Bagian 22🕊

37 11 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jika diibaratkan angin, jiwa Nana sekarang itu tidak terlihat namun masih luntang-lantung dimana-mana. Selama detakan yang ia miliki masih berfungsi, artinya Nana masih dihadapkan dengan semesta yang mengerikan.

Indahnya nama cakrawala, lebih mengerikan diksi yang dinamakan melankolia. Berhari-hari terus berjalan, tidak ada yang berubah dari setiap rutinitas yang dijalankan, mungkin saja, yang menjadi pembeda hanyalah waktu antara dirinya juga sang teman, Raja.

'Dengar Nana? Besok Teh Luna aja yang kesana. Ayah sama Ibu masih banyak kerjaan disini, paham kasep?'

Terdengar hembusan napas, sebelum satu kalimat Nana lontarkan sekaligus menutup pembicaraan. "Iya, Ayah."

Melempar ponsel ke atas kasur, ia ikut membaringkan badan diatasnya, suasana malam hujan tanpa petir seperti ini yang Nana suka, sejuk dan setiap tetesannya seperti sebuah melodi panjang yang menjadi pengantar tidur.

Sudah seminggu ini, tidur Nana jauh dari kata baik. Selain ia sering merevisi skripsi atau mungkin tugas yang lain, Nana juga mengalami kesulitan dalam tidur. Ada pikiran yang menumpuk, belum tertumpahkan dan hanya ia saja yang menelan banyaknya problem akhir-akhir ini.

"Tidur Na, udah malem." suara Bang Mark memelan dimakan kantuk, terlihat Bang Mark yang menguap setelah kalimat itu terlontar.

Nyaris menyentuh pukul sebelas malam, semua orang sudah terlelap tidur, pun dengan Bang Mark yang sempat menyuruh Nana juga untuk segera pergi berkelana ke alam mimpi, pemuda yang lebih tua itu terlihat nyenyak dalam keadaan dibawah alam sadarnya.

Kembali lagi, Nana menghela napas lalu membuangnya. Beranjak dari tempat tidur, memilih untuk keluar dari kamar kost, dan berjalan keluar, dimana hawa dingin menyapa kulit secara langsung, suara hujan yang tadinya terdengar samar ketika di dalam, menjadi lebih tajam pada pendengaran ketika menginjakkan kaki di luar.

"Enggak ada istilahnya semua bakalan baik-baik aja. Terlampau sering kalimat itu digunakan hanya untuk penenang belaka." Nana berkata tak lepas matanya menatap tetesan air hujan yang turun.

Tempat ini, bukan hanya sekedar kamar kost. Namun seperti ajang mengadu nasib juga. Anak-anak disini, sama-sama membawa sebuah tujuan yang 70% sama. Memenuhi ekspektasi orang tua. Keinginan orang tua, apapun untuk orang tua.

Diri sendirinya kapan?

"Kapan-kapan, haha," ucapnya sambil terkekeh.

Ada istilah setelah hujan ada pelangi, setelah penderitaan akan ada kebahagiaan. Tidak ada yang salah dengan itu, namun dalam hidup, lebih banyak pada penderitaan, cobaan yang semesta berikan bukan hanya tentang melatih mental, bertahan dan berdamai dengan keadaan.

Akan sulit untuk dijelaskan, berbicara tentang hidup tidak akan ada ujungnya. 

"Sering lihat lo, tapi enggak pernah saling tegur sapa. Lagi renungin nasib bro?"

Mai[son] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang