"Dara." Aku mendengar suara Efran memanggilku.
Efran dengan lembut menggoyangkan tubuhku pelan.
"Hm..." Aku berdehem lalu menegakkan posisi dudukku.
Aku tertidur dengan kepalaku bersandar pada tempat tidur pasien, disisi kanan ibuku.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali lalu menyadari Efran tidak sendiri, dia bersama Bianca.
Bianca bergegas ke arahku lalu memeluk kepalaku di depan dadanya. Aku ingin sekali menangis dalam pelukannya, tetapi tidak ada air mata setetespun yang menggenangi kantung mataku.
"Dara, maaf aku baru bisa datang." Bianca lalu melepaskan pelukannya.
"Kau tidak perlu kemari jika kau memang sibuk, Bianca," kataku.
Bianca mengeryit menatapku. "Ibumu sudah seperti ibuku sendiri, Ra. Lalu kau sudah seperti saudariku sendiri. Aku tidak mungkin meninggalkan kalian demi urusanku."
Aku tersentuh dengan kata-katanya tetapi aku tidak bisa meneteskan air mataku. Bianca dan Efran sangat baik padaku dan ibuku. Ketika semua orang hanya menghargaiku karena aku dapat mereka manfaatkan, Bianca dan Efran yang memperlakukanku lebih seperti selayaknya orang terdekat mereka.
"Kau dan ibumu bahkan lebih seperti keluarga bagiku daripada keluargaku sendiri," tambahnya. Aku berusaha tersenyum lemah padanya.
Aku tidak mengerti pengaturan hidup orang kaya. Mereka melahirkan anak hanya untuk mereka abaikan karena kesibukan mereka mengejar uang. Tetapi aku bisa mengerti bahwa uang memanglah sangat penting. Seandainya aku punya uang lebih aku akan bisa membawa ibuku kemanapun untuk mencoba semua pengobatan yang mungkin.
Efran mendekati kami. "Dara, Kau butuh makan. Aku akan menemanimu. Biarkan Bianca menunggu disini," katanya.
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku ingin tetap disini."
"Tetapi kau belum makan sejak pagi." Efran mengingatkanku.
"Aku tidak lapar," sahutku. Aku bahkan tidak bisa merasakan lapar atau tidaknya aku saat ini.
"Tetapi kau butuh makan." Kali ini suara Bianca, terdengar tegas. "Aku akan disini selagi kalian makan. Jangan khawatir, Ra," lanjutnya.
Aku menoleh menatap wajah ibu, lalu menghembuskan nafas mengalah untuk menuruti bujukan keduanya.
Aku bangkit berdiri lalu berjalan mengekori Efran dari belakang. Kami berjalan menyusuri lorong tanpa ada yang bicara. Ketika berpapasan dengan para perawat sepanjang perjalanan pun hanya Efran yang tersenyum lalu dibalas dengan tatapan terpesona setiap orang yang melihatnya. Aku bisa mengerti mereka menikmati apa yang mereka lihat, karena pesona terbesar Efran adalah senyumannya yang hampir sangat cantik. Dia seperti ditakdirkan untuk tersenyum dengan bentuk bibir dan giginya yang rapi dan indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Thorns: Dara's Love Journey #1
Romance❗WARNING ADEGAN DEWASA DI BEBERAPA BAGIAN❗ *belum revisi Dunia tidak bersahabat bagi seorang wanita dengan payudara yang besar. Seperti itulah yang Dara pelajari dari kehidupannya. Bahkan melihat ketulusan pun menjadi sulit. Sampai dia bertemu kemba...