21 - APEL

14 8 0
                                    

"Ras Iblis katamu?!"

Orton mengangguk mengiyakan. Raut wajah Baginda Raja kian berubah. Kepalan di tangannya dengan jelas mengatakan jika dirinya sangat marah saat ini.

"Siapa orang dengan ras iblis itu, Orton?" tanya Raja Croxerz VII. Semua yang hadir kini saling pandang, apalagi Orton yang kini kaku tak bisa menjawab. Entah apa yang akan terjadi jika Yang Mulia tahu.

"Orton!" panggil Raja karena pria itu tak kunjung bersuara.

"Dia adalah Jax Cruz, Yang Mulia. Kami bingung harus melapor seperti apa." Monolaz menjawab mewakili Orton yang semakin diam.

Raja mengerutkan dahinya, "Darimana kalian tahu jika Jax Cruz merupakan keturunan iblis?"

"Seperti yang Baginda tahu, kami melakukan interogasi Jax dengan cara masuk ke ingatannya. Pada saat yang sama, kami menyaksikan ritual pembangkitan batu safir yang akan sempurna apabila tercampur dengan darah iblis," jelas Paraneta.

"Lalu mereka menggunakan darah Jax dan berhasil?" tanya Raja. Semua tetua mengangguk kemudian raja kembali bertanya, "Bagaimana mereka bisa tahu?"

"Kami tidak tahu dengan pasti Yang Mulia, pasalnya ingatan Jax terdahulu begitu buram dan nyaris tak dapat kami saksikan."

"Yang pasti, darah Jax terciprat dan batu safir bangkit."

Raja Croxerz VII memijit pelipisnya yang mendadak pusing. Beban yang sudah hampir hilang itu kini menumpuk lagi dikepalanya. Dia sangat benci dengan ras iblis. Ras itu hanya mampu merugikan manusia. Memburu manusia, meminum darahnya bagai drakula dan hal merugikan lainnya.

"Lakukan apa saja. Apa pun, tapi jangan sampai rakyat tahu tentang berita ini!" Raja pada akhirnya mengambil keputusan yang dibalas anggukan patuh para tetua.

**

Mengusap wajahnya kasar, Pia masih belum bisa tenang. Bahkan ia belum makan sesuatu sedari pulang. Kini gadis itu tengah duduk di balkon yang biasanya ia, Asept dan Jax pakai untuk mengintai. Tak tega melihat temannya terus melamun sambil menangis, Asept berinisiatif membawakannya buah.

"Sudah lama kamu tak makan, setidaknya makan buah apel ini," ucapnya sambil menyodorkan piring dengan tiga apel segar kemudian duduk di samping Pia.

Pia hanya memandang apel itu. Kini apel itu tersisa dua karena Asept telah membawanya masuk ke dalam gigitan mulutnya.

"Kenapa kau membawa tiga padahal kita hanya berdua?" Pia meringis lagi, air matanya kembali turun diikuti dadanya yang terasa begitu sesak.

"Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi, Sept. Semuanya terasa begitu bertubi-tubi menghampiriku." Suara Pia makin bergetar. Bahunya naik turun bahkan dirinya kini menangis lagi.

Asept mendekat dengan alasan ingin menenangkan temannya itu. Ia menepuk bahu Pia yang semakin menurun. "Ada begitu banyak pertanyaan di benakku, Sept. Hanya saja, setiap kali aku menanyakan itu pada Jax, emosi selalu menguasaiku. Bahkan aku tidak ingin mendengar suaranya."

"Tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Sept."

Asept berhenti mengelus Pia, tatapan keduanya kini terkunci. "Tanyakan saja," kata Asept.

"Pada saat kita melakukan ritual pembangkitan batu safir. Bagaimana kamu bisa tahu kalau Jax memiliki darah iblis?" tanyanya. Tatapan keduanya tak berubah, tetap saling menatap seolah saling memberikan kepercayaan.

"Saat itu, aku teringat saat kami ada di akademi. Jax terkadang sering mengeluh sakit kepala, bahkan pernah suatu ketika dirinya ditemukan pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi," Jeda. Asept menghirup nafas terlebih dahulu, "Yang aku dapat simpulkan. Jax mengalami cedera kepala yang serius, bisa saja dia juga bahkan tidak ingat pernah mencuri batu safir dari suku Zerorez," kata Asept sambil disertai kekehan.

"Candaan mu tidak lucu, Sept!" Pia memukul lengan Asept kuat hingga lelaki itu meringis kesakitan. Walau begitu, setidaknya Pia terkekeh sebentar kemudian ikut memakan apel yang telah dibawa Asept.

**

Malam yang dingin sepertinya tak mampu menghentikan langkah Pia menuju ruang bawah tanah di kerajaan atau lebih tepatnya lagi 'penjara bawah tanah'. Bau lembab masuk ke hidungnya. Tempat nya begitu kotor dan pengap, cahaya matahari tak dapat masuk. Siang malam bagai sama, orang-orang yang dikurung di sana sama sekali tak tahu mereka tidur pada waktu siang atau malam.

"Nona, Anda masuk tanpa izin!" ucap seorang penjaga yang ada di bagian depan ruang tersebut.

"Tanpa Izin?" Pia tersenyum miring. "Aku putri Tetua wilayah Ceeown. Dan aku datang atas perintah ayah ku untuk menemui tahanan Jax demi kepentingan kerajaan."

Penjaga itu nampak berpikir sejenak, "Saya memohon maaf atas ketidaktahuan saya, Nona. Silahkan." Penjaga tadi membuka pintu dan menyuruh salah satu teman penjaga untuk menemani Pia.

"Jax!"

Netranya bergetar hebat saat kembali dipertemukan dengan Pria yang kini terduduk lemas di dalam sel penjara. "Pia? Ada apa? Apa belum puas bagi mu untuk menuduh ku lagi? Pergilah, kepala ku terasa pusing dan aku tidak mau bertemu dengan mu," ujar Jax saat Pia telah berada di depan selnya.

Pia menunduk, merasakan rasa bersalah yang begitu besar. "Maafkan aku."

"Kata maafmu tidak akan membuatku bebas dari penjara ini."

Pia mengangkat kepalanya. Ia seka air mata yang turun membasahi pipinya. "Aku datang membawakan sebuah apel untukmu. Makanlah, apel ini manis."

Apel tersebut ia keluarkan dari tas yang sedari tadi ia bawa. "Aku tidak berselera."

Jax terus menolak semua yang dikatakan Pia. Semua yang ia dengar terasa palsu, terlebih ia semakin merasakan pusing yang mulai menjalar di kepalanya. "Diamlah, Pia. Kepalaku terasa pusing mendengar suaramu!"

Pia semakin terdiam, padahal sedari tadi dirinya tidak mengatakan apa-apa selain menawarkan apel. "Diam!"

"Pia! Aku bilang diam! Argh!"

Jax menjerit kesakitan. Jelas itu membuat Pia terkejut dan membeku di tempat. Hembusan angin yang kuat mulai terasa, seharusnya di dalam ruang bawah tanah angin tidak dapat masuk, bukan?

"Jax, kendalikan dirimu! Kekuatan mu bisa membahayakan orang-orang yang ada di atas!" teriak Pia.

Jax memegangi kepalanya yang semakin sakit. Seluruh tubuhnya tidak dapat mengontrol kekuatan elemen angin yang pada akhirnya keluar tanpa henti. Angin itu semakin kuat dan dingin. Tubuh Pia kini menggigil akibat kencang nya hembusan angin yang keluar dari tubuh Jax.

"Penjaga! Tolong!" teriak Pia. Sayangnya, sel Jax berada jauh dari kawasan para penjaga.

"Jax, aku mohon! Kendalikan dirimu! Ingat aku, kamu ingat aku, kan? Kendalikan dirimu dan lihatlah aku!" jerit Pia.

Nihil. Usahanya tak membuahkan hasil apa-apa. Pia kembali menangis sambil terduduk di lantai dingin yang sama dinginnya dengan Jax.

"Jax ..." panggil Pia begitu lirih.

Tak mau melihat Jax semakin tersiksa, Pia menyalurkan kekuatannya melalui lantai yang terhubung dengan Jax. Dalam hati ia berharap semoga Jax dapat membaik dengan sihirnya. Sesuai dugaan, Jax mulai tenang dan melemah. Kesadaran juga tenaganya habis sehingga dirinya hanya mampu berbaring sembari menatap langit-langit dengan deru nafas yang berat.

"Aku tidak ingin melihatmu terluka seperti itu, Jax."

---

By Rey

September : Chaos! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang