a place to call home

1K 177 16
                                    

break the rules

Sejak orang tuanya resmi bercerai, Riana enggan menyebut tempat tinggalnya sebagai rumah. Lebih baik disebut sebagai bangunan, building, or whatever it is. Silakan pakai segala jenis sinonim, asalkan bukan rumah.

Menurut Riana, rumah adalah tempat di mana sebuah keluarga harusnya hidup bersama dengan nyaman dan penuh kehangatan. Meskipun tak selalu diselimuti bahagia, setidaknya mereka bisa saling bergantung dan bersandar.

Sama seperti orang-orang di luar sana, Riana juga pernah memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan hangat. Hingga segalanya kacau berantakan sejak mereka pindah dari Semarang ke Jakarta. Berawal dari sebuah tempat yang disebut dengan rumah.

Papa adalah seorang arsitek, mendapat pekerjaan baru di sebuah perusahaan besar yang mengharuskannya untuk pindah. Papa mendirikan sebuah rumah sebagai tempat tinggal untuk keluarga kecilnya. Sebuah rumah dua lantai, dihubungkan dengan tangga luar sehingga terkesan seperti bangunan bertingkat yang lantai atas dan lantai bawahnya terpisah.

Saat itu, Papa ingin menggunakan lantai bawah sebagai ruang kerja agar lebih fokus dan tenang. Alasan itu juga yang membuat Papa enggan membuat tangga penghubung di dalam rumah, biarkan ruang kerjanya tetap terisolasi. Tidak dapat dijangkau oleh Mama maupun Riana.

Tapi, sebenarnya ruang kerja hanyalah sebuah alibi. Seiring bertambahnya usia, akhirnya Riana paham kalau Papa sengaja menciptakan sekat dengan keluarganya sendiri. Sebab tak ada lagi rasa cinta atau keinginan untuk tetap mempertahankan pernikahan.

Ketika Papa dan Mama resmi bercerai, rumah dua lantai itu menjadi milik Riana. Satu-satunya warisan yang diberikan oleh Papa sebelum akhirnya menikah lagi.

Sejak saat itulah Riana benci dengan kata rumah.

"Ini rumah kamu?"

Lamunan Riana seketika buyar ketika mendengar pertanyaan Jiwa.

"No," jawab Riana sambil menggeleng pelan. "It's a building, bukan rumah. Boleh sebut bangunan, gedung, gubuk, atau apa pun. Tapi, jangan pakai kata rumah."

Jiwa mengerutkan kening, lalu menatap bangunan yang ada di hadapannya. Dilihat dari sisi mana pun, tempat itu terlihat seperti sebuah rumah di mata Jiwa. Well, mungkin desainnya sedikit menyerupai ruko atau coffee shop, tapi tetap terkesan seperti rumah pada umumnya.

"Kamu sengaja sewa gedung ini karena tahu aku tinggal di sini?" tanya Riana, to the point.

Jiwa tersenyum tipis, "not at all. Aku bahkan nggak tahu kamu tinggal di daerah ini."

Riana menghela napas, kesal setengah mati karena dihadapkan pada situasi semacam ini. Sialnya, Riana bahkan tak bisa mengusir Jiwa begitu saja. Sebab laki-laki itu sudah membayar uang sewa untuk satu tahun ke depan.

Jiwa menatap Riana lekat-lekat, mencoba untuk menerka isi pikirannya.

"Kalau kamu mau batalin–"

"Aku bayar uang sewa buat setahun ke depan. Dan, nggak ada rencana buat batalin sewa."

Tentu saja. Riana sudah menduga jawaban semacam itu yang akan dilontarkan oleh Jiwa.

Riana lantas merogoh saku blazernya, mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk daun. Ia mendekat ke arah pintu, pelan-pelan memasukkan kunci ke dalam lubangnya.

Pintu terbuka.

Riana melepas alas kakinya dan melangkah masuk. Tirai jendela disibak hingga cahaya matahari masuk ke dalam ruangan yang semula remang.

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang