"Efran pria gila!"
Bianca menjerit ketika aku ceritakan padanya apa yang dikatakan Efran padaku. Sejujurnya, aku tidak ingin menceritakan hal ini pada Bianca, tetapi dia adalah Bianca yang terkenal dengan keingintahuannya yang tinggi sejak dulu. Apapun yang membuatnya penasaran, kau harus mengatakannya sampai ia merasa cukup terjawab rasa penasarannya itu.
"Saat dia mengatakan tentang bersenang-senang dan berkencan, aku pikir dia akan menawarkan dirinya, menyatakan perasaannya bahwa ia ingin kembali bersamaku. Tetapi kemudian lanjutan kalimatnya membuatku merasa dia ingin aku menjadi seperti seorang remaja labil yang menghabiskan kekayaan orang tuanya di club, pada alkohol, lalu tidur dengan sembarang pria yang ingin menidurinya." Aku merasa kotor hanya dengan mengingat kembali kalimatnya.
"Aku tidak berpikir begitu. Kalimatnya dibagian itu lebih terdengar seperti dia ingin kau menemukan seorang pria yang bisa membantumu mengatasi masalahmu. Karena mungkin dia menyadari bahwa dia tidak bisa menjadi seorang pria itu bagimu, tetapi dia tetap ingin kau bersenang-senang." Kata Bianca. Aku menatapnya dengan sinis. Dia membuat Efran terdengar seperti pria yang sangat baik yang merelakan cintanya bersama orang lain karena ia sendiri akan segera meninggalkan dunia ini. Seperti kisah cinta yang tragis.
"Dia lah pria yang mengenalkanku pada seks. Kau lupa?" tegasku.
Kini Bianca yang balik menatapku sinis. "Setidaknya kalian memang berkencan saat melakukannya dulu." Kata Bianca. "Dara, aku lebih tertarik pada kalimatnya bahwa kau mungkin bisa gila karena semua yang kau kejar." Bianca menatap tepat ke mataku.
"Ada apa?" tanyaku.
"Jika yang Efran katakana benar, maka aku setuju dengannya. Kau ingat tetanggaku yang menjadi gila karena terlalu memaksakan diri belajar? Aku tidak ingin kau menjadi gila juga."
"Maksudmu, wanita yang menjadi gila saat menjalani studi doctor nya di Australia itu?" Aku ingat saat masih di Sekolah Dasar, wanita itu tiba-tiba menjadi gila dan menurut dokter banyaknya tekanan untuk berpikir membuatnya depresi hingga berhalusinasi sehingga akhirnya bunuh diri karena halusinasinya sendiri. Aku tidak tahu bagaimana semuanya bisa berhubungan, tetapi itulah yang terjadi padanya.
"Benar, dia. Aku bahkan masih bisa membayangkan dengan jelas kejadian hari itu."
Bianca menjadi orang pertama yang menemukan wanita itu tergeletak di tanah saat dalam perjalanannya ke Sekolah. Sepertinya wanita itu melompat dari atap lantai dua rumahnya saat tengah malam sehingga tidak ada yang menyadarinya. Lingkungan tempat tinggal Bianca juga sangat sepi saat malam hari.
Aku menarik Bianca ke dalam pelukanku. Aku ingat setelah kejadian itu, Bianca menjadi seorang anak yang pendiam. Padahal ia sangat ceria sebelumnya. "Maafkan aku membuatmu kembali mengingat saat itu." Kataku.
"Tidak apa-apa. Hal itu tidak lagi mempengaruhiku. Aku malah mengkhawatirkan keadaanmu."
Aku melepaskan pelukanku. "Aku tidak akan menjadi gila." Kataku dengan sedikit menertawakan kalimatku sendiri.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita mulai bersiap-siap sekarang untuk nanti malam? Karena aku benar-benar ingin mendandanimu saat ini. Aku akan membuatmu menjadi wanita paling cantik sehingga pria-pria tertarik untuk mendekatimu. Selanjutnya, kau bisa memilih ingin bersenang-senang dengan siapa."
"Jadi, kau memihak Efran?" tanyaku pada Bianca yang berdiri dari dari lalu menuju lemari pakaiannya.
"Aku pikir yang dia katakan ada benarnya. Lagipula sekarang adalah waktu liburanmu setelah sekian lama, tidak ada salahnya kau bersenang-senang hanya malam ini." katanya.
"Hanya malam ini?" Aku bertanya di dalam hatiku, tetapi mulutku pun ikut mengucapkan dengan sedikit berbisik.
Aku pikir Bianca maupun Efran tidak salah. Saat memutuskan untuk kembali ke rumah untuk liburan kali ini pun tekad awalku adalah bersenang-senang tanpa memikirkan tekanan yang harus aku hadapi saat perkuliahanku. Aku memanglah memutuskan untuk benar-benar menikmati liburan kali ini sebelum kembali ke rutinitasku nantinya.
"Bentuk tubuhmu tidak membantu... padalah gaun ini sangat imut dan polos. Tetapi kau sama sekali tidak boleh terlihat imut ataupun polos malam ini. Kau harus terlihat garang. Akan aku carikan gaun yang lainnya." Bianca menggenggam gaun merah ditangannya. Saat dia hendak mengembalikan gaun itu ke dalam lemari, aku berlari mencegahnya. Aku mengambil gaun itu dari tangannya.
"Aku tidak masalah dengan gaun apapun." Aku tidak ingin merepotkannya. Lagipula dia mau meminjamkan salah satunya gaunnya untukku saja aku sangat berterima kasih. "Aku akan mengenakan yang ini dan aku janji akan bersenang-senang malam ini." Jika dia mengkhawatirkanku maka aku akan berusaha agar Bianca atau siapapun tidak mengkhawatirkanku karena aku Dara, aku tidak ingin bergantung pada orang lain.
"Baiklah kalau itu maumu. Aku pikir tidak ada salahnya mulai bersiap-siap meskipun sekarang masing siang Dara sayang karena kita akan menghabiskan banyak waktu untuk menata rambutmu, lalu mendandanimu, lalu pedicure manicure sebelum kita akhirnya berangkat untuk malam ini." Katanya sambil mendorongku berjalan menuju ke kamar mandi.
"Kita tidak perlu pedicure manicure. Kau tahu itu membuatku seperti berjalan menjinjing beban, bukan?" protesku.
"Ayolah, ini liburanmu, nikmatilah pelayananku!" jerit Bianca semangat.
Aku tidak bisa membantahnya, karena sejak dulu dia selalu bisa membuatku melupakan perbedaan kami. Dia membuatku lupa bahwa aku gadis miskin yang berhutang budi pada keluarganya.
~bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Thorns: Dara's Love Journey #1
Romance❗WARNING ADEGAN DEWASA DI BEBERAPA BAGIAN❗ *belum revisi Dunia tidak bersahabat bagi seorang wanita dengan payudara yang besar. Seperti itulah yang Dara pelajari dari kehidupannya. Bahkan melihat ketulusan pun menjadi sulit. Sampai dia bertemu kemba...