Bab 1

3.8K 122 58
                                    

Liburan pertamaku setelah melalui empat semester perkuliahan yang melelahkan ditambah lagi aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Liburan pertamaku setelah melalui empat semester perkuliahan yang melelahkan ditambah lagi aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Namun semua terbayarkan dengan lelahnya penerbangan selama dua jam lebih Kuala Lumpur-Jakarta. Aku akhirnya tiba kembali ke tanah air. Aku memejamkan mataku, menghirup napas panjang lalu menghembuskannya. Jakarta hanyalah tempat persinggahan. Tujuanku adalah Surabaya. Kota kelahiranku. Tempat satu-satunya rumah bagiku berada. Ibuku.

"Masih terlalu dini untuk melepaskan rindumu. Kita baru akan tiba di rumah besok." Suara berat Efran menegurku dari belakang.

Aku berbalik dan tersenyum padanya. Dia menghampiriku dengan menggeret dua koper besar di kedua tangannya. Jelas itu koperku dan kopernya. Dia menawarkan diri menunggu barang-barang bagasi saat pesawat baru saja landing. Aku tidak menolak bantuan. Karena aku pengertian, maka aku mengerti dia hanya ingin membuatku merasa dihargai sebagai perempuan. Seperti itulah dia.

Dia melewatiku dan berjalan lebih cepat dengan aku mengekorinya. "Kau yakin tidak masalah kita berbagi kamar?" dia berhenti saat seorang supir taksi muncul untuk membantu memasukkan koper-koper kami.

"Lagipula aku tidak akan menggunakan kamar hotel itu. Aku lebih memilih berkumpul bersama Fito dan yang lainnya sampai subuh. Aku hanya akan menitipkan koperku padamu."

"Apa mereka hanya teman-temanmu? Mereka juga teman-temanku. Aku juga ingin bertemu mereka. Aku merindukan Bianca." Sambil masuk ke mobil, aku tersenyum memikirkan sahabatku, Bianca.

"Sudah lama tidak melihat senyummu." Aku menoleh mendapati Efran yang menatapiku. Tatapan yang pernah membuatku tersipu itu selalu sama, tidak pernah kehilangan kekuatannya.

"Kau tahu, aku sudah seharusnya tersenyum bahagia ketika ada kesempatan untuk menjalani kehidupan normalku." Dia tersenyum lalu tertawa kecil karena kalimatku. Dia tahu benar apa maksudku.

Mobil taksi yang kami tumpangi mulai melaju dengan tujuan akhir hotel untuk kami menginap malam ini. Kami akan melanjutkan perjalanan dengan kereta ke Surabaya besok. Aku dan Efran mulai sibuk menurunkan bawaan kami. Efran menyelesaikan proses check in, lalu kami menaiki lift bersama-sama menuju kamar nomor tiga-empat.

"Aku mengerti kau harus mengejar nilai yang bagus setiap semesternya, tetapi aku harap kau bisa sedikit melonggarkan waktumu. Setiap kali kita bertemu yang aku ingat hanyalah wajah seriusmu memikirkan tugas-tugas kuliah," kata Efran tiba-tiba.

Aku menunduk menatap lantai. "Aku tidak cantik, bahkan aku gadis miskin. Apa yang aku punya hanyalah otakku. Jadi, selagi aku masih mampu dan ada kesempatan, aku harus berusaha sekuat otakku." Aku tersenyum miris.

"Dara, kau cantik. Kau juga seksi. Aku sering mengatakannya padamu dulu, bahkan setelah semua yang terjadi kau masih sama seperti Dara yang pernah bersamaku dulu." Sudah lama sejak terakhir kali ada pria yang memujiku cantik. Pria terakhir kali itu juga adalah Efran.

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" tanyaku. Aku ingin segera mengetahui arah percakapan kami agar aku tidak melakukan hal konyol dengan bernostalgia ke masa lalu.

"Aku hanya ingin kau meluangkan waktumu untuk berkencan atau setidaknya sekedar bertemu pria yang dapat membantu melepaskan penat dan tekananmu. Nilaimu penting, tetapi kesehatan mentalmu jauh lebih penting."

Ting...

Pintu lift terbuka, aku bergegas menggeret koperku keluar dan berjalan lurus langsung menuju ke depan pintu kamar tiga-empat, Efran mengikutiku dari belakang. Wajahku memerah karena amarah dan malu yang kupendam. Aku merasa seperti perempuan paling murahan dari semua perempuan murahan.

"Aku juga ingin bersenang-senang. Aku juga ingin melakukan one-night-stand, seks, atau apapun itu yang kau maksudkan. Tetapi tidak sekarang. Aku bukanlah generasi ketiga keluarga kaya raya sepertimu. Aku tidak bisa sesantai dirimu, lalu bersenang-senang menikmati hidup dengan seks dimana-mana. Hidupku kali ini tidak mengizinkanku untuk bersenang-senang. Kau, lebih dari siapapun melihat aku menjalani hidupku. Aku pikir kau akan mengerti aku? Tetapi apa yang baru saja kau katakan sangat menyinggung perasaanku."

Aku menoleh, meraih kartu untuk membuka kunci kamar, lalu membuka pintu dan bergegas masuk ke kamar hotel yang gelap.

Efran mengikutiku masuk dan menemukan remote untuk menyalakan lampu, lalu menarik lenganku sehingga aku harus berbalik menghadapnya. "Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Hanya saja seperti katamu bahwa aku melihatmu menjalani hidupmu, dan yang aku lihat adalah kau yang selalu menangisi tugas-tugas ketika hampir tiba deadline pengumpulan. Ketika aku bertanya kau selalu mengatakan bahwa kau tidak mengerjakan tugasmu dengan sempurna, selalu tidak sempurna. Kenyataannya kau selalu mendapat nilai lebih dari yang lainnya. Semua yang kau kerjakan sempurna. Kau selalu disanjung-sanjung para dosen. Namun, semua yang sempurna itu belum cukup bagimu. Aku khawatir kau akan gila suatu saat nanti karena mengharapkan kesempurnaan semu itu." Ia mengatakan hampir seperti meneriakiku.

Rahangku jatuh dan mulutku terbuka mengespresikan ketidakpercayaan akan apa yang baru saja dikatakannya. Hanya itu yang dia ingat saat bersamaku?

"Aku mengerti keadaanmu lebih dari siapapun," lanjutnya dengan lebih lembut.

"Tidak. Kau salah. Bahkan aku pun salah menilaimu. Ternyata kau tidak mengerti keadaanku sedikitpun." Kami terdiam untuk beberapa detik kemudian. Dia seperti akan mengatakan sesuatu namun tidak tahu apa yang harus ia katakan. "Aku akan pergi lebih dulu. Jangan mengikuti aku," lanjutku.

Aku mengalungkan tas selempangku lalu menggenggamnya di depan dadaku. Aku menatapnya yang masih terdiam di depanku, kemudian aku berjalan melewatinya untuk terus bergerak keluar dari kamar hotel ini. Aku segera menekan tombol turun ketika tiba di depan pintu lift. Sambil menunggu pintu terbuka, aku meraih ke dalam tas dan mengeluarkan ponselku. Aku mencari kontak Bianca dan meneleponnya.

"Halo"

"Bi, Aku akan ketempatmu sekarang."

"Aku jelas senang kau kesini sekarang, tetapi bukankah kemarin katamu akan ketempatku siang hari? Apa terjadi sesuatu denganmu?" Bianca terdengar khawatir.

"Tidak ada. Aku hanya merasa lebih baik kita bertemu secepatnya. Sudah lama aku ingin kau dandani seperti dulu lagi." Aku berusaha tidak merusak mood kami untuk persiapan nanti malam.

"Baiklah kalau itu katamu. Aku akan mengirimkan alamatku kalau begitu. Hati-hati di jalan, Ra sayang," katanya, lalu mengakhiri panggilan telepon.

Ting...

Pintu lift terbuka, aku bergegas masuk dan memencet tombol lantai satu.

~bersambung

~bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rose Thorns: Dara's Love Journey #1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang