empty

479 91 8
                                    

break the rules


Riana membuka mata saat alarm pada ponselnya berbunyi lantang, memenuhi seisi kamar yang tadinya berselimut keheningan. Riana mengulurkan tangan, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas untuk mematikan alarm.
 
Pukul enam pagi, langit mulai terang.
 
Riana menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari ranjang. Mendekat ke arah jendela, membuka tirai yang menjuntai ke bawah. Kamar yang semula gelap perlahan berubah menjadi terang.
 
Tatapan Riana tertuju ke arah luar, seolah mencari-cari sosok yang biasanya berdiri di depan studio sambil bermain dengan kucing. Sayangnya, tidak ada siapa-siapa di sana.
 
Riana membalik badannya, lekas berjalan meninggalkan kamar. Pergi ke dapur untuk mencari bahan makanan yang bisa diolah. Tapi, rupanya tak ada apa-apa di dalam kulkas, hanya botol kosong dan es batu yang tersisa.
 
Beralih ke dapur, mencari roti tawar, selai, atau sereal. Oh, ternyata hanya ada jar kosong dan sekotak sereal yang telah kadaluarsa.
 
“Nanti siang harus belanja,” gumam Riana, lalu kembali ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
 
Melepas piyama berwarna biru, menggantinya dengan kaus putih dan celana training. Rambutnya diikat secara asal-asalan. Tangannya terulur, mengambil sebuah topi yang tergeletak di atas meja rias, setelah itu berjalan keluar sambil membawa dompet dan ponsel.
 
Saat tiba di ujung tangga, Riana disambut oleh Brown.
 
Riana menatap Brown selama beberapa saat, lalu berkata, “Jiwa udah nggak tinggal di sini.”
 
Brown mengeong, tampaknya kelaparan.
 
Riana menghela napas, kemudian membungkukkan tubuhnya untuk mengusap bulu-bulu Brown yang lembut.
 
“Di atas nggak ada makanan. Ayo ke mini market, aku beliin wet food buat kamu,” ucap Riana.
 
Riana mengangkat tubuh Brown ke dalam gendongannya, kemudian berjalan menuju mini market yang terletak di dekat jalan raya. Kucing berbulu cokelat itu tidak memberontak, mungkin karena familiar dengan perempuan yang sedang menggendongnya.
 
Setibanya di depan mini market, Riana menurunkan Brown.
 
“Tunggu di sini sebentar, jangan ke mana-mana,” ucapnya, lalu berlari dengan cepat memasuki mini market.
 
Mengambil sekotak susu, sebungkus roti isi selai cokelat, serta wet food dan dry food untuk kucing. Riana bergerak dengan cekatan, langsung pergi ke meja kasir setelah mendapatkan segala hal yang diperlukan.
 
Setelah membayar, Riana mengangkat kantung belanja dan berjalan melewati pintu kaca. Untungnya Brown tidak lari, hanya mengelilingi kursi dan meja yang ada di depan mini market.
 
Let’s go. Saatnya pulang,” kata Riana, kembali menggendong Brown.
 
Berjalan menyusuri jalan yang senggang, sesekali menengadah untuk menatap langit yang semakin cerah.
 
“Kamu pasti kangen Jiwa, ya? Biasanya jam segini ada yang ngajak main dan ngasih makan.”  
 
Lucu sekali. Sekarang Riana bahkan bicara dengan seekor kucing.
 
Langkah Riana terhenti di depan gedungnya. Ia menurunkan Brown, lalu mengambil sebuah wadah kecil yang tergeletak di samping pot tanaman. Wadah menyerupai mangkuk itu biasa digunakan oleh Jiwa untuk menaruh dry food.
 
Riana berjongkok, menuangkan makanan untuk Brown ke dalam wadah.
 
“Selamat makan,” kata Riana sambil mengelus kepala Brown.
 
Brown langsung menyantap makanannya dengan lahap. Tanpa sadar membuat seulas senyuman terukir di bibir Riana.
 
“Makan yang banyak,” ujar Riana, lalu mengeluarkan sekotak susu dari tas belanja. “Aku juga mau sarapan.”
 
Riana meminum susu rasa cokelat itu sambil menatap jalan yang senggang, hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintas.
 
Ada kekosongan yang jelas terasa. Hampa, seperti baru saja kehilangan satu bagian penting di dalam hatinya.
 
Selalu seperti ini setiap kali hubungan percintaannya berakhir. Biasanya kekosongan itu akan diisi dengan kehadiran laki-laki baru yang memberinya afeksi. Tapi, kali ini Riana menyadari bahwa tak ada seorang pun yang mampu membuatnya merasa utuh dan penuh.
 
Ruang kosong itu hanya bisa terisi penuh dengan cara mencintai dan menerima diri sendiri.
 
Riana tenggelam dalam lamunannya, merenungkan segala hal yang telah ia lalui selama beberapa tahun belakangan.
 
Brown mengeong, makanan di dalam wadah sudah habis. Tapi, kucing itu tetap setia berada di samping Riana, seolah menjadi teman setianya.
 
Tak berselang lama, sebuah mobil datang dari arah kejauhan. Berhenti tepat di depan gedung.
 
Lamunan Riana seketika buyar, ia tahu persis siapa pemilik gedung itu.
 
“Riana? Kenapa duduk di situ?” tanya Mama saat baru saja keluar dari mobil.
 
Riana berdiri, memaksakan seulas senyuman di bibirnya. “Kok nggak bilang dulu kalau mau ke sini?”
 
“Datang ke rumah anak sendiri harus izin dulu?”
 
“Nggak gitu maksudnya.”
 
Mama tertawa, lalu membuka bagasi untuk mengambil sebuah tas belanja yang terlihat penuh. Isinya bahan-bahan makanan. Pas sekali, kondisi kulkas dan dapur sedang kosong-kosongnya.
 
Riana mengambil alih tas belanja yang dibawa oleh Mama, kemudian berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Mama mengikuti di belakang.
 
“Akhir-akhir ini kamu nggak pernah telepon. Mama khawatir,” ucap Mama saat baru saja masuk ke dalam rumah.
 
“Sering lembur. Jam setengah sepuluh baru keluar dari kantor, makanya nggak bisa terlalu sering telepon Mama,” jawab Riana.
 
Mama berjalan menuju dapur, hal pertama yang dilakukan adalah memeriksa isi kulkas. Terkejut saat tak menjumpai bahan makanan.
 
“Kenapa kosong begini?” tanya Mama.
 
Riana meletakkan tas belanja di atas meja. “Jarang masak, akhir-akhir ini selalu makan di luar. Makanya nggak nyimpen bahan makanan di kulkas.”
 
“Pasti makan junk food terus, kan?”
 
No.”
 
Mama mengembuskan napas, kemudian menggulung lengan blousenya. Ingin cepat-cepat menata bahan makanan ke dalam kulkas.
 
“Bahkan roti tawar dan selai juga habis,” kata Mama sambil geleng-geleng kepala. “Walaupun sibuk, kamu nggak boleh skip makan. Harus selalu jaga pola makan biar tetap sehat.”
 
Sepertinya sudah lama Riana tak mendengar ceramah panjang lebar dari mulut Mama.
 
Riana melangkah maju, kemudian memeluk Mama dari belakang.
 
What’s wrong? Lagi ada masalah, ya?” tanya Mama, tahu ada sesuatu yang salah dengan putrinya.
 
Riana menggeleng pelan, “nggak, kok. Aku cuma kangen Mama.”
 
Mama terdiam sejenak, memberi usapan lembut di lengan Riana.
 
“Mama tahu kalau kamu sudah dewasa, tapi bukan berarti semua masalah harus kamu pendam dan selesaikan sendiri,” kata Mama, suaranya terdengar begitu lembut di telinga. “Boleh kok cerita ke Mama, biar perasaan kamu lebih lega. Siapa tahu Mama juga bisa kasih sedikit saran.”
 
Riana termenung, tiba-tiba ada kabut tipis yang menyelimuti kedua matanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mencegah air matanya agar tidak jatuh. Bagaimana pun, perempuan itu memang tak suka menunjukkan sisi rapuhnya di depan orang lain.
 
“Sayang,” panggil Mama.
 
Riana mengusap kedua matanya, lalu melepaskan pelukannya secara perlahan.
 
“Gimana cara Mama move on setelah disakiti Papa?” tanya Riana pada akhirnya.
 
Mama terkejut.
 
Riana tersenyum miris. “Aku nggak bisa move on, Ma. Kejadian yang udah lama itu tetap nggak bisa hilang dari ingatan. Aku nggak mau sendirian, tapi setiap kali ada orang baik yang mau berdiri di sampingku, aku malah mundur karena takut disakiti.”
 
Ada keputusasaan yang jelas terasa dari setiap kata yang diucapkan oleh Riana. Akhirnya menumpahkan seluruh emosinya.
 
“Kenapa harus begini? Aku bahkan nggak paham gimana perasaanku sendiri,” sambung Riana, lalu setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
 
Mama ikut berkaca-kaca, tanpa mengucapkan sepatah kata langsung menarik tubuh Riana ke dalam pelukannya.
 
Hati Mama terasa nyeri, tak menduga kalau putrinya masih memiliki luka yang belum sepenuhnya sembuh.
 
I’m sorry,” gumam Mama sambil mengeratkan pelukannya.
 
Hanya kata maaf yang mampu terucap.
 
“Mama nggak tahu apa-apa. Sejak dulu cuma minta kamu buat memahami keadaan,” ucap Mama di sela-sela isakannya. “Padahal kamu juga terluka, bahkan sampai sekarang harus bawa sisa rasa sakit dari kejadian di masa lalu.” 
 
Riana tak lagi mampu membendung air matanya. Tumpah begitu saja, menangis di dalam dekapan Mama.
 
Kekosongan di dalam hatinya tidak hanya menghadirkan efek hampa, tapi juga rasa sakit yang sulit untuk didefinisikan ke dalam kata-kata.
 
Apa yang harus Riana lakukan? Bagaimana caranya agar bisa keluar dari belenggu masa lalu yang selalu mengikutinya seperti bayang-bayang?

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang