Bagian 4🕊

87 11 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Menyesuaikan diri dengan pikiran dan hati yang tidak sinkron adalah suatu perkara yang sulit. Ketika pikiran Nana bilang iya, lalu hati Nana berkata tidak, disitulah, perang antara pikiran dan batin terjadi. Kemarin, Nana sudah dibantu packing, bersiap pergi ke kota orang untuk menempuh pendidikan.

Maka malam sekarang, adalah malam terakhir Nana berada di rumah keluarga Ayah Agung. Nana menarik kedua ujung bibirnya, melihat pemandangan yang memanjakan mata untuk terus menatapnya tanpa berkedip.

Dua tenda dengan warna yang berbeda, satu berwarna kuning dan satu berwarna merah muda. Nana melihat tawa Ibu, juga teh Luna yang asik bercanda sambil memanggang daging. Sementara Ayah sedang mengipasi jagung yang tengah dibakar, sendirian.

Hati kecil Nana berteriak, menyerukkan kata bahagia. Lamunan Nana harus buyar, saat dedaunan kering yang tersapu angin mengenai kakinya.

"Na, tolong dong ambil kayu satu aja, tuh di belakang." Ayah berteriak sambil menunjuk kayu dengan dagu nya.

Lekas mengambil potongan kayu, Nana kembali ke tempat dimana Ayah tengah membolak-balikkan beberapa jagung, semakin dekat dengan Ayah, aroma jagung itu semakin membuat hidung betah lama-lama untuk menghirupnya.

Ayah meniup-niup jagung itu dengan mengibaskan tangannya, lalu menyodorkan pada mulut Nana. "ini jagung biasa, bukan jagung manis. Tapi kalo mau kerasa manis, tinggal makan sambil lihat senyuman Ayah aja, hehe."

Nana tertawa. Mencicipi sambil melihat Ayah yang tengah tersenyum.

"Em, kok beneran manis ya? wah Ayah emang spesialis cara membuat semua makanan dan minuman manis oleh senyum Ayah, kalau gini, Ibu enggak perlu beli gula yah, Ayah senyum aja terus kalau Ibu lagi masak," kata Nana yang membuat Ayah memalingkan wajah, malu sekali dipuji anak sendiri.

"Enggak ah, nanti Ibumu yang ada terpesona terus masakannya gosong gimana?"

"Iya enggak papa dong, Ibu enggak bakal marah, 'kan Ayah baginda raja nya Ibu, ekhem."

"Aigoo, anak siapa sih kamu dek, dek. Bisa aja bikin Ayah nyengir sampe gigi kering." Ayah berucap sambil menyodorkan beberapa jagung, meminta tolong Nana untuk memegangnya.

"Anak Ayah yang paling tampan," balas Nana sambil menyenderkan kepalanya pada lengan kekar Ayah.

"Enggak salah sih, kamu kan anak laki satu-satunya, ya yang paling tampan kamu, yang cantik Teteh mu."

Tawa Nana dan Ayah terdengar seperti sebuah irama dimalam hari.  Diiringi oleh angin yang berhembus pelan, juga hangatnya api yang tengah Nana dan Ayah rasakan, malam hari ini menjadi sebuah malam yang terlihat sempurna.

Langit malam kali ini bertabur banyak bintang, sinar bulan yang terpancar, semakin menambah kesan mempercantik suasana alam. Ayah dan Nana berjalan menghampiri Ibu dan Teh Luna, lalu setelah itu, mereka duduk melingkar ditengah-tengah karpet yang telah digelar. Juga background tenda dan pemandangan malam hari yang terlihat cantik sekali.

Mai[son] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang