17 - ANAK IBLIS YANG MENYEDIHKAN

26 11 0
                                    

"Asept, kemarilah!"

"Ya, Kek!" sahut Asept.

Pria tua yang di panggil kakek itu lantas berbalik saat mendapati Asept yang datang merasa terpanggil. Wajah mungil nya begitu imut, putih bulat seperti mochi. Terlebih itu adalah makanan kesukaannya. "Tolong kau tata ini di meja makan," titah sang Kakek.

Asept kecil tersenyum lebar sambil berkata, "Siap, Komandan!"

Kicauan burung di pagi hari membuat suasana semakin segar. Aroma embun di pagi itu menyejukkan kulit Asept. Apalagi semalam habis hujan, sarapan pagi dengan makanan yang hangat dan sehat tentu telah menjadi favoritnya.

Asept dengan cekatan menata piring dan alat makan yang barusan diberikan oleh Kakek. Tak lupa Asept menyusunnya dengan begitu rapi. Setelahnya, ia menunggu dengan manis hingga tak lama Kakek datang dengan Ayam yang berlimpah rempah dan herbal.

"Makanlah yang banyak, jadilah anak yang kuat dan sehat, ya," ucap Kakek seraya tersenyum simpul.

Asept mengangguk. Piringnya menerima potongan ayam. Ia terlihat sangat lahap saat menyantap ayam buatan Kakek. Namun di gigitan ke lima, Asept merasakan pusing yang begitu hebat. Pandangannya mendadak kabur bahkan rumahnya serasa bergoyang ke kanan dan kiri.

Gelap.

Asept membuka matanya, kemudian ia menyadari satu hal. Anak itu tak lagi duduk di meja makan, melainkan sedang berlutut di hadapan Kakek yang sudah tergeletak bersimpah darah. Dadanya naik turun, nafasnya bagai terhenti. Kedua tangan Asept bergetar hebat.

"Kek! Kakek kenapa? Kek, Asept minta maaf. Tolong jangan bercanda seperti ini, Kek!" Tangis Asept pecah. Sambil memeluk Kakek, Asept terus terisak.

"Asept ... Dengar Kakek, ya," ucap Kakek dengan susah payah.

"Asept selalu dengar, Kek. Apapun itu, Kakek mau apa asal Kakek jangan tinggalkan Asept."

Kakek terbatuk, darah segar keluar dari mulutnya. "Ini semua bukan salah kamu. Balaskan dendam mu dan jadilah orang yang kuat ...."

"Kakek meminta maaf, dan terimakasih ... cucuku yang berharga."

Asept termenung. Lidahnya terasa kelu. Air mata sudah tak ia pedulikan lagi, tangannya mengelus lembut pipi Kakek yang terkena noda darah, lalu ia membersihkannya. "Asept minta maaf, Kek."

Kakek tak membalas, bersamaan dengan hembusan nafas terakhirnya.

"Asept!"

Kesadaran Asept mulai kembali. Beberapa sahutan tidak dapat ia dengar juga rasakan. Padahal Pia juga Jax sudah hampir dua jam memanggil namanya. Khawatir jika temannya tidak dapat sadarkan diri lagi.

"Kamu tidak apa apa, Sept? Ada yang sakit? Kenapa menangis?" tanya Pia khawatir. Semua itu bahkan bukan seluruh pertanyaan yang ingin ia tanyakan saat Asept sudah siuman.

"Aku ... Menangis?"

Asept menyeka sudut matanya yang berair. Mimpinya begitu nyata bahkan sepertinya itu adalah potongan memori yang telab Asept kubur dalam-dalam. Asept tak ingin mengingat nya lagi, kepedihannya menemani hari hari nya di akademi. Kakek yang sudah mengurusnya sedari kecil. Terlebih hingga Asept menemukan kekuatannya. Kakek mengajarkan banyak hal pada Asept yang sebatang kara.

"Maaf, aku mengalami mimpi buruk," jawab Asept. Dirinya merubah posisi tubuhnya menjadi duduk dan menghadap ke kedua temannya.

"Makanlah. Aku tidak mau melihat kamu hampir mati seperti barusan," ketus Jax sambil memberikan daging ikan yang sudah di bakar.

Asept tersenyum kemudian menerimanya. "Terimakasih."

**

Malam itu Asept, Jax dan Pia menghangatkan diri mereka dengan sebuah api unggun yang juga mereka gunakan untuk membakar ikan. Hening, asap pun menjadi satu seolah ikut menemani ketiga remaja itu. Namun semuanya lenyap saat Pia membuka suaranya.

"Kalian tahu cerita tentang anak iblis yang menyedihkan?" tanyanya.

Jax terbatuk saat meminum air, "Ada kah cerita seperti itu?"

"Aku membaca sedikit di sebuah buku yang ayah simpan. Di sana ada sebuah penelitian yang berjudul 'Anak Iblis yang menyedihkan'. Kau mau tahu ceritanya?" Pia menatap ke dua arah. Asept dan Jax yang sepertinya sama sama penasaran. "Baiklah akan aku ceritakan!"

Jax memasang posisi siap mendengarkan sedang Asept memilih untuk membawa air hangat dan menyandarkan punggungnya.

"Dulu ada seorang anak iblis yang ceritanya menyentuh hati ayah ku. Aku tidak tahu nama anak iblis itu tapi yang aku tahu dia berasal dari wilayah Utara," jelas Pia.

Jax bertanya, "Berarti dia satu wilayah dengan kita?"

Pia mengangguk, "Dari dulu hingga saat ini klan iblis atau bangsa keturunan iblis tidak dapat hidup tentram damai dengan manusia. Maka dari itu mereka hidup dengan menyamarkan identitasnya."

"Tapi, ada salah satu dari mereka yang memiliki hubungan special dengan manusia. Bahkan sampai menikah dan mempunyai seorang anak!"

"Woah!" seru Jax. "Tapi apa pemerintah tahu tentang Klan Iblis yang memiliki hubungan dengan manusia itu?" tanya Jax.

Jax terlihat seperti sangat tertarik dengan cerita yang Pia bawakan.

"Tentu. Alhasil seluruh Klan Iblis yang diketahui identitas langsung mereka bantai tanpa habis tersisa."

Kini Asept membuka suara, "Jika Klan Iblis itu dibasmi habis, lalu bagimana nasib si manusia yang memiliki hubungan dengan iblis itu. Dan ... kondisi anaknya?" tanya Asept.

Kedua lelaki itu memasang telinganya dengan baik. "Dari yang aku baca, si manusia tersebut juga ikut meninggal. Sedangkan anaknya, aku tidak tahu. Yang jelas, anak itu pasti setengah iblis. Ada darah manusia dan iblis di tubuhnya yang membuatnya lumayan kebal terhadap serangan dan mampu membuat otak mereka bekerja lebih cepat," jelas Pia panjang.

"Jadi ... Pia, pandangan mu terhadap anak iblis itu bagaimana?" tanya Jax.

Pia menoleh memusatkan perhatiannya pada Jax seraya menjawab, "Aku kasihan padanya. Pastinya saat kejadian itu usianya masih sangat kecil. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika itu terjadi kepadaku."

"Lalu, bagaimana menurut mu?" Pia kini melemparkan pertanyaan pada Jax.

Jax berpikir sejenak. Ia merangkai kata yang semula ada di pikirannya.

"Menurut ku, tindakan yang di lakukan pemerintah itu kurang benar. Bagaimana bisa mereka membasmi sebuah Klan tanpa sebab," kata Jax.

"Aku tidak tahu dengan pasti juga tapi, sepertinya para Klan Iblis 'merugikan' pemerintah dan kerajaan. Ataukah mereka adalah ancaman? Kita tidak tahu." Pia lagi-lagi menjawab dengan lumayan panjang. Cerita anak iblis itu sangat membekas di hatinya.

Kini tatapannya beralih pada Asept yang masih memegang gelas berisi airnya. Tatapannya kosong menatap api unggun yang membara di depannya. "Menurut mu bagaimana, Sept?"

"Aku setuju dengan jawaban kalian. Tindakan yang dilakukan pemerintah menyebabkan hidup anak kecil itu menjadi kacau balau." Asept menarik nafas kuat. Ia meraih sebuah ranting yang panjang kurang lebih 30cm dan diarahkan nya pada bara api. Ranting tersebut mulai terbakar yang merambat seperti lilin.

Asept melanjutkan perkataannya, "Walaupun begitu, aku salut padanya. Jika dirinya masih hidup, dia adalah anak paling kuat. Apalagi jika dia membalaskan dendamnya. Dan jika aku bertemu dengannya, mungkin aku akan berkata ...."

Asept melempar masuk ranting tadi ke dalam api. "Terimakasih telah bertahan selama ini."

"Karena sepertinya, anak itu sudah mati dengan pikirannya sendiri."

---

By Rey

September : Chaos! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang