Bab 32

512 81 67
                                    

Semakin dekat langkahku ke depan pintu kamar, pandanganku kabur karena genangan air mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semakin dekat langkahku ke depan pintu kamar, pandanganku kabur karena genangan air mata. Aku mendengar suara berisik dari dalam ruangan, seperti semua orang bicara bersamaan sekaligus. Air mataku menetes ketika aku tepat berada di depan pintu yang terbuka.

Dalam pandanganku yang berkabut, aku melihat Efran berdiri mematung tidak jauh dari pintu masuk. Bianca berdiri di sisi kanan tempat tidur, di sisi ibuku sambil menangis sejadi-jadinya dengan telapak tangannya menutupi mulutnya. Lalu aku terus menguatkan langkahku berjalan semakin masuk ke dalam ruangan hingga aku melewati Efran.

Air mata jatuh membasahi pipiku, aku membuka mulutku menarik nafas dari mulutku karena aku merasakan sesak di dadaku semakin mengikatku. Aku tidak bisa melihat wajah ibuku sekarang, aku akan merasa sangat bersalah.

Dua orang dokter dan seorang perawat terus memberikan kejut jantung pada ibu, tetapi bunyi bip alat di samping tempat tidur ibu, yang ku dengar sejak aku masih di luar sekarang semakin menusuk telingaku. Suara jeritan Bianca pun semakin memekakkan telinga.

"Waktu kematian pukul dua puluh satu lewat tiga puluh tiga menit."

Kakiku lemas dan aku jatuh ke lantai saat dokter mengumumkan waktu kematian ibu. Aku menutup mataku dengan telapak tanganku lalu menangis dengan tersengal-sengal karena dadaku begitu sesak, nafasku tersengal.

Para dokter dan perawat pun mulai menghentikan usaha mereka. Seketika yang terdengar dari ruangan ini hanyalah tangisanku dan Bianca yang saling sahut menyahut. Efran menjatuhkan banyak sekali kata makian dengan sangat pelan seperti kata-kata itu dia tujukan untuk dirinya sendiri.

Dalam tangisku aku kecewa. Kecewa karena ibu tidak membuka matanya sama sekali sebelum meninggalku. Kecewa aku tidak sempat mengatakan permintaan maafku. Kecewa karena waktu membuat semuanya sudah terlambat.

Aku memeluk kedua kakiku di lantai sambil terus menangis. Air mataku kembali mengalir dari segala sudut mataku.

Bianca melihatku lalu ia mendekatiku dan memelukku. Kami menangis dalam pelukan satu sama lain.

"Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang, Bianca." Aku kecewa karena ibu meninggalkanku benar-benar sendirian.

Tangisan Bianca semakin kencang.

Efran pun turun ke lantai dan memelukku dari belakang. "Maafkan aku, Ra. Maafkan aku."

Mereka berdua memang sudah seperti keluargaku tetapi tetap saja mereka bukan keluargaku. Hari ini akan menjadi hari yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Aku yakin tidak akan pernah aku lupakan, karena hari ini aku mendapat lubang yang sangat besar di hatiku. Lubang yang muncul karena kehilangan seseorang yang benar-benar kusayangi. Tidak akan ada lagi kesedihan yang melebihi kesedihanku saat ini.


🥺🥺🥺

Keesokkan harinya, Efran menyewakan auditorium sebagai rumah duka untuk ibuku. Aku terduduk di lantai, kepalaku bersandar pada bahu Bianca yang juga duduk di lantai. Di sampingku, Efran berdiri dan sibuk menyalani para pelayat.

Tubuhku terlalu lemas. Aku tidak peduli pada siapapun yang datang. Aku hanya terus menatap foto ibuku yang dikelilingi banyak bunga di segala sisinya. Aku kehilangan arah, aku kehilangan diriku. Ibuku adalah diriku. Aku melakukan semua dalam hidupku karena aku ingin ibu memenuhi impiannya melalui aku. Aku ingin mewujudkan impian ibuku. Sekarang semua terasa hampa dengan kepergiannya.

"Kau mau minum?" tanya Bianca dengan berbisik di telingaku.

Dia lalu menyodorkan ke depan bibirku ujung sedotan dari minuman di tangannya. Aku membuka bibirku menyesap air dari ujung setodan itu. Menyesap secukupnya hanya untuk sekedar membasahi tenggorokkanku yang kering.

"Terima kasih," kataku masih tidak menatap kemanapun selain foto ibuku.

Kemudian suara familiar memasuki telingaku. "Aku turut berduka cita." Suara kak Citra.

Lalu suara lainnya yang terdengar lebih familiar mengikuti suara kak Citra. Suara pria kali ini. "Aku turut berduka cita."

Aku berkedip merasakan air mata kembali menggenangi mataku ketika aku ingat suara berat itu. Itu suara Alex.

"Dara," panggilnya lembut saat sosok tubuhnya jongkok di depanku.

Aku menatapnya dari sudut mataku karena aku terlalu lemah untuk menoleh. Raut wajahnya penuh penyesalan dan kesedihan. Membuatku ingin jatuh ke pelukkannya dan menangis sekali lagi. Tetapi tidak kulakukan. Dia datang bersama kak Citra, dan itu lebih dari cukup menjadi alasan untuk menguatkanku agar segera meninggalkan Alex. Karena dia bahkan tidak peduli padaku sejak awal. Dia masih menyimpan perasaan untuk kak Citra. Lagipula mereka putus bukan karena tidak saling menyukai lagi, tetapi karena keluarga mereka. Jika mereka benar-benar ditakdirkan bersama maka mereka dapat bertahan. Alex masih bertahan. Kak Citra juga. Berarti aku hanyalah pengganggu kecil dalam hubungan mereka selama ini. Aku hanya pengalih perhatian bagi Alex.

Seperti pikiranku terbuka, aku mengerti sekarang mengapa Alex menolakku bahkan di saat dia sangat menderita karena tegangan seksual di antara kami. Aku sudah sangat menyusahkannya selama ini baik secara fisik mau perasaan.

~bersambung

Jangan lupa vote,
Komen dan follow ygy 🥰

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Rose Thorns: Dara's Love Journey #1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang