broken pieces

948 176 16
                                    

break the rules


Bagi Riana, menginjakkan kaki di Kota Semarang sama dengan membuka luka lama.
 
Lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sana, sehingga tiap-tiap tempat terasa sangat familiar. Meskipun ingatan yang tersisa tentang masa kecilnya tak seberapa, serupa fragmen yang tercerai-berai. 
 
Dari Tawang, perjalanan dilanjutkan menuju hotel yang terletak di kawasan Simpang Lima. Tepat di pusat kota yang selalu ramai dan sibuk, terlebih saat masuk jam pulang kerja.
 
Sesampainya di hotel, Riana dan Jiwa segera check in. Memesan dua kamar yang bersisian, agar lebih mudah jika ingin berjumpa dan berbicara. Punggung mereka sama-sama pegal karena duduk dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, mereka tidak bisa langsung beristirahat di atas ranjang.
 
Setibanya di dalam kamar, Riana langsung membuka kopernya. Mengeluarkan sebuah dress batik berwarna cokelat, akan digunakan untuk menghadiri makan malam keluarga.
 
Dress diletakkan di atas ranjang, setelah itu Riana berjalan menuju kamar mandi sambil membawa handuk dan pouch berisi alat-alat mandi.
 
Berdiri di bawah shower, biarkan tubuhnya terkena guyuran air dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seluruh keringat dan kotoran ikut luruh bersama aliran air. Rasanya lega luar biasa, meskipun setelah ini Riana masih harus berhadapan dengan masalah-masalah lain.
 
Usai mandi, Riana mengeringkan rambutnya. Lalu, mengenakan dress batik yang melekat dengan sempurna di tubuhnya.
 
Berdiri di depan cermin, kemudian tersenyum miris.
 
Pada dasarnya, Riana tetaplah seorang anak yang sangat haus dengan kasih sayang. Seperti bocah yang nekat menciptakan kekacauan demi menarik perhatian orang tuanya. Lapar dan haus, ingin sekali dicintai sebagaimana mestinya.
 
Perempuan itu kini duduk di depan meja rias, perlahan memakai makeup dan menyisir rambut.
 
Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu.
 
“Riana,” panggil Jiwa dari arah depan.
 
Riana lekas berdiri, meraih ponsel dan hand bag yang tergeletak di atas ranjang. Lalu, memakai sepasang high heels berwarna hitam.
 
She’s ready. Setelah sekian lama akan kembali menginjakkan kaki di rumah Papa.
 
Riana menyentuh gagang pintu, kemudian menariknya secara perlahan. Begitu keluar dari kamar, Riana langsung menjumpai Jiwa yang sudah tampan dalam balutan kemeja hitam dan celana panjang.
 
Jiwa tersenyum saat melihat Riana yang begitu cantik dalam balutan dress batiknya.
 
“Berangkat sekarang?” tanya Jiwa.
 
Riana mengangguk, kemudian membuka ponselnya untuk memesan taksi.
 
“Rumahnya nggak jauh dari sini. Mungkin cuma butuh limabelas menit perjalanan,” jelas Riana sambil melangkahkan kedua kakinya menuju lift.
 
“Kamu yakin soal ini, Riana?” tanya Jiwa sambil menatap Riana dengan cemas, “seandainya kamu nggak nyaman, batalin aja rencana buat pergi ke sana. Kita bisa jalan-jalan keliling kota sambil cari jajanan yang enak.”
 
“Udah lama banget aku nggak ke rumah Papa. Sampai lupa apa warna cat temboknya,” jawab Riana, kemudian terkekeh pelan. “Mungkin malam ini ada acara spesial di sana, makanya aku juga diundang.”
 
“Nggak apa-apa kalau aku ikut?”
 
Don’t worry about it. Nambah satu porsi makanan nggak akan bikin mereka jatuh miskin.”
 
Jiwa terkekeh pelan, tangannya lantas terulur untuk menyentuh helaian-helaian rambut Riana dengan lembut. Riana hanya menunduk, pura-pura sibuk dengan layar ponselnya.
 
Beberapa saat kemudian, lift telah tiba di lantai dasar.
 
Mereka keluar dari lift, lalu berjalan menyusuri lobi. Taksi yang dipesan oleh Riana sudah sampai di depan hotel.
 
Tanpa pikir panjang, Riana dan Jiwa langsung masuk ke dalam taksi.
 
Taksi melaju, menyusuri jalan raya yang cukup penuh dengan kendaraan. Ada banyak pedagang kaki lima yang dijumpai sepanjang jalan. Yang dijual juga bermacam-macam, mulai dari makanan berat sampai minuman tradisional seperti wedang jahe.
 
Tepat pukul tujuh, taksi telah sampai di tempat tujuan.
 
Riana dan Jiwa melangkah keluar, sama-sama memandang ke arah rumah dua lantai yang ada di depan mata. Rumah bergaya modern-minimalis itu didominasi oleh warna putih. Halaman depannya memang tidak luas, tapi cukup untuk memarkirkan tiga buah mobil.
 
Riana menyentuh tangan Jiwa, menggenggamnya erat-erat.
 
Everything will be okay,” ucap Jiwa.
 
Riana tersenyum tipis, kemudian berjalan melewati pagar yang tidak digembok. Tangannya masih bertautan dengan tangan Jiwa.
 
Berhenti di depan pintu. Tangannya perlahan terangkat untuk mengetuk.
 
Selang beberapa detik, pintu dibuka. Papa yang memakai baju casual langsung tersenyum lebar ketika melihat Riana.
 
“Riana,” ucap Papa dengan suara yang sedikit serak.
 
Sosok yang dulu Riana anggap sebagai superhero itu kini terlihat begitu tua, ringkih, dan kecil. Ke mana perginya laki-laki kuat yang selalu menangkap Riana ketika akan terjatuh? Bagaimana bisa bahu yang dulunya sekokoh batu malah berubah menjadi rangka keropos yang tinggal menunggu waktu untuk hancur?
 
“Ini siapa, Riana? Pacarmu?” tanya Papa sambil menunjuk Jiwa.
 
Jiwa membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian berkata, “selamat malam, Pak. Perkenalkan, nama saya Jiwa.”
 
“Selamat malam, Nak Jiwa. Terima kasih ya sudah datang jauh-jauh ke sini.”
 
“Saya hanya menemani Riana, Pak.”
 
Papa tersenyum, kemudian membuka pintu lebar-lebar. Mempersilakan Jiwa dan Riana untuk masuk ke dalam rumah.
 
Riana masih tenggelam di dalam lamunannya, hingga sentuhan lembut Jiwa di bahunya seketika membuyarkan segalanya.
 
“Ayo masuk,” bisik Jiwa.
 
Riana menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian melangkahkan kakinya ke dalam rumah.
 
Begitu tiba di ruang tamu, tatapan Riana tertuju pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dalam foto itu, Papa terlihat sangat bahagia bersama keluarga barunya. Seorang istri, plus dua anak perempuan hadir di sisinya. Tentu saja tak ada Riana di sana, sebab ia tak pernah menjadi bagian dari keluarga baru.
 
“Papa sudah siapkan bolu pandan kesukaan Riana,” ucap Papa, begitu antusias menunjukkan sekotak bolu pandan yang tadi sore dibeli dari toko kue.
 
Masalahnya, kue favorit Riana bukanlah bolu pandan. Perempuan itu malah tak menyukai aromanya yang terlalu wangi, sampai membuat mual. Kue favoritnya adalah brownies.
 
Riana tak mengatakan apa-apa, hanya memandang bolu pandan dengan ekspresi yang tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata.
 
“Ayo ke ruang makan. Yang lain sudah menunggu,” kata Papa.
 
Riana mengembuskan napas, kemudian mengikuti Papa menuju ruang makan. Di mana semua anggota keluarga sudah berkumpul.
 
Riana langsung menerima tatapan sinis dari kedua adik tirinya, Reina dan Raya. Mereka jelas tak menyukai kehadiran Riana di tengah acara makan malam keluarga.
 
Tapi, Riana tak peduli. Ia langsung menarik kursi, kemudian duduk dengan tenang sambil mengamati hidangan yang telah tersaji di atas meja makan.
 
“Mbak Riana udah mau nikah? Ini calon suaminya?” tanya Reina. Tak ada basa-basi, langsung to the point bertanya soal hubungan Riana dengan Jiwa.
 
“Bukan urusan kamu,” jawab Riana sambil menyilangkan kedua kakinya.
 
“Sebentar lagi keluarganya calon tunanganku datang ke sini, tolong jangan ngomong yang aneh-aneh.”
 
“Calon tunanganmu harusnya tahu asal-usul keluarga kita. Nggak usah ditutup-tutupi.”
 
Ada kilatan amarah yang jelas terlihat dari sepasang mata Reina.
 
Untungnya, tak lama kemudian Tante Mutia datang dari arah dapur sambil membawa sebuah mangkuk besar berisi semur daging.
 
“Loh, Riana? Kapan sampai?” tanya Tante Mutia, agak terkejut dengan kedatangan Riana.
 
“Barusan,” jawab Riana dengan ketus.
 
Sampai detik ini, Riana masih menganggap Tante Mutia sebagai wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya dan merenggut semua kebahagiaannya.
 
“Kalian ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat?” tanya Papa, berusaha untuk mencairkan suasana di ruang makan.
 
Riana menggelengkan kepala, “no, saya nggak ingin menikah.”
 
“Usia kamu dua puluh tujuh, Riana. Bahkan Reina yang masih sembilanbelas tahun saja sudah mau bertunangan.”
 
“Reina nggak pernah lihat keluarganya hancur berantakan, jadi nggak punya trauma sama pernikahan. Beda sama saya yang dari kecil hidup sebagai anak broken home.”
 
Papa mengembuskan napas, sudah menduga Riana akan membahas hal yang sama lagi.
 
“Nggak ada topik lain, Mbak?” tanya Reina, nada bicaranya sedikit meninggi. “Jangan sok jadi manusia yang paling tersakiti di dunia. Papa kurang apa, sih? Setiap bulan rutin ngirim uang, bahkan rumah besar di Jakarta juga dikasih ke Mbak Riana secara cuma-cuma.”
 
“Kan emang nggak tahu terima kasih. Udah dikasih banyak hal, tetep aja ngerasa kurang,” ucap Raya, menambahi ucapan kakaknya. 
 
Riana tertawa hambar, kemudian menatap Reina dan Raya secara bergantian.
 
“Aku emang pendendam, kok,” ucap Riana dengan percaya diri. “Nggak bisa segampang itu memaafkan kesalahan orang lain, termasuk orang tua sendiri. Sampai saat ini aku belum bisa maafin perselingkuhannya Papa.”
 
Papa menggebrak meja, “cukup, Riana. Ucapan kamu sudah keterlaluan. Nggak seharusnya terus-terusan membahas kejadian di masa lalu.”
 
Faktanya, Riana memang terbelenggu dalam luka masa lalu. Hingga rasanya sulit sekali untuk membuka hati dan memperjuangkan apa yang benar-benar diinginkannya.
 
Papa tak menyadari, bahwa serangkaian peristiwa di masa lalu telah mempengaruhi Riana. Memberi efek yang tak bisa hilang begitu saja meskipun tahun demi tahun telah berlalu.
 
Kedua tangan Riana terkepal kuat, perempuan itu lantas berkata. “Iya, Pa. Saya masih terjebak di masa lalu, susah buat keluar.”
 
“Kamu sudah dewasa, Riana! Bukan lagi anak-anak yang suka berbuat onar demi mendapat perhatian dari orang tuanya!” balas Papa.
 
Suasana ruang makan semakin menegang. Semua orang yang hadir di sana bahkan belum sempat mencicipi satu pun hidangan yang telah tersaji.
 
Jiwa mengembuskan napas, kemudian menggenggam tangan Riana erat-erat. Mencoba untuk menenangkannya.
 
“Gara-gara Papa, saya nggak percaya sama komitmen dan pernikahan. Berkali-kali saya mendorong laki-laki buat menjauh, karena saya takut kalau suatu hari nanti mereka jadi seperti Papa yang bisa dengan gampangnya selingkuh,” ucap Riana.
 
Dadanya bergemuruh hebat. Tapi, ia tak bisa berhenti begitu saja. Ada lebih banyak amarah yang menunggu untuk diluapkan.
 
“Kalau Papa yang saya anggap superhero aja bisa selingkuh, apalagi laki-laki yang baru saya kenal?” sambung Riana, kemudian mencengkram tangan Jiwa erat-erat. “Saya jatuh cinta sama Jiwa, Pa. I love him so much. Tapi, saya bahkan nggak berani buat berkomitmen karena takut suatu hari nanti dibohongi. Saya suka semua afeksi dan perlakuan manis dari Jiwa, tapi bahkan nggak bisa ngasih kepastian dan harapan. Karena…percuma…ujung-ujungnya saya tetap minta dia buat pergi dan menjauh…”
 
Jiwa terpaku, dadanya terasa nyeri.
 
“Riana,” panggil Papa, nada bicaranya sedikit melunak.
 
Riana mengangkat gelas yang ada di atas meja, kemudian melemparkannya ke atas lantai hingga pecah. Kepingan-kepingannya berserakan.
 
Semua orang di ruang makan terkejut luar biasa, termasuk Jiwa.
 
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Riana langsung bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan rumah.
 

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang