ponsel dengan tangan kanannya. Laki-laki itu memakai kaus berwarna hitam dan celana pendek, kakinya dibungkus dengan sepasang sepatu putih.
“Aku mau tidur sampai jam sebelas,” kata Riana.
“Kamu jarang olahraga, Babe. Dari Senin sampai Jumat selalu sibuk kerja, kalau weekend pergi ke mall atau salon. Nggak pernah ada waktu buat olahraga,” sahut Jiwa.
“Cuma di sekitar sini, kan?”
“Iya, nanti sekalian mampir bubur ayam.”
Riana menopang dagu, tanpa sadar tersenyum ketika melihat Jiwa menyapa seorang tetangga dengan sangat ramah. Tentu saja Jiwa tak menyadari kalau Riana sedang memperhatikannya dari jendela kamar.
“Okay. Tunggu sebentar, aku ganti baju sama cuci muka dulu,” ucap Riana, akhirnya menyetujui ajakan Jiwa.
“Aku tunggu di bawah,” balas Jiwa.
Setelah itu, telepon berakhir.
Riana meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi.
Setelah dipikir ulang, memang benar kalau Riana jarang sekali berolahraga. Pergi ke gym hanya dua bulan sekali, itu pun karena dipaksa oleh Bita. Sebenarnya Riana suka sekali berenang, hanya saja terlalu malas pergi ke waterpark yang pasti penuh anak-anak ketika akhir pekan. Kalau pergi ke hotel hanya untuk berenang, terlalu buang-buang uang.
Riana meraih handuk kecil untuk mengeringkan wajah, lalu meninggalkan kamar mandi.
Piyama bermotif beruang dilepas dari tubuhnya, diganti dengan crop top berwarna hitam dan celana training panjang. Tak lupa, Riana juga memakai topi untuk menghalau sinar matahari yang menyilaukan.
Tepat pukul tujuh lebih sepuluh menit, Riana meninggalkan tempat tinggalnya. Berjalan menuruni satu-persatu anak tangga untuk menghampiri Jiwa yang sudah menunggu di depan studio.
Jiwa menoleh ketika mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya, lalu tersenyum ketika melihat Riana sedang mengikat rambut secara asal-asalan.
“Weekend tuh harusnya ngejak kencan ke tempat yang bagus, bukannya malah ngajak jogging,” kata Riana.
Jiwa terkekeh pelan. “Aku perhatian sama kamu, makanya ngajak jogging.”
“Bukan mau ngerjain, kan?”
“Not at all. Ayo gerak, Riana. Biar tetap sehat.”
Riana tertawa, kemudian mulai meregangkan tubuhnya.
Sementara itu, Jiwa sudah terlebih dulu berlari kecil. Sengaja mencuri start, agar nanti Riana berlari lebih cepat untuk mengejarnya.
Setelah melakukan pemanasan selama beberapa menit, Riana segera menyusul Jiwa. Kedua kakinya bergerak dengan kecepatan konstan, telinganya fokus mendengarkan suara napas dan debar jantungnya sendiri.
Jiwa menoleh ke belakang, menyadari Riana sudah berhasil mengejar.
Baru lima menit, tapi kening Riana sudah dibanjiri keringat. Meskipun melelahkan, tapi ternyata jogging pagi cukup menyenangkan. Riana bisa melihat bunga-bunga yang baru bermekaran, menghirup udara yang masih cukup segar.
“Capek?” tanya Jiwa.
Riana mengangguk, keringat menetes dari dagunya. “Bisa berhenti dulu buat makan bubur ayam?”
“Baru sepuluh menit.”
“Come on. Perutku udah keroncongan.”
Jiwa memelankan langkahnya, tangannya terulur untuk mengusap kepala Riana dengan lembut.
“You did well. Ayo, kita jogging sepuluh menit lagi, habis itu makan bubur ayam,” kata Jiwa.
Sial.
Mana bisa Riana menyerah kalau diberi semangat dengan cara semanis itu?
Riana menyeka keringat dengan punggung tangannya, lalu mempercepat langkah kakinya. Berusaha menyamakan langkah dengan Jiwa.
Dua manusia itu kini saling bersisian, menyusuri trotoar yang sepi. Sesekali saling menatap, lalu bertukar senyuman. Mereka tak bicara, untuk menghemat energi agar bisa jogging lebih lama.
Saat tiba di jalan buntu, mereka putar arah. Kembali ke lapangan badminton, lebih tepatnya menuju warung bubur ayam.
Napas Riana terengah-engah, kausnya mulai basah oleh keringat. Tapi, perempuan itu tersenyum bangga saat akhirnya sampai di depan warung bubur ayam. Memecahkan rekor baru, jogging pagi selama dua puluh menit tanpa mengeluh.
“Mas, bubur ayam dua porsi sama teh hangat,” ucap Riana, membuat pesanan.
Setelah itu, duduk di atas tikar sambil melepas topi dan meluruskan kakinya.
“Kamu biasanya jogging berapa lama?” tanya Riana.
“Minimal setengah jam,” jawab Jiwa sambil duduk di samping Riana, ikut meluruskan kakinya.
“Aku baru dua puluh menit aja udah capek banget.”
“Karena belum terbiasa. Kalau udah terbiasa, setengah jam rasanya cuma sebentar.”
“Well—ternyata jogging pagi nggak seburuk itu. I mean, tubuhku rasanya lebih segar, bisa lihat bunga-bunga yang baru mekar juga.”
“Besok mau jogging lagi?”
Riana menoleh ke samping, menatap Jiwa lekat-lekat. Lalu, tanpa ragu sedikit pun perempuan itu menganggukkan kepala.
Beberapa saat kemudian, bubur ayam dan teh hangat yang mereka pesan akhirnya datang.
Riana memegang sendok, langsung menikmati bubur ayam yang masih hangat sambil memandang ke arah lapangan badminton. Mengamati beberapa bocah yang sedang bermain kejar-kejaran.
“Aku nggak suka anak-anak, makanya aku canggung banget tiap kali berinteraksi sama bocah,” ucap Riana.
“Kenapa?” tanya Jiwa.
“Aku punya dua adik tiri. I hate them so much. Berisik, suka lari-lari, ngerebut semua perhatiannya Papa.”
“Mereka tinggal di mana?”
“Sekarang tinggal di Semarang. Udah hampir lima tahun aku nggak ketemu Papa. Terakhir kalu ketemu di acara wisuda.”
“Kalau boleh tahu, kapan orang tua kamu pisah?”
“Years ago. Aku lupa kapan tepatnya, yang jelas aku masih kecil. Papa selingkuh, diam-diam menjalin hubungan sama perempuan lain. Hampir setiap hari aku denger Mama nangis, setiap bangun tidur matanya selalu sembab.”
Jiwa tertegun, kini mengerti kenapa Riana tak percaya dengan pernikahan.
Sedikit banyak, Jiwa mulai paham alasan di balik keputusan Riana untuk melepaskan Mada. Riana tak menginginkan komitmen dan pernikahan, sedangkan Mada selalu bermimpi memiliki keluarga kecilnya sendiri.
“Gara-gara Papa aku jadi begini,” gumam Riana, entah bagaimana terdengar begitu sedih. “Selalu skeptis sama cinta, nggak percaya pernikahan, bisanya cuma menyakiti. Angkuh, seolah nggak butuh siapa-siapa.”
Jiwa meletakkan mangkuk buburnya di atas karpet, kemudian menyentuh dagu Riana dengan lembut. Tatapan mereka bertemu.
“Kamu tumbuh dengan sangat baik, Riana,” ucap Jiwa, lalu menyentuh sudut bibir Riana dengan ibu jarinya. “Jadi perempuan yang secantik ini, semandiri ini, sekuat ini. Aku yang baru kenal kamu sebentar aja ngerasa kagum, apalagi orang tua yang melahirkan kamu ke dunia. Mereka pasti bangga sama kamu, walaupun mungkin nggak bisa ngomong langsung karena beberapa alasan.”
Riana termenung, kedua matanya diselimuti kabut tipis. Ucapan Jiwa seolah memeluk Riana dengan erat, hadirkan kehangatan yang tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata.
Ingin sekali Riana menggunakan bahu Jiwa untuk bersandar, menjadikannya satu-satunya tempat ternyaman untuk beristirahat. Tapi, sedetik kemudian Riana sadar, bahwa segala rasa takut dan cemas yang memenuhi hatinya tak bisa begitu saja lenyap hanya karena sesuatu yang disebut dengan cinta.
“Hold my hand,” ucap Riana sambil mengulurkan tangan kanannya.
Dengan senang hati, Jiwa menggenggamnya erat-erat.
Riana lantas menyandarkan kepalanya di bahu Jiwa yang kokoh, sambil terus memandang ke arah lapangan badminton.
“Thank you, Jiwa,” ucap Riana sambil memejamkan mata selama beberapa saat. “Aku seneng banget pagi ini bisa jogging sama kamu.”
“Makasih juga udah mau cerita, Riana,” balas Jiwa.
Dengan kata lain, Jiwa berterima kasih karena Riana secara tak langsung telah membeberkan alasannya mengakhiri hubungan dengan Mada.
“Gimana kalau habis ini kita masak bareng?” tanya Riana sambil mengangkat kepalanya dari bahu Jiwa. “I mean, daripada makan siang sendiri-sendiri, lebih baik sharing aja.”
“Kamu bisa masak?” sahut Jiwa, ragu-ragu.
“Bisa, walaupun nggak terlalu ahli. At least, masakanku masih bisa dimakan.”
“Nggak akan keracunan, kan?”
Riana mendelik.
Jiwa tertawa, lalu berlari terlebih dulu menuju studio. Tanpa pikir panjang, Riana langsung mengejar dengan langkah cepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanficSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.