let's end it here

834 150 21
                                    

break the rules


Jiwa mengerjapkan mata kala alarm pada ponselnya berbunyi lantang, suaranya menggema di dalam kamar yang hening dan cukup dingin. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, meraba nakas yang ada di samping ranjang untuk mengambil ponsel.
 
Alarm berbunyi, artinya pagi telah datang. Saatnya beranjak dari ranjang, kemudian merapikan barang dan bersiap-siap pulang. Kereta akan berangkat pada pukul sembilan pagi.
 
Saat kedua matanya terbuka, Jiwa menyadari kalau sisinya terasa kosong.
 
“Riana?” panggil Jiwa sambil mengubah posisinya menjadi duduk.
 
Tak ada respon. Kamar tetap sunyi, hanya suara jarum jam yang terdengar cukup lantang. Yang Jiwa temukan hanyalah secarik kertas yang tergeletak di atas nakas, berisi tulisan tangan yang sedikit berantakan.
 
[Aku pulang duluan, thanks for everything – Riana]
 
Jiwa mengambil pakaiannya yang tergeletak di atas lantai, memakainya dengan tergesa-gesa. Ia lantas berlari meninggalkan kamar, hendak memeriksa kamar sebelah apakah benar-benar dalam keadaan kosong. Laki-laki itu mengambil risiko, tak apa-apa meskipun harus menerima makian seandainya kamar sebelah sudah ditempati oleh orang lain.
 
“Riana!” panggil Jiwa sambil mengetuk pintu kamar.
 
Tak ada jawaban dari dalam kamar, menandakan kalau Riana benar-benar telah pergi.
 
Apa yang terjadi? Kenapa Riana memutuskan untuk pulang terlebih dulu?
 
Jiwa kembali ke dalam kamar, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. Ia mencoba untuk menelepon Riana, sayangnya tidak diangkat.
 

***
 

Ketika memutuskan untuk meninggalkan Semarang lebih awal, Riana telah melepaskan Jiwa. Apa yang terjadi tadi malam adalah ucapan selamat tinggal, sebab tak ada lagi yang bisa Riana pertahankan. Rasanya kejam kalau terus mengikat Jiwa dalam sebuah hubungan tanpa status yang jelas.
 
Ada setetes air mata yang mengalir di pipi Riana kala kereta mulai bergerak, meninggalkan kota yang selama ini hanya bisa menorehkan luka. Pada akhirnya, Riana membiarkan ketakutannya kembali menang, hingga tak ada energi yang tersisa untuk memperjuangkan setitik cinta yang ia rasakan untuk Jiwa.
 
Riana takut untuk mencoba, takut apabila suatu hari nanti dikhianati oleh orang yang telah benar-benar ia percaya, takut seandainya harus berpisah di saat hatinya telah dipenuhi rasa cinta. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mundur sekarang juga, sebelum perasaannya terlalu dalam dan mengikat.
 
Setibanya di Jakarta, segalanya terasa hambar dan hampa.
 
Riana langsung menaiki taksi dari stasiun, melewati jalanan Ibukota yang sesak dan berdebu. Bibir Riana terkatup rapat, bahkan pertanyaan-pertanyaan dari supir taksi hanya dibalas dengan anggukan kepala. Sorot matanya jelas menunjukkan rasa sedih dan kecewa.
 
Ketika taksi telah sampai di tempat tujuan, Riana segera keluar. Membuka bagasi untuk mengambil kopernya, kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada supir taksi.
 
Saat Riana hendak berjalan menuju tangga, Brown datang menghampiri. Kucing itu mengeong, tampaknya sejak kemarin menunggu di depan studio karena menginginkan makanan.
 
Riana mengembuskan napas, kemudian berkata, “nggak ada siapa pun di studio. Sebentar lagi Jiwa pindah.” 
 
Keputusan Riana telah bulat. Uang sewa akan dikembalikan, setelah itu Riana meminta Jiwa untuk segera mengosongkan studio.

***
 

Jiwa sampai di Jakarta ketika langit telah berselimut lembayung. Laki-laki itu terus menggenggam ponselnya erat-erat, menunggu telepon atau pesan singkat dari satu perempuan yang tak sedetik pun meninggalkan pikirannya.
 
Ada berbagai pertanyaan yang bermunculan di dalam kepala Jiwa, sebab Riana pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan.
 
Apakah Jiwa tanpa sengaja telah melakukan kesalahan yang membuat Riana marah dan kecewa? Apakah ada masalah serius yang mengharuskan Riana untuk segera pulang?
 
Jiwa menghela napas, sekali lagi mencoba untuk menelepon Riana.
 
Tak ada jawaban. Bahkan puluhan chat yang Jiwa kirimkan tidak dibaca oleh Riana.
 
Taksi yang dinaiki oleh Jiwa melaju di jalanan yang padat. Saat ini waktu menunjukkan pukul lima petang, para pekerja kantoran mulai berhamburan keluar untuk pulang ke rumah masing-masing. Halte-halte yang ada di sisi jalan terlihat penuh, demikian pula dengan trotoar di dekat kompleks perkantoran.
 
Saat taksi akhirnya tiba di depan studio, langit telah menggelap.
 
Jiwa segera keluar, menatap ke arah lantai dua yang lampunya menyala. Menandakan kalau Riana memang sudah pulang, kemungkinan besar sedang berada di dalam kamarnya.
 
Usai membayar biaya taksi, Jiwa mengeluarkan kunci studio dari saku celana.
 
Pintu dibuka, koper diletakkan begitu saja di samping meja. Setelah itu, Jiwa segera menaiki tangga menuju lantai dua. Tak bisa menunggu lebih lama untuk meminta penjelasan dari Riana.
 
Langkah Jiwa terhenti tepat di depan pintu. Tangan kanannya terangkat, mengetuk pintu sambil menyebut nama Riana.
 
“Riana!”
 
Selang satu menit, akhirnya pintu terbuka. Riana muncul membawa sebuah amplop berwarna putih yang telah diisi dengan uang.
 
“Riana, are you okay?” tanya Jiwa dengan ekspresi cemasnya. Ia menatap Riana lekat-lekat, memastikan tak ada satu pun luka di tubuh perempuan itu.
 
Riana mengangguk pelan, “I’m okay.”
 
“Ada masalah? Kenapa pulang lebih awal?”
 
“Nggak ada masalah. Aku cuma mau pulang lebih awal, nggak betah terlalu lama di Semarang.”
 
Jiwa terdiam selama bebrapa saat, menyadari ada yang berbeda dengan ekspresi Riana.
 
Riana menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia lantas menyerahkan amplop berisi uang ke tangan Jiwa.
 
“Ini uang sewa yang udah kamu bayar,” ucap Riana.
 
“Apa maksudnya?” sahut Jiwa.
 
“Sebaiknya kamu cari tempat lain yang lebih cocok buat studio dan workspace.”
 
“Apa?”
 
Riana mengambil jeda selama beberapa saat, menahan gemuruh yang hadir di dalam rongga dadanya. Rasanya berat luar biasa untuk mengucapkan perpisahan, meskipun ia telah berkali-kali berlatih di depan cermin.
 
What’s wrong, Riana? Coba jelasin dari awal, biar aku paham,” pinta Jiwa.
 
“Aku nggak bisa lanjutin hubungan yang nggak jelas ini, Jiwa,” jawab Riana sambil menunjukkan senyum getir di bibirnya. “Lebih baik kita berhenti di sini.”
 
Rasanya lucu ketika mengucapkan kata berhenti, padahal tak ada hubungan spesial di antara mereka. Hanya sekadar dua manusia yang pernah tidur bersama dan sering berinteraksi karena tinggal di gedung yang sama.
 
Jiwa termenung, mencoba mencerna kalimat yang baru saja diucapkan oleh Riana.
 
“Aku nggak ada niat buat menjalin hubungan serius sama laki-laki. Aku mau fokus sama diriku sendiri, nggak mau terlalu bergantung sama orang lain,” sambung Riana.
 
“Riana, aku paham kalau kamu belum siap buat menjalin hubungan. It’s okay. Nggak apa-apa kalau kita tetap begini. Aku nggak butuh status atau apa pun itu, cuma mau selalu di samping kamu,” sahut Jiwa.
 
No, Jiwa. Suatu hari nanti, kamu pasti kecewa dan muak sama hubungan tanpa status yang kita jalani. Aku nggak bisa ngasih kepastian, di sisi lain kamu harus mempertimbangkan pendapat keluarga.”
 
“Riana, kita bahkan belum mencoba—”
 
“Lebih baik nggak mencoba sama sekali daripada kita berdua sama-sama terluka.”
 
Listen, aku nggak peduli sama pendapat orang lain. Aku bahagia bisa jadi tempat bersandar buat kamu, nggak berharap dikasih kepastian atau status yang jelas.”
 
“Jangan naif, Jiwa. Dulu Mada pernah ngomong hal yang sama, dia janji buat selalu ada di sampingku walaupun aku nggak bisa menjanjikan masa depan. Tapi, ujung-ujungnya apa? Dia mundur karena tekanan dari keluarga.”
 
Jiwa terdiam, merasa tertohok dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Riana.
 
He loves her so much, sampai titik di mana ia ingin melakukan segala cara agar bisa tetap berada di sisi Riana. Tapi, untuk tetap bersama-sama ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
 
“Nggak perlu membohongi diri sendiri. Aku tahu kalau kamu sebenernya mengharapkan status. Kamu tipikal laki-laki yang serius dalam menjalani hubungan, pasti punya keinginan buat menikah dan berkeluarga,” tandas Riana, serupa belati tajam yang langsung menancap di dada.
 
Jiwa meremas amplop putih yang ada di dalam genggamannya.
 
“Sayangnya, aku nggak begitu. Aku nggak punya keinginan buat menikah atau berkeluarga. Selama ini dekat sama kamu cuma karena kesepian dan butuh afeksi, nggak pernah lebih dari itu,” sambung Riana, kemudian menutup pintu sampai menimbulkan suara debuman yang cukup lantang.
 

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang