a single candle

862 174 4
                                    

break the rules

Riana duduk di atas karpet, tengah memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper kecilnya. Ia harus berkemas, mengingat hari senin akan terbang ke Kalimantan. Hanya kunjungan lapangan yang dilakukan selama beberapa hari. Oleh sebab itu, sebagian besar yang dijejalkan ke dalam koper adalah baju lapangan, plus topi dan sepatu boots.
 
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Di luar, hujan deras turun disertai gemuruh dan kilatan petir. Tirai jendela berkibar-kibar, menandakan betapa kencangnya angin di luar sana.
 
Riana bukanlah seorang pecinta hujan. Malah kadang-kadang sebal ketika hujan deras mulai turun di jam pulang kantor. Riana harus berjalan di trotoar yang tergenang, berdesakan di dalam angkutan umum dengan orang-orang yang pakaiannya basah. Sangat merepotkan.
 
Riana menghela napas, memandang ke arah jendela.
 
“Asal jangan mati lampu aja,” gumam Riana.
 
Tepat sedetik kemudian, listrik padam. Kondisi kamar seketika menjadi gelap gulita.
 
Shit,” ucap Riana, lalu mulai meraba-raba karpet untuk mencari ponselnya.
 
Pemadaman listrik terjadi di saat yang tidak tepat. Riana masih harus mengemasi makeup, skincare, dan alat mandi. Ah, agenda menonton drama juga gagal total karena laptopnya kehabisan baterai. Belum sempat dicharger sejak tadi sore.
 
Handphone di mana, deh? Kayaknya tadi ada di atas karpet,” kata Riana yang masih meraba-raba sekelilingnya.
 
Sialnya, perempuan itu malah menabrak pinggiran ranjang, hingga lututnya berdenyut menyakitkan.
 
I can’t see anything! Kenapa sih harus mati listrik segala?” gerutu Riana. Meskipun gerutuannya itu tak akan mengubah apa-apa.
 
Dengan langkah tertatih-tatih, Riana mencari letak meja dan nakas. Ada emergency lamp yang bisa dinyalakan untuk situasi-situasi seperti ini.
 
“Oh, finally!” gumam Riana saat akhirnya berhasil menemukan emergency lamp.
 
Tapi, anggap saja Riana sedang tertimpa sial bertubi-tubi karena ternyata emergency lamp tak dapat menyala akibat kehabisan baterai. Yang lebih parah, baterai pada ponsel Riana juga hanya tersisa limabelas persen.
 
Perempuan itu tertawa hambar ketika melihat layar ponselnya. Jika menyalakan flash, mungkin hanya bertahan sekitar sepuluh menit.
 
Selama beberapa saat, Riana termenung. Otaknya tengah berpikir keras, mencari solusi untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
 
“Ke bawah aja kali, ya? I mean, Jiwa pasti punya senter atau emergency lamp,” ucap Riana pada dirinya sendiri.
 
Hanya itulah opsi yang Riana miliki. Turun ke bawah, masuk ke studio Jiwa untuk meminjam senter, emergency lamp, atau power bank. Apa pun itu, yang penting ada sumber cahaya yang bisa Riana manfaatkan.
 
Riana menyalakan flash pada ponselnya, kemudian meraih payung yang tergantung di dekat pintu. Tak lupa, ia juga memakai jaket untuk antisipasi agar bajunya tak basah terkena cipratan air hujan.
 
Usai memakai sandal, Riana membuka pintu secara perlahan, kemudian melangkah keluar. Kondisi di sekitar benar-benar gelap gulita. Hanya kilatan petir yang terlihat begitu jelas, seolah menciptakan retakan di langit malam.
 
Riana mengembuskan napas, pelan-pelan menuruni tangga sambil memegang payung dan ponselnya erat-erat.
 
Setibanya di bawah, Riana langsung berjalan menuju pintu studio.
 
“Jiwa!” panggil Riana sambil mengetuk pintu.
 
Selang beberapa detik, pintu terbuka. Jiwa agak terkejut melihat Riana berdiri di depan pintunya.
 
“Riana? What are you doing? Kenapa berdiri di sini?” tanya Jiwa.
 
“Mau pinjam senter,” jawab Riana seadanya.
 
Jiwa membuka pintu studio lebar-lebar, mempersilakan Riana untuk masuk terlebih dahulu. Agar tubuhnya tak basah terkena tetesan air hujan.
 
Riana melepas sandalnya, kemudian melangkah memasuki studio secara perlahan.
 
Kondisi studio cukup gelap, hanya ada sebuah lilin yang menjadi sumber cahaya. Diletakkan di atas meja.
 
“Nggak ada senter atau emergency lamp. Itu adanya cuma lilin,” jelas Jiwa sambil menunjuk ke arah sebatang lilin yang menyala.
 
Ah, sayang sekali.
 
“Kamu fobia gelap?” tanya Jiwa beberapa saat kemudian.
 
Riana menggeleng. “No. Aku cuma butuh cahaya, soalnya mau lanjut packing. Emergency lamp belum dicharge, jadi nggak bisa nyala. Handphoneku baterainya tinggal limabelas persen, sebentar lagi pasti mati.”
 
Packing? Kamu mau ke mana?”
 
“Senin berangkat ke Kalimantan.”
 
Jiwa mengangguk pelan, kemudian memandang ke arah luar. Hujan masih deras, belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.
 
Just stay here, sampai listriknya nyala. Aku bikinin kopi dulu,” ujar Jiwa dengan santai, kemudian beranjak menuju mini kitchen untuk menyeduh kopi.
 
Sebetulnya Riana merasa canggung untuk tinggal, apalagi hanya berdua dengan Jiwa di studio yang cukup gelap. Tapi, kembali ke atas pun tak ada gunanya. Riana justru semakin bingung karena tak bisa melakukan apa-apa.
 
Maka, akhirnya Riana duduk di atas bean bag. Tatapan Riana tertuju pada laptop Jiwa yang masih menyala. Tampaknya laki-laki itu sedang bekerja ketika listrik tiba-tiba padam.
 
“Oh, what’s that?” tanya Riana, sebab ilustrasi yang terlihat di layar laptop sangat berbeda dengan storyboard yang tempo hari dibuat oleh Jiwa.
 
New project,” jawab Jiwa, kemudian terkekeh pelan. “Iseng ambil side job bikin ilustrasi di buku anak-anak.”
 
Riana lekas berdiri, mendekat ke arah laptop yang masih menyala. Mengamati ilustrasi yang dibuat oleh Jiwa, meskipun belum diberi warna yang sesuai.
 
Jiwa mengangkat dua cangkir berisi kopi, kemudian menghampiri Riana.
 
“Baru ilustrasi kasar,” jelas Jiwa sambil menyerahkan secangkir kopi pada Riana.
 
“Ini hasilnya akhirnya pasti bagus banget,” puji Riana, sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman.
 
Pujian sederhana itu membuat dada Jiwa menghangat. Laki-laki itu tersenyum, kemudian menyesap kopi untuk menghangatkan tubuhnya.
 
By the way, kamu nggak bosen setiap hari cuma stay di studio? Aku bahkan nggak pernah lihat kamu hang out, jalan sama temen, atau jalan sama cewek,” tanya Riana penasaran.
 
“Kadang-kadang keluar dari studio, apalagi kalau lagi suntuk. Jalan sama temen atau cewek pun sering, tapi kan nggak pernah laporan sama kamu. Makanya kamu nggak tahu,” jawab Jiwa.
 
Riana tertawa, lalu kembali duduk di bean bag sambil menyesap kopinya.
 
“Kamu punya pacar?” tanya Riana beberapa saat kemudian.
 
Jiwa menyeringai, lalu berkata, “kenapa tiba-tiba penasaran soal itu? Kamu mau ngajak aku pacaran?”
 
No. Cuma tanya, karena cowok kayak kamu mustahil nggak punya pacar atau gebetan.”
 
“Wow! Cowok kayak aku?”
 
Handsome and hot.”
 
“Blak-blakan ya, Riana.”
 
Riana tertawa lagi, tangannya terasa hangat saat menyentuh cangkir. Ia lantas menatap ke arah lilin yang tiap detiknya meleleh. Semakin lama akan semakin pendek.
 
“Kamu punya pacar, Riana?” giliran Jiwa yang balik bertanya.
 
“Terakhir kali pacaran sama abang kamu,” jawab Riana, terkesan seperti candaan santai. “Habis ditinggal nikah, nggak pernah pacaran lagi sampai sekarang.”
 
“Kenapa putus?”
 
“Mada nggak pernah cerita soal itu?”
 
“Jawabannya selalu ambigu. Jujur, aku nggak nyangka kalau Mada bakal nikah sama perempuan lain. I mean, aku tahu persis kalau Mada cinta mati sama kamu.”
 
“Lucu, ya? Pacaran setahun, ujung-ujungnya nikah sama orang lain.”
 
Jiwa menatap Riana lekat-lekat, menunggu jawaban yang jelas dari perempuan itu. Jujur, Jiwa penasaran setengah mati.
 
“Aku sumber masalahnya,” jawab Riana setelah jeda yang cukup panjang. “Mada mau punya keluarga kecil, impian terbesarnya adalah jadi seorang ayah. Sayangnya, aku nggak bisa ngasih itu semua. Aku bukan perempuan yang tepat buat diajak ke jenjang pernikahan.”
 
Jiwa termenung, mencoba untuk menyatukan kepingan-kepingan puzzle agar menjadi rangkaian peristiwa yang utuh.
 
Riana tersenyum miris, lalu berkata, “I’m a bad girl. Aku yang nyakitin Mada. Aku yang minta dia buat pergi dan nggak berharap banyak.”
 
“Kamu pasti punya alasan, kan?” sahut Jiwa.
 
“Pernikahan itu nggak ada bedanya sama penjara. Berapa persen sih pasangan yang pernikahannya harmonis dan bahagia? Orang-orang di sekitarku kelihatan lebih tertekan dan menderita setelah menikah. Ada yang diselingkuhi, ada yang ditinggalin tanpa alasan, ada yang dianiaya sampai babak belur. Jadi, aku nggak nemu alasan yang pas kenapa harus menikah. I mean, apa urgensinya? Aku udah cukup bahagia hidup sendirian.”
 
Dan, akhirnya Jiwa mengerti.
 
Dari caranya berbicara, Riana seolah sedang memperlihatkan luka-luka di dalam hatinya. Meskipun tak menjelaskan secara gamblang, tapi Jiwa bisa menebak kalau Riana memiliki masa lalu yang cukup menyakitkan.
 
“Tapi…” sambung Riana sambil mengusap pinggiran cangkirnya. “Kadang-kadang, aku ngerasa hampa. Ada kalanya aku sadar kalau aku juga manusia biasa yang butuh banyak afeksi, butuh partner sebagai tempat bersandar dan berkeluh kesah.”
 
Ada kesedihan yang jelas terasa dari cara Riana berbicara. Perempuan itu tersenyum tipis, lalu menghabiskan sisa kopi di dalam cangkirnya.
 
"Egois, kan? Pengin punya seseorang buat bersandar, tapi nggak mau ngasih kepastian soal hubungan. Habis putus sama Mada, akhirnya aku paham. Bahwa mungkin, perempuan kayak aku ini nggak pantes buat punya hubungan asmara."

Riana menunduk, memandang cangkirnya yang telah kosong. Hatinya serasa diremas-remas.

Jiwa menatap Riana lekat-lekat. Tangannya perlahan terulur, menyentuh pipi Riana dengan lembut.
 
Riana tertegun, kemudian memejamkan mata. Nikmati sentuhan hangat yang diberikan oleh Jiwa.
 
Detik berikutnya, Jiwa menarik tubuh Riana. Merengkuhnya erat-erat, berbagi sedikit kehangatan di malam yang terasa dingin akibat hujan lebat. Tanpa sadar, Riana menyandarkan kepalanya di dada Jiwa yang kokoh. Rasakan embusan napas dan detak jantung yang begitu dekat.
 
Di tengah keheningan yang tercipta, lilin akhirnya padam karena telah terbakar habis. Studio berselimut gulita, namun dua manusia yang ada di dalamnya terlihat begitu nyaman berbagi pelukan.
 

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang