16 - SELAMATKAH?

22 11 0
                                    

"Selamatkan Asept ke tempat aman dulu Jax!" teriak Pia sambil menahan kesakitan pada pergelangan kakinya.

"Bagaimana denganmu, Pia?" Jax balas berseru, ia tengah menimang-nimang hal yang akan dilakukan selanjutnya.

Pia diam, tetapi berusaha mengeluarkan cahaya dari kalungnya. Berharap nasibnya sama seperti saat di gurun tadi.

"Akh!" Pia mengerang, kakinya semakin ditarik mendekat oleh patung itu.

"Pia!" Pria itu mengeraskan rahang, bimbang untuk melakukan apa.

"Uhuk!" Asept yang tak jauh dari posisi mereka terbatuk pelan. Seraya mendekat ke posisi Jax, "Jax, kemarilah!"

"Mendekat ke arah Asept!" seru Pia yang tak goyah pada pendiriannya. Menurutnya, menyelamatkan temannya yang lebih berpotensi untuk menemukan batu safir itu lebih baik daripada harus memikirkan dirinya. Memang sifat gadis ini terlalu peduli terhadap orang lain ketimbang dirinya sendiri. Seolah hal yang sedang ia hadapi tidak ada apa-apanya. Walau wajahnya mulai memerah karena menahan sakit pada kakinya.

Jax yang dipanggil bergegas mendekati Asept dengan pandangan tak lepas dari Pia. Ia merasa khawatir, tetapi tak dapat memilih.  Begitu sampai di dekat Asept, Jax berjongkok mensejajarkan diri dengan sang teman.

"Apa Sept?" tanya Jax mendesak laki-laki berambut perak itu agak bergegas. Mengingat Pia masih di tengah-tengah sana.

"Kau hancurkan tangan batu dari patung itu, Jax," ucap Asept di sela-sela batuknya.

"Bagaimana?!" Jax mengernyit, tak paham. Karena ia tau bahwa ilmu telekinesisnya tidak sekuat itu untuk merobohkan tubuh patung aneh itu. Terlebih lagi dengan mana yang sudah terpakai banyak.

"Aku akan menyalurkan sihirku, jadi bersiaplah!"

Asept bangkit dengan patah-patah. Ia lantas menepuk pundak Jax, mengucap mantra. Membuat tangannya mulai mengeluarkan kesiur angin.

Dingin. Itulah yang Jax rasakan. Laki-laki dengan pakaian hitam itu tak pernah merasakan sensasi seperti ini sebelumnya. Membuat Jax bertanya-tanya dalam hati, "Apakah kekuatan Asept sekuat ini? Sehingga rasanya dapat menembus sampai ke tulangnya?"

Setahunya tehnik penyaluran sihir ini hanya dikuasai seseorang yang entah Jax lupa namanya. Namun, kabarnya orang itu pun sudah tiada. Lantas bagaimana Asept bisa menggunakan tehnik ini juga?

"Cepatlah!" Asept berseru. Raut wajahnya terlihat sangat serius. Entah ke mana perginya ekspresi yang biasanya tengil itu. Seolah sirna tak bersisa.

"Gunakan tehnik telekinesis itu!" Lagi, Asept berseru. Jax mengangguk, membuang jauh-jauh pertanyaannya itu karena menurutnya keselamatan mereka lebih penting sekarang. Ia lantas mengarahkan tangannya tepat ke arah patung yang sedang menarik Pia.

Jax menggerakkan tangannya dengan gerakan seolah menarik sesuatu, membuat salah satu lengan patung itu terangkat. Seakan-akan ada tali yang menariknya dari atas. Semakin ke atas, semakin membuat patung itu bersuara nyaring. Alhasil patung itu melepaskan kaki Pia, gantian menyelamatkan lengannya yang semakin tertarik ke atas.

Kratak

Suara remukan batu terdengar nyaring, mengepul menghasilkan debu tebal yang menghalangi pandangan patung itu. Dengan sisa-sisa tenaganya, Jax kembali meremukkan lengan satunya patung tersebut. Membuat si patung berteriak marah sekaligus kesakitan. Tentu saja itu dilakukan Jax dengan bantuan aliran sihir Asept.

"Kita pergi Jax," bisik Asept. Sepertinya laki-laki itu sudah menghabiskan seluruh energinya untuk mengalirkan sihirnya pada Jax. Kini rautnya terlihat kusut dan lelah.

Jax mengangguk, ia mengambil kesempatan untuk menyelamatkan Pia yang kini terduduk lesu. Lantas membantu Asept agar tak jatuh.

Untungnya Pia masih bisa berjalan, walau sedikit terseok akibat pergelangan kakinya memerah. Begitupula dengan Asept, laki-laki itu masih bisa berjalan, tetapi harus dibantu Jax karena ia sudah kehabisan tenaga.

Jax segera mengajak keduanya agar bergegas pergi dari lokasi itu sebelum penglihatan patung itu membaik.

***

"Apakah kita sudah jauh dari kuil itu?" tanya Pia pelan, samar-samar bibirnya menahan ringisan. Ia merasakan pergelangan kakinya semakin sakit. Belum sempat ia obati karena harus mencari tempat yang aman terlebih dahulu.

"Belum, sedikit lagi, Pia," jawab Jax sembari memperbaiki letak tangan Asept pada bahunya.

"Sebaiknya kita istirahat sebentar, Jax. Kasihan Asept, pasti dia merasa sangat pusing," ucap Pia menahan lengan laki-laki itu agar tak lanjut melangkah.

"Ini hutan, Pia. Kita belum tau bahaya apa yang sedang mengintai," sanggah Jax, kembali memperbaiki posisi tangan Asept.

Pia menghela napas pelan, padahal dirinya sudah tak tahan. Ia kembali mengekori Jax, berharap laki-laki itu beristirahat barang sejenak.

Ketiganya melanjutkan langkah hingga sampai di dekat sungai yang airnya sangat jernih. Membuat batu-batu di bawahnya dapat terlihat dengan jelas.

"Jax, apakah air ini aman untuk diminum?" tunjuk Pia pada sungai itu.

Jax mengangguk, "Tentu."

"Kalau begitu aku akan turun mengambilnya." Sebelum sempat Jax menjawab, Pia lebih dulu turun ke sungai itu. Mengambil air dengan gelas yang terbuat dari bambu.

Laki-laki itu mengangkat bahu, membiarkan Pia sibuk dengan kegiatannya. Sementara ia mendudukan Asept di rerumputan sekitar sungai.

"Kau baik-baik saja, Sept?" tanyanya melihat wajah Asept yang sangat pucat. Asept mengangguk pelan, tak ada tenaga hanya sekedar menjawab.

"Baiklah, tunggu Pia naik dari mengambil air. Pasti ada obat untukmu." Jax menepuk pelan pundak laki-laki itu, seraya berharap agar temannya itu memang tidak apa-apa.

Tak lama menunggu, akhirnya Pia kembali dari bawah sungai. Gadis itu membawa gelas bambunya. Lantas menyodorkannya pada Asept dan Jax.

"Kau sudah menyembuhkan diri, Pia?" tanya Jax begitu menerima sodoran air dari gadis itu.

Pia mengangguk, "Sudah. Berkat kalung cahaya ini, aku dapat pulih lebih cepat," jawabnya.

"Kalau begitu, apakah kau bisa periksa Asept? Wajahnya pucat sekali," ucapnya menunjuk Asept yang bersandar pada batu besar di samping sungai.

"Baik, akan aku coba," balasnya kemudian duduk di depan Asept. Meraih tangan pemuda itu, mulai membaca mantra.

Asept yang melihatnya hanya bisa tersenyum tipis. Mulai merasakan sensasi mana Pia yang hangat. Seolah menyalurkan kehangatan ke setiap inci tubuh pemuda itu.

Berbeda dengan Jax yang memperhatikan sekitarnya, sembari berjaga-jaga. Pemuda satu itu memang selalu waspada terhadap hal kecil maupun besar. Tak mudah lengah. Terlebih ia memiliki kemampuan berbicara dengan angin, sehingga tidak heran ia menjadi alumni akademi terbaik bersama dengan Asept dan beberapa teman lainnya.

"Uhuk!"

Suara batuk Asept mengalihkan atensi Jax. Laki-laki itu melihat Pia yang menggnggam erat tangan Asept. Dengan bibirnya kembali berkomat-kamit membaca mantra.

"Uhuk!"

Lagi, Asept terbatuk. Membuat Jax khawatir. Segala kemungkinan berdatangan di kepalanya. "Bagaimana?" tanyanya begitu Pia membuka matanya.

Pia menggeleng, "Aku coba sekali lagi," katanya kini lebih erat menggenggam tangan Asept.

"Uhuk!"

Tanpa diduga, batuk yang Asept keluarkan bersamaan dengan darah segar dari mulutnya. Membuat Pia dan Jax terbelalak kaget.

"ASEPT!" seru keduanya saat Asept tumbang begitu saja.

---
By Tira

September : Chaos! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang