break the rules
•
Sebagai seseorang yang sudah berkecimpung di dunia seni selama bertahun-tahun, sebenarnya Jiwa lebih menyukai traditional art ketimbang digital art. Menciptakan gambar dan tekstur di atas kanvas rasanya jauh lebih menyenangkan daripada berkutat dengan stylus pen selama berjam-jam.
Hanya saja, tuntutan pekerjaan membuat Jiwa harus lebih sering bermain dengan digital art. Rasanya sudah lama sekali tak membuat lukisan di atas kanvas.
Jiwa sudah menyelesaikan revisi ilustrasi sejak setengah jam yang lalu, maka kini ia memiliki waktu senggang untuk bermain dengan cat dan kuas. Tak ada kanvas baru di studio, sehingga Jiwa memutuskan untuk membuat lukisan di atas kertas cold pressed dengan cat air.
Laki-laki itu duduk menghadap jendela, meletakkan kertas, palet, dan cangkir kecil di atas meja. Setelah itu, mengeluarkan sedikit cat air berwarna biru di atas palet, kemudian diencerkan dengan sedikit air.
Memegang kuas, perlahan menyapukannya di atas kertas hingga menciptakan blue rose yang baru mekar. Kelihatannya sangat mudah, tapi sebenarnya membutuhkan teknik yang cukup rumit.
Studio sunyi, hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang. Menandakan kalau detik terus berjalan, malam semakin larut.
Sesekali Jiwa menatap ke arah luar, untuk memeriksa apakah Riana sudah pulang.
“Where is she?” gumam Jiwa, kemudian membuka ponselnya untuk memeriksa apakah ada notifikasi pesan baru. Tapi, ternyata tak ada apa-apa.
Jiwa sedikit cemas, khawatir kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Tapi, di sisi lain, ia ragu untuk menelepon atau sekadar mengirim pesan. Khawatir kalau pesannya justru mengganggu Riana yang mungkin sedang fokus bekerja atau hang out dengan teman-temannya.
Jiwa menghela napas, kemudian bangkit dari duduknya untuk menggantung lukisan blue rose pada wire grid. Dijepit dengan wooden clip kecil.
Sekali lagi, Jiwa menatap ke luar jendela. Mengamati beberapa sepeda motor yang baru saja melintas, siapa tahu salah satunya adalah driver ojek yang mengantar Riana pulang.
“Kenapa belum pulang juga?” ucap Jiwa, lalu meraih ponselnya dan melangkah meninggalkan studio.
Lampu di lantai atas masih mati, bahkan semua jendelanya juga tertutup rapat. Menandakan kalau sang pemilik gedung belum kembali.
Padahal, Jiwa berencana mengajak Riana nonton film sambil menikmati secangkir cokelat panas. Mereka juga bisa berpelukan dengan mesra, bahkan tidur bersisian sampai pagi datang.
Tapi, bahkan saat jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas, tetap saja Riana tak terlihat di mana-mana. Kondisi jalan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang melintas.
Tak tahan dengan rasa cemas yang menggelayuti hatinya, akhirnya Jiwa memutuskan untuk menelepon Riana.
“Halo…”
Riana mengangkat telepon dari Jiwa. Suaranya terdengar agak samar, tenggelam dalam keriuhan di sekelilingnya.
“Kamu di mana? Kenapa belum pulang?” tanya Jiwa.
Di seberang sana, Riana terkekeh pelan. “Aku malam ini nginep di apartemen Windy. Mungkin baru pulang besok pagi.”
Apartemen Windy? Kenapa riuh sekali?
“Are you okay?” tanya Jiwa sambil mengusap tengkuk lehernya.
“Ya, I’m okay. Udah dulu ya, ini mau lanjut nonton drama,” sahut Riana dengan cepat.
Baru saja Jiwa akan menyahuti, tapi Riana terlebih dulu mengakhiri telepon secara sepihak. Terkesan tak ingin memperpanjang pembicaraan dengan Jiwa, entah karena alasan apa.
Jiwa termenung, menatap layar ponselnya yang telah menggelap. Dalam hati bertanya-tanya apakah dirinya tanpa sengaja melakukan kesalahan yang membuat Riana kesal.
***
Riana tersenyum kecut setelah mengakhiri telepon. Ponselnya kembali diletakkan di atas meja.
Perempuan itu lantas mengeluarkan sebatang rokok, menyelipkannya di celah bibir. Dengan sebuah pemantik, rokok dinyalakan hingga menghadirkan kepulan asap ke udara.
“I’m a mess,” gumam Riana, lalu kembali mengisap rokoknya.
Windy yang duduk di seberang Riana hanya bisa menghela napas, telinganya terasa sakit karena musik di sekeliling yang terlalu berisik.
“Papa minta aku berangkat ke Semarang besok pagi, buat menghadiri acara pertunangan anaknya,” kata Riana, kemudian tertawa hambar. “Cuma anak hasil perselingkuhan, tapi kelihatannya bahagia banget punya keluarga yang lengkap dan calon suami yang luar biasa.”
Kini Windy mengerti kenapa Riana tiba-tiba mengajaknya pergi ke club. Mereka bahkan tak minum, hanya memesan dua gelas cocktail untuk sekadar menghias table.
“Lucu, kan? Aku takut sama yang namanya komitmen dan pernikahan gara-gara punya keluarga yang kacau berantakan. Tapi, si kepala keluarga malah nggak merasa berdosa sama sekali,” sambung Riana.
Windy tak tahu harus menghibur Riana dengan cara apa. Maka, yang bisa dilakukan hanyalah memasang telinga untuk mendengar tiap ceritanya.
“What should I do?” kata Riana sambil menjatuhkan abu rokoknya di dalam asbak. “Aku muak lihat wajah Papa. Tapi, aku juga mau nunjukin kalau aku bisa berhasil sampai di titik ini walaupun nggak dapat dukungan dari keluarga yang lengkap.”
“Kamu bisa pergi ke sana, Ri. Tunjukin di depan semua orang kalau kamu baik-baik aja, bisa tumbuh jadi perempuan dewasa yang luar biasa walaupun tanpa kasih sayang seorang ayah,” sahut Windy.
“Luar biasa apanya? Aku kacau begini.”
“You’re not a mess. Jangan terus-terusan mandang diri sendiri sebagai sumber masalah.”
Sayangnya, Riana memang merasa kalau dirinya adalah sumber masalah. Berkali-kali menorehkan luka di hati orang-orang yang tulus mempedulikannya. Entah ada berapa banyak laki-laki yang sudah Riana sakiti gara-gara ketidakpercayaannya akan komitmen dan pernikahan.
Dengan Jiwa juga pasti seperti itu.
Nantinya Riana akan meminta Jiwa untuk pergi, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
“Coba ajak Jiwa ke Semarang,” ucap Windy beberapa saat kemudian.
“Biar Jiwa tahu gimana kacaunya keluargaku?” sahut Riana sambil mematikan rokoknya.
“No. Buat menunjukkan kalau kamu juga punya pacar yang hebat.”
“Jiwa bahkan bukan pacarku. Nggak ada hubungan apa pun di antara kami.”
“It doesn’t matter. Menurutku, sampai sekarang Jiwa nggak pernah blak-blakan ngajak kamu pacaran karena dia tahu gimana keadaan kamu. He really loves you, sampai titik di mana rela ngejalanin hubungan tanpa status sama kamu.”
Riana termenung, kembali mengingat ucapan Mada.
Kalau hanya ingin main-main, sebaiknya berhenti.
Miris sekali, karena Riana tak tahu bagaimana caranya berhenti dan mengakhiri. Dulu, ia bisa dengan mudahnya meminta Mada untuk menjauh dan berhenti mencintai. Tapi, dengan Jiwa justru terasa berat luar biasa. Padahal, baru beberapa bulan mereka resmi berkenalan.
Riana bangkit dari duduknya, kemudian berkata, “thanks, Win. Aku pulang dulu ya, besok pagi harus berangkat ke stasiun.”
“You’re welcome,” sahut Windy sambil menyunggingkan seulas senyum di bibirnya.
Riana berjalan meninggalkan club sambil membuka ponselnya, memesan taksi. Batal menginap di apartemen Windy. Memutuskan untuk pulang, segera tidur karena besok pagi harus berangkat ke Semarang.
Keputusannya sudah bulat.
Riana menghentikan langkah di depan club, menengok ke kanan dan kiri. Selang lima menit, taksi yang dipesan akhirnya datang.
Perempuan itu segera masuk ke dalam taksi, kemudian melirik jam tangan di pergelangannya. Sudah hampir tengah malam.
Dalam hitungan detik, taksi melaju di jalan raya yang mulai senggang. Riana memejamkan mata sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, pura-pura kelelahan agar tak diajak bicara oleh sang driver.
Ketika taksi telah tiba di tempat tujuan, barulah Riana membuka kedua matanya. Segera menyerahkan uang kepada supir taksi, kemudian membuka pintu dan melangkah keluar.
Tatapan Riana tertuju ke arah studio. Pintunya tertutup, demikian pula dengan jendelanya. Tapi, lampu di dalam masih menyala, menandakan kalau sang penghuni masih terjaga.
Riana mempercepat langkah menuju tangga. Sialnya, tiba-tiba Jiwa membuka pintu studionya.
“Riana,” panggil Jiwa.
Langkah Riana seketika terhenti. Ia menoleh, menatap Jiwa yang sedang berdiri di depan pintu dengan wajah cemasnya.
“Nggak jadi nginep?” tanya Jiwa.
“Iya,” jawab Riana singkat.
Jiwa menatap Riana lekat-lekat. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan, tapi pada akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk menahan diri.
“Good night,” kata Jiwa sambil tersenyum.
Saat Jiwa baru saja akan kembali ke dalam studio, Riana mencegahnya.
“Besok ada acara? Bisa temenin aku ke Semarang?” tanya Riana, to the point.
Jiwa terdiam selama beberapa saat, bingung luar biasa karena Riana tiba-tiba mengajaknya ke Semarang. Tapi, sekarang sudah tengah malam, Riana juga terlihat sangat lelah dan membutuhkan istiraat.
Oleh sebab itu, Jiwa langsung setuju tanpa bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanfictionSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.