Bab 7

1.5K 106 91
                                    

“Dara, ayo sarapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Dara, ayo sarapan.” Suara familiar itu memanggilku lagi. Aku membuka mataku tersenyum karena sudah lama aku merindukan suara itu menyebutkan namaku.

Aku berguling di atas kasurku, menarik meregangkan tangan dan kakiku. Bangun pagi hari di kamarku sendiri benar-benar sangat menyenangkan. Aku kemudian bangkit berdiri, lalu berjalan keluar kamar. Aroma menggoda masakkan ibu memenuhi ruangan. Aroma ayam goreng, juga ada aroma wangi sayur sop yang segar.

“Sepertinya aku akan semakin merindukan masakan ibu.” Kataku saat melihat ibuku sedang mengisi piringku dengan makanan.

Ibuku tersenyum, “Duduklah.” Ibu menarik keluar kursi untuk aku. Aku lalu meletakkan pantatku di kursi.

“Bagaimana bisa masakan ibu walaupun itu masakah sederhana selalu terlihat sangat segar dan sangat enak.” Aku menunjukkan kesungguhan kalimatku melalui ekspresi wajahku. Aku ingin ibuku tahu bahwa aku sangat berterima kasih karena punya ibu seperti ibuku.

“hmm... mungkin karena ibu membuatnya sambil memikirkan cinta ibu yang untukmu?” ibu duduk di kursi didepanku dengan sedikit condong kedepan. Aku tersenyum karena perasaan hangat memenuhi dadaku.

“Ibu seharusnya mengatakan bahwa ibu punya resep rahasia atau semacamnya,” aku menggerutu sedangkan ibuku tertawa. Ibuku seorang tukang masak di sebuah rumah makan. Rumah makan itu sudah berdiri hampir enam tahun lamanya dan masih saja penuh pelanggan. Banyak yang mengatakan itu karena mereka menyukai masakan ibuku sehingga walaupun mahal mereka rela membayar untuk menikmati masakannya. Sedangkan aku yang setiap hari menikmatinya secara gratis, aku tidak tahu apalagi yang bisa ku sampaikan tentang hidupku kecuali aku merasa sangat bahagia bisa memiliki ibu seperti ibuku. Sayangnya, Gen yang meneruskan kemampuan memasak dari ibuku sepertinya tidak ada padaku. Aku pernah mencoba memasak namun berakhir dengan mengiris sidik jariku sendiri.

“Hari ini apa rencanamu?” ibu bertanya dengan tangannya masih sibuk mengambilkan berbagai lauk dan menaruhnya di atas piringku.

“Seperti biasa aku hanya akan membaca buku sebentar lalu mugkin aku akan tertidur sampai ibu pulang sore nanti.” Ketika aku diberi kesempatan untuk bersantai maka aku akan bersungguh-sungguh.

“Dara, sebenarnya hari ini ibu harus ke Rumah Sakit.” Aku menghentikan menyuap makanan masuk ke mulutku.

Kenapa ibu harus ke Rumah Sakit? Apa ibu sakit? Aku tidak berani menyuarakan pertanyaan-pertanyaan itu melalui mulutku, meskipun pertanyaan-pertanyaan itu menggema di seluruh pikiranku.

“Ibu hanya memeriksakan kesehatan seperti biasanya yang ibu lakukan setiap bulannya, Ra. Kau benar-benar tidak pandai berbohong, ibu bisa melihat kegusaranmu di wajahmu.” Ibu tersenyum padaku.

Aku tidak bisa tersenyum saat ini. Ibuku selalu bekerja keras untuk aku, selalu merawatku ketika aku sakit ataupun ketika aku sedang sedih. Ibu yang menguatkan aku ketika aku merasakan ketidakadilan saat di sekolah dulu, ‘Kenapa kau harus bersedih dan marah pada dunia? Dunia bahkan tidak menyadari kau bersedih karenanya.’ Aku menjadi Dara yang mandiri saat ini juga karena ibuku. Kemudian, setelah kuingat-ingat kembali, aku tidak pernah melihat ibuku mengeluh ataupun sakit. Aku bahkan tidak menyadari itu sampai hari ini. Ibu menyembunyikan semuanya, hanya itu satu-satunya alasan kenapa aku tidak pernah melihat ibu sakit ataupun sedih. Aku sedikit kecewa karena hal itu dan mungkin itu terlihat di wajahku.

Rose Thorns: Dara's Love Journey #1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang