12 - PENYAMBUTAN WARGA DESA

16 13 0
                                    

Pia dan Asept memimpin jalan di depan, sedangkan Jax menjaga keduanya di belakang. Kini langkah kaki ketiganya menyusuri hutan, dengan tujuan singgah di desa terpencil yang dikatakan Pia sebelumnya.

“Hei ... apa benar ini jalannya, Pia? Hutan semakin gelap, aku takut tiba-tiba ada monster aneh yang melahap kita. Maksudku ... seperti domba berkepala kuda,” kata Asept seraya memeluk tubuhnya merinding. Pandangan lelaki itu mengitari sekitar, raut wajahnya terlihat sedikit khawatir.

“Pemikiranmu itu memang aneh! Bahkan menurutku rupamu lebih seram dari pada monster,” ejek Pia. Entah mengapa, rasanya emosi gadis itu selalu meledak jika berada di dekat Asept.

“Namun perkataan Asept ada benarnya juga, kita juga belum tahu dampak lain dari menghilangnya batu safir. Siapa tahu banyak monster atau hewan yang telah terkontaminasi dan menjadi mutant.” Jax ikut menyampaikan pendapatnya.

“Tidak ada yang tahu. Jadi, persiapkan diri kita saja,” balas Pia.

Ketiga remaja itu kembali fokus ke tujuannya. Mereka berjalan memasuki hutan semakin dalam, hingga pepohonan nampak kian berkurang. Apakah mereka sudah sampai diujung hutan?

Suara ramainya orang berinteraksi masuk ke dalam indra pendengaran ketiga remaja itu. Mereka membuka semak-semak besar yang menghalangi. Ketiganya terdiam kaku setelah melihat pemukiman subur dengan bunga mata hari disepanjang jalanya.

“Menakjubkan sekali,” puji Pia yang masih menikmati keindahan desa tersebut.

Mereka berjalan masuk melewati gerbang pemukiman tersebut. Banyak mata yang memerhatikan ketiganya, seolah mengamati apakah mereka baik ataukah sebaliknya.

“Jadi sekarang kita harus apa?” tanya Asept dengan nada berbisik. Lalu ketiganya kini saling pandang, sepertinya mereka bingung dengan hal apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya.

“Aku takut kejadian seperti di desa Zerorez terulang kembali,” balas Pia khawatir.

Kemudian, seorang anak yang diperkirakan  berusia 10 tahun menghampiri keduanya. Tangan mungilnya menarik ketiga remaja itu menuju sebuah kediaman sederhana bernuansa klasik.

“Ini adalah satu-satunya rumah paling mewah di desa terpencil seperti ini,” gumam Pia dengan raut wajah terkejut.

Seorang pria paruh baya keluar dari pintu kayu berwarna cokelat tua tersebut. Pria itu memakai baju putih dengan sebuah selendang merah yang ia kalungkan di lehernya. Dia berjalan mendekati mereka bertiga; Asept, Pia, Jax.

“Selamat datang di desa kami,” sambutnya hangat. Kemudian, dia membawa ketiga remaja itu masuk ke kediamannya. Mereka bertiga duduk di ruang tamu yang nyaman, bahkan para pelayan mengantarkan berbagai macam makanan ke meja ketiganya.

“Jadi ada apa gerangan kalian memilih desa ini untuk bersinggah?” tanya pria tersebut. Dia menopang dagunya dengan salah satu alis terangkat.

Pia memandang kedua temannya lalu menelan saliva susah payah. Ia terlihat gugup, untungnya gadis itu menarik dan mengeluarkan napas perlahan agar dirnya bisa tenang. “Kami datang dengan damai, um ... Tuan?” Pia terlihat kebingungan dengan nama apa ia harus memanggil pria di hadapannya.

“Namaku Sullivan. Aku adalah kepala desa di sini,” balas pria tersebut.

Pia mengangguk paham, kemudian ia melanjutkan penjelasannya. “Kami sedang dalam perjalanan misi mencari batu safir yang  belum lama ini menghilang secara misterius. Dengan petunjuk dari suku Zerorez, kami  dapat melanjutkan perjalanan sejauh ini. Bolehkah kami bermalam satu malam?” tanya Pia seraya berusaha memasang raut wajah ramah, tak lucu jika ketiga remaja itu dijadikan tumbal di pemukiman tersebut.

“Batu safir?! Aku kira itu hanya rumor semata, pantas saja Ekuinoks tahun ini tak kunjung menampakkan diri,” sahut Sullivan tak percaya.

“Benar sekali, tentunya kami akan berusaha mencari petunjuk lain,” timpal Jax seraya melirik Pia yang masih sedikit gugup dalam menjelaskan tujuan misi ketiganya.

“Jadi bagaimana tentang pertanyaan Pia tadi ... bolehkah kami bermalam di desa ini untuk sementara?” tanya Jax mengulangi pertanyaan Pia di awal percakapan.

Sullivan tersenyum simpul, pria itu kemudian menepukkan telapak tangannya selama tiga kali. Muncul seorang gadis muda yang berjalan menghampiri Sullivan, ia kemudian berdiri di sebelahnya.

“Di desa kami terdapat tradisi penyambutan pendatang baru. Bersediakah kalian untuk mengikutinya? Ini tak berlangsung lama, setelah upacara penyambutan kalian bisa beristirahat.” Sullivan nampak tersenyum.

Ketiga remaja di hadapannya saling pandang, mereka berusaha menebak pikiran masing-masing. “Kami bersedia, Tuan!” ujar Pia seraya tersenyum manis.

Sullivan kemudian meminta pelayannya untuk membawa Pia ke dalam ruang rias yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Ke mana pelayan itu pergi, Tuan?” tanya Asept penasaran.

“Dia pergi untuk merias temanmu, tunggu saja. Untuk sementara mari kita berbincang lagi,” ajak Sullivan.

“Namun sebelum itu ... sepertinya kalian juga harus dirias? Ikuti aku, kita akan pergi ke suatu sempat yang mungkin kalian suka.” Sullivan berdiri dan mengajak Asept dan Jax untuk keluar dari kediaman tersebut. Kedua lelaki itu hanya mengekori di belakangnya, pasrah dengan tempat apa yang akan dikunjungi mereka selanjutnya.

Banyak sekali warga desa yang menyapa Sullivan, bahkan tatapan para warga itu tak luput dari ketiganya. “Halo Tuan!!” sapa seorang anak kecil dengan nada ceria. Sapaan tersebut dibalas dengan senyuman ramah Kepala Desa itu.

“Tuan Sullivan, ke mana jalan itu membawa kita?” tanya Asept seraya menunjuk sebuah jalan mini yang mereka lewati tadi.

“Oh itu adalah jalan menuju pasar.” Jawabnya ramah. Asept dan Jax kini saling pandang satu sama lain. Sepertinya kedua lelaki itu memikirkan hal yang sama.

Kalung itu ... kemungkinan dijual para bandit ke pasar di desa ini! batin keduanya menemukan titik teranng.

Sullivan membawa kedua lelaki itu menuju sebuah bangunan luas, tak jauh dari pasar. Keduanya di layani di tempat tersebut, bahkan ... mereka diperlakukan layaknya tamu istimewa.

“Stt, Jax!” panggil Asept dengan nada berbisik.

Jax menoleh pada lelaki itu, ia mengangkat salah satu alisnya. “Ada apa?” tanyanya.

“Bukankah ini terlalu ramah? Mereka terlalu baik! Tapi entah kenapa pikiranku berpikir ke mana-mana. Siapa tahu kita diperlakukan seperti ini sebelum ditumbalkan. Ya ... kau tahu kan, seorang persembahan biasanya diperlakukan dengan baik. Aku hanya memastikan kita agar tidak jadi korban,” ujar Asept memberikan pendapat.

Jax sempat terdiam lalu menyahut, “Perkataanmu bisa jadi benar. Namun sepertinya mereka tidak sejahat itu,” balas Jax menyangkal keras.

“Aku hanya memperingatimu sebelum tubuh kita tercabik-cabik di altar pemujaan!” ujar Asept serius. Tiba-tiba lelaki itu merasa merinding saat membayangkan bagaimana jika mereka benar-benar dijadikan tumbal.

***

Asept dan Jax telah siap dengan bantuan dari Sullivan. Keduanya nampak sedang menunggu Pia keluar dari ruang rias. Saking lamanya, Asept bahkan sampai menguap berkali-kali.

“Dasar wanita, jika tentang riasan pasti sangat lama. Kakiku sudah lemas begini!” keluh Asept tak tahan. Bahkan kakinya nampak rapuh seperti jelly.

“Berhentilah mengeluh, Sept. Apa mulutmu itu tak lelah? Jika Pia di sini mungkin saka bogeman  cuy  mentah sudah mendarat di pipi atau bibirmu.

Pintu ruangan rias itu terbuka, segerombolan anak kecil keluar disusul dengan seorang gadis yang mengekori di belakangnya. Dia mengenakan sebuah mahkota bunga cantik di atas kepalanya, gaun putih selutut ia pakai sehingga menambah kesan keindahan. Dilengkapi dengan make up yang tak begitu tebal, terlihat cocok dengan wajah mungil dan kulit putih gadis itu.

Jax mematung setelah menyadari siapa gadis tersebut.

Itu ... Pia?

---
By Alva
 

September : Chaos! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang