2 - BADAI

33 17 1
                                    

"Sepertinya baru daerah yang berdekatan dengan kerajaan saja yang baru terserang. Tuan Monolaz, aku pikir ekuinoks tahun ini akan sedikit tertunda karena bencana aneh seperti ini," tutur Orton. Dirinya tidak sempat pulang ke daerah asal akibat hembusan angin yang begitu kuat, ditambah dengan serangan burung yang tiada habisnya.

Orton bersama putrinya—Pianne—dan pelayan hanya mampu menginap di rumah Tetua Monolaz yang jarak rumahnya tidak begitu jauh dari kerajaan. Letaknya masih satu daerah. Sementara utusan kerajaan masih sibuk mengevakuasi warga yang berada di daerah itu.

"Ekuinoks tahun ini tidak akan tertunda! Kita hanya tinggal menunggu batu safir agung tiba dan mengendalikan lagi alam kita." Monolaz meminum teh hitam tanpa gula dengan perlahan, kepulan asap masih terlihat dari gelas yang ia pegang.

Orton mengangguk setuju dengan balasan Monolaz, batu safir harus segera tiba. Dilihat dari kepala desa yang sedang menyusul ke desa Zerorez, pasti akan lebih cepat.

"Ayah, semua surat yang hendak di kirim hanya perlu menunggu stempel resmi dari akademi."

Orton menoleh, "Tentu. Tuan Monolaz yang akan memberikan stempelnya."

Gadis cantik itu tersenyum kemudian memberikan surat yang hendak dikirim ke hadapan Monolaz. Tetua dari Deeown itu hendak menempelkan stempelnya, akan tetapi tak berselang lama suara kilat terdengar begitu nyaring, bahkan membuat gelas yang ada di meja Monolaz pecah. Serpihan gelas kaca itu tanpa sengaja mengenai tangan kanan pria tua itu.

Karena khawatir, Pianne, putri dari Tetua Orton meraih tangan Monolaz untuk memeriksa. "Tidak apa, Nak. Hanya luka kecil," tolak Monolaz.

Pianne menggeleng pelan, "Luka kecil tidak akan memunculkan darah yang kental seperti ini, Tuan."

Pia menutup matanya, aliran mana dalam tubuhnya mulai bereaksi. Menyalurkan sihir ke dalam luka di tangan Monolaz, luka itu juga perlahan menutup dan hilang dengan sendirinya.

"Kau seorang healer?" tanya Monolaz.

Pia mengangguk, "Luka anda sudah sembuh, Tuan."

Monolaz terpukau pada kekuatan Pianne. Satu ide pun muncul di benaknya, "Orton, putrimu ini harus ikut dalam misi mengirim bala bantuan ke setiap daerah bersama healer yang lain!" seru Monolaz.

"Cepat, kirim surat ini secepatnya! Bala bantuan harus segera tiba ke setiap daerah!" perintah Tetua Deeown itu kepada semua bawahannya.

Malam ini, semua surat harus terkirim agar besok pagi, semua daerah telah terevakuasi.

*

Suara ketukan jendela membangunkan seorang pemuda yang nampak tidur begitu lelap. Matanya terbuka pelan, ia bangkitkan tubuhnya seraya memperjelas penglihatannya. Rambut peraknya mengkilap saat terkena cahaya matahari, deru nafasnya berat juga bibir yang merah alami.

Beberapa detik berlalu, kini netranya melihat dengan jelas burung merpati yang membawa surat. Angin berhembus kencang saat dirinya membuka jendela, "Ada apa merpati cantik? Anginnya sangat kuat. Kemarilah," ucapnya lembut.

Dia, Sephy Temranz Barleano. Kerap di sapa Asept, lulusan terbaik akademi sihir yang di atur langsung oleh kerajaan. Tangannya membawa burung merpati tadi dan menatap surat yang di kaitkan pada kaki merpati itu. Asept melepas ikatan suratnya, kemudian membukanya perlahan. Sudah lama tidak ada surat resmi mendatanginya seperti ini.

"Bukankah ini stempel akademi? Kenapa mereka mengirimiku surat padahal aku sudah lulus," gerutunya kecil.

Di saat yang bersamaan dengan Asept yang tengah membaca surat tersebut, jendela ruangan itu terbuka begitu kencang. Kini angin yang sedari tadi berhembus telah berubah menjadi topan yang berpusat di tengah desa Asept. Laki-laki itu menutupi setengah wajahnya agar debu yang angin itu bawa tidak mengenai matanya.

Asept melangkah cepat menembus hembusan angin itu, bibirnya membaca sebuah mantra.

"Medcampraesidium!"

Lalu dalam sekejap, angin tersebut tidak lagi dapat masuk melalui jendelanya. Asept mengucapkan mantra lagi, "Anastasis." Sebuah grimoire melayang di sampingnya. Ia perhatikan sekitar, sepertinya sudah aman, pikirnya.

Tok! Tok!

Ketukan di jendela itu mengejutkannya. Kali ini bukan merpati, melainkan bayangan seorang pemuda. "Asept! Kamu di dalam?" tanya pemuda di luar.

Asept yang mendengar itu lantas membuka jendelanya. Itu Jax, batin Asept. Teman satu lulusannya di akademi dulu.

"Jangan bilang bahwa kau yang membawa angin itu kemari, 'kan?" tanya Asept, matanya menyipit sambil tangannya menghilangkan tongkat sihir tadi.

"Coba kamu lihat jalanan di bawah sana, banyak burung gagak yang tergeletak, bukan? Kita mendapat penyerangan dari alam. Aku mendapat surat perintah dari akademi. Teman kita yang lain telah berkumpul, hanya tinggal aku dan kau," jelas Jax.

Asept melirik ke bawah, posisi kamarnya itu ada di lantai dua, dengan jendela kamar yang mengarah langsung ke jalanan yang biasanya dilalui banyak orang, namun kini berubah menjadi lautan burung gagak.

"Bagaimana dengan penduduk desa ini?" tanya Asept.

"Semua telah diselamatkan saat aku dan temanku melewati desa ini. Seharusnya kau dapat merasakan guncangan hebat tadi." Jax tahu betul Asept. Jika Asept sudah terlelap, mau sekencang apapun badai, ia tidak akan bangun. Kecuali instingnya sedang baik.

"Mari bersiap, kita tidak akan tahu bencana apa lagi yang akan terjadi," ucap Jax. Asept mengangguk setuju, kemudian berjalan ke dalam dan bersiap.

*

Suasana rumah seorang Tetua di desa Deeown yang biasanya tenang kini berubah menjadi gelisah. Banyak alumni akademi yang Monolaz panggil untuk diberi tugas. Monolaz tidak sendirian, ia ditemani Orton, Tetua Desa Ceeown. Ia juga membawa putri tunggalnya karena dalam tugas ini, kekuatan sang putri sangat dibutuhkan.

"Apakah semuanya sudah hadir?" tanya Monolaz dengan suaranya yang agak serak.

Salah satu dari lulusan akademi itu menjawab, "Hanya dua orang lagi yang belum tiba, Tuan. Dua orang lulusan terbaik akademi ini."

Monolaz kembali berkata, "Waktu kita akan terbuang jika terus menunggu. Bentuk kelompok, bagi menjadi 4 tim! Setiap daerah harus di kirimi bala bantuan!"

"SIAP!"

Semua kelompok menyiapkan perlengkapan masing-masing. Begitu juga dengan Pianne yang membawa obat-obatan herbal karena meski dirinya mempunyai sihir penyembuh, kekuatannya tentu akan terkuras habis jika sihirnya di pakai terus menerus.

Setelah beberapa saat, semua perlengkapan telah siap dan semua kelompok telah bersiap untuk berangkat ke tujuan masing-masing.

"Ayah, lebih baik Ayah tidak usah ikut," ucap Pianne.

"Jangan khawatir, Ayah bisa melindungi diri Aqyah." Pia mengangguk karena mau tidak mau dia harus tetap percaya pada ayahnya. Karena jika terjadi sesuatu, dirinya mampu menyembuhkan ayahnya.

Perjalanan setiap kelompok berjalan dengan lancar, tiba saatnya bagi Pianne, Tetua Orton dan Tetua Monolaz untuk berangkat. Namun, angin kencang kembali berhembus. Topan menyerang bagian depan rumah Tetua Monolaz. Banyak reruntuhan bangunan yang hampir mengenai mereka. Getaran tanah menyusul, menyebabkan tanah mulai membelah sedikit demi sedikit.

"Ayah, awas!" seru Pianne saat tiang bangunan terjatuh ke arah Orton. Pianne melangkahkan kakinya cepat. Dalam sekejap, tiang bangunan yang hendak mengenai Orton terpental jauh. Seseorang memegang bahu Pianne, menggunakan sihirnya untuk membuat portal guna keluar dari rumah yang akan hancur itu.

Itu Asept, dia menyuruh semua orang untuk ke portal yang terhubung ke tempat aman yang jaraknya lumayan jauh dari kawasan tersebut.

"Jax! Pertahanannya sudah cukup, ayo kita pergi!" seru Asept yang masih menunggu di dekat portal.

Jax mulai mengurangi mana yang keluar dari tubuhnya. Bersamaan dengan itu, angin mulai meredup dan dengan cepat Jax melesat masuk ke portal diikuti Asept.

---

By Rey

September : Chaos! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang