Bagian 26🕊

54 9 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Dari awal, Nana memang terkesan sulit perihal menerima sebuah kepercayaan. Jangankan dari orang lain, diri sendirinya saja, terkadang masih diragukannya. Musik yang mengalun pelan, menjadi pengantar perjalanan panjangnya menuju kota Yogyakarta.

Cahaya kuning keemasan menjadi background yang indah, pejaman matanya seakan memberi peringatan, jangan ada yang mengganggu. Ia ingin membiarkan jiwanya terasa tenang untuk beberapa saat.

Tentang kepercayaan, sebetulnya Nana sudah lama terkubur dalam bayang-bayang orang yang tentu Nana kenal, soal Ayah, Ibu dan Teh Luna. Dulu, jauh saat ia belum tahu rasanya merantau di kota orang, Nana sering kali diberikan kepercayaan penuh dari orang tua juga saudaranya, sekarang Nana merasa kehilangan arah. Terlalu banyak yang ia pikirkan, sehingga sulit hanya untuk menguasai emosi dalam dirinya sendiri.

'Na, Ayah sama Ibu berantem lagi. Ibu udah berani bawa ke pihak hukum.'

'Lusa nanti Teh Luna jengukin kamu ke sana ya, jangan jadi beban pikiran. Fokus aja sama kuliah kamu.'

Sekali lagi, Nana membuang napas gusar. Pejaman yang ia antar untuk tenang, berujung berantakan, pesan yang Teh Luna sampaikan beberapa hari lalu, masih menari-nari di otaknya, tidak membiarkan celah sedikitpun masuk untuk terbebas dari satu masalah.

Musik berakhir bersamaan dengan berhentinya bus yang Nana juga Raja tumpangi. Cowok itu menarik headset dari dua telinganya, lantas menepuk-nepuk paha sang teman, sambil berbisik jika mereka sudah sampai ditempat tujuan.

Melangkah menjauhi area halte. Langkah mereka dibawa lebih jauh lagi menuju tempat kos, beberapa kali ponsel Raja bergetar, pesan dari teman sekamar mereka beruntun bertanya, sudah sampai dimana keberadaan keduanya. Berbeda halnya dengan Raja yang sibuk mengetikkan kalimat, Nana hanya melangkah dengan pandangan pada satu titik.

Tepat saat pintu kos dibuka, gema suara dari dalam sana memecah hening yang Nana ciptakan. Suara terompet, dilanjut balon yang meletus begitu saja, lalu disusul pelukan, melepas rindu, setelah kurang lebih lima hari Nana baik Raja meninggalkan kota Yogyakarta, cukup membuat mereka menciptakan rindu.

Mereka berani bilang, meski masih ada Echan yang berisik dan selalu mengisi suasana menjadi hangat, juga masih ada Chenle, yang sering bermain kemari dengan membawa banyak makanan, posisi Raja dan Nana masih menjadi pelengkap untuk mereka.

"Hoho, Wellcome anak kasep. Mana nih oleh-oleh nya?" Echan melepas peluk dari Raja lantas langsung mendapat jitakan keras yang diberikan Jeno.

Cowok bermata sipit itu lantas mengambil koper yang dibawa Raja, sambil merangkul pundak sang teman disusul oleh Bang Mark juga Echan yang sama-sama menggandeng tangan Nana.

"Orang pergi kesana buat jengukin yang sakit, bukan habis umroh. Oleh-oleh apaan, tapi btw emang lo enggak bawa apa-apa?"

"Si anying sama aja." Echan hendak memukul kepala belakang Jeno, namun cowok bermata sipit itu sudah lebih dulu membalikkan badan sambil menatap sinis sang lawan bicara.

Mai[son] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang