Setelah kepergian Asept, Pia melanjutkan mengobati luka pada kaki Jax. Tangan gadis itu dengan cekatan menempel daun yang sudah ditumbuk itu pada luka tersebut.
"Bagaimana menurutmu tentang rute yang akan kita lewati ini, Pia?" Jax membuka suara sambil terus memperhatikan tangan Pia yang mengusap pelan lukanya.
"Aku tidak tau, Jax. Aku hanya mengikuti peta dalam buku itu. Tapi apa kau tau Jax?" Tentu saja Jax menggeleng, ia tak tau apa yang akan dikatakan oleh gadis berambut sebahu itu.
"Buku itu seolah bisa berbicara denganku." Jax mengernyit, ingin menyela, tetapi Pia lebih dulu melanjutkan. "Saat aku membukanya, ia menunjukkan sesuatu yang tak dapat kumengerti. Ah, tapi aku tidak bisa memberitahumu karena kau tidak akan paham bahasa suku Zerorez."
Jax terkekeh, "Bukankah kau bisa menerjemahkannya, Pia? Siapa tau Asept juga penasaran tentang hal itu."
"Bukan tidak mau menerjemahkan, tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang rahasia milik suku Zerorez yang tak sengaja muncul. Jadi, aku tidak akan mengungkapkan ini ke Asept. Dan kau hanya perlu tau setengah yang tadi saja," ujar Pia setelah menggeleng pelan.
Jax mengangguk, ia tak akan memaksa. Lagipula ia tidak terlalu penasaran dengan suku Zerorez. Menurutnya suku itu terlalu terbelakang, tidak semaju kota-kota lainnya di kerajaan Croxerz. Suku itu terpencil, berada di pedalaman sehingga kurang sekali orang bisa masuk dengan leluasa di sana.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Jax?" tanya Pia setelah hening beberapa saat.
Jax menggeleng, "Tidak terlalu penting. Tapi ada yang ingin aku tanyakan," katanya mengundang reaksi penasaran dari gadis itu.
"Apa kau tidak memikirkan perkataan orang buta waktu itu, Pia? Aku rasa di antara kita memang mungkin adalah mata-mata dari pelaku itu."
Pia tersentak, tidak menduga pertanyaan itu meluncur dari bibir pemuda itu. Sebelum akhirnya berdehem pelan, lantas menjawab, "Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Lagipula kalian berdua kan sudah saling kenal sejak di akademi, sedangkan aku baru beberapa minggu. Tapi ... apa kau curiga terhadapku?"
Tanpa diduga, suara tawa pemuda itu mengudara membuat Pia melotot. Hei, dirinya serius bertanya!
"Aku tidak pernah, ah bukan, aku tidak mencurigai siapa pun Pia. Termasuk Asept. Aku hanya sedang kepikiran itu. Sekaligus untuk waspada dengan kemungkinan tersebut. Hm, tapi, daripada itu ... terima kasih telah mengobati lukaku." Jax mengalihkan pembicaraan begitu saja, membuat gadis itu mendecih pelan. Namun, kemudian mengangguk sambil tersenyum.
"Lain kali kau harus melindungi diri sendiri dulu, baru melindungiku," ucap Pia sambil menepuk pelan bahu kiri Jax.
Jax mengangguk, "Tentu saja."
Setelahnya, keduanya kembali diliputi keheningan. Hanya suara kesiur angin yang masuk melalui celah goa.
"Eh? Apa itu?" Pia terkejut, karena Jax yang tiba-tiba mengambil sesuatu di atas kepala gadis itu.
"A-apa?" tanya Pia gugup.
Belum sempat Jax menjawab, netra keduanya bertemu membuat pemuda itu terpaku pada manik coklat milik Pia. Begitupula dengan Pia, ia balas menyelami menatap bola hitam di depannya.
"Cantik," gumam Jax tanpa sadar. Baru saja hendak memuji betapa cantiknya Pia, tiba-tiba suara dari luar membuat keduanya memutus kontak mata. Kini menoleh pada pemuda berambut perak yang datang.
"Semua ini melelahkan. Hei, jika kau sudah sembuh, mari bantu aku menyiapkan makan malam ini!" seru Asept sambil meletakkan tiga ekor ikan mentah di tengah-tengah mereka.
"Kau dapat ini dari mana, Sept? Kau tidak mencuri 'kan?" tanya Pia memastikan.
Asept menghela napas pelan, "Aku mencurinya dari danau!" ketusnya sembari menatap gadis itu dengan sebal.
Pia mendelik, tak lanjut bertanya. Malas juga menanggapi Asept yang selalu membuat darahnya meninggi.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Jax mengalihkan atensi keduanya.
"Tidak perlu, aku akan menggunakan sihirku. Kau diam saja, dan lihat bagaimana hebatnya seorang Asept dalam bersihir," ucap Asept seraya berjongkok di depan ketiga ikan itu.
Beberapa saat setelahnya, hidangan berupa ikan bakal memenuhi atensi ketiganya. Kemudian terlihat fokus pada makanan masing-masing. Dengan Asept yang tak absen menceletukkan sesuatu.
"Tidak mungkin ada hantu di goa ini 'kan?" tunjuknya ke sisi goa yang terlihat gelap.
Jax berdiri,"Bukan hantu, tapi ...."
"Bandit!" Pia terlebih dahulu menyuarakan kalimat gantung Jax tadi.
Belum habis suara Pia menggema pada dinding goa, beberapa orang bersenjata tajam dengan pakaian merangsek masuk ke goa. Membuat ketiga anak muda itu bergegas menyambutnya dengan perlawanan yang cukup sengit.
Denting senjata terdengar nyaring memenuhi goa. Diikuti dengan suara seruan mereka saat mengucapkan mantra.
"AW!"
Suara ringisan Pia membuat kedua laki-laki itu menoleh. Seraya terus menyerang orang-orang di depannya yang seolah tak terhingga jumlahnya. Lebih parah daripada saat melawan para goblin kemarin.
Beberapa detik kemudian, setelah Pia berseru, para bandit itu bergegas pergi setelah mendapatkan kalung Pia. Kalung dengan permata merah menyala di tengahnya, yang merupakan hadiah dari sang ayah. Asept dan Jax mendekat, keduanya bertanya pada Pia yang terlihat murung.
"Kau baik-baik saja, Pia?" tanya keduanya kompak.
Pia menggeleng, "Aku baik-baik saja, tetapi kalungku berhasil diambil oleh mereka."
"Kalung apa? Aku tidak pernah melihat kau menggunakan kalung," tanya Asept dengan alis yang bertaut.
"Kalung merah delima, pemberian ayahku. Itu adalah permata yang langka, sehingga jika dijual harganya cukup untuk membeli satu rumah mewah," jelas Pia membuat Asept mengangguk-angguk paham.
"Aku dengar ada desa terpencil di sekitar sini, apakah kita akan ke sana?" Jax menyela, mengingat penjelasan Pia sebelumnya tentang melewati desa terpencil di dalam hutan tersebut.
Pia mengangguk, "Iya, sekalian aku ingin mencari kalung itu di sana. Siapa tau para bandit itu menjualnya di sekitar sana."
"Tapi Pia, jika tidak salah ingat, ada sesuatu yang harus kita cari juga kan sesuai petunjuk buku?" Kali ini Asept terlihat serius, membuat dua rekannya jadi saling pandang.
"Hei, aku berbicara seperti ini karena situasinya tadi mendukung! Kalian seperti tidak pernah melihat diriku bersikap normal saja, huh!" dengus Asept tak terima dengan pandangan kedua temannya.
Pia mengangguk pelan, tak peduli dengan protesan Asept. Fokus pada kalimat pertama Asept tadi. Membenarkan bahwa di desa terpencil itu mereka harus menemukan salah satu potongan benda untuk bisa mengaktifkan batu safir tersebut.
"Apakah kau bisa memberikan sedikit informasi tentang desa itu, Pia?" tanya Jax ikut memikirkan perkataan Asept tadi. "Sekedar berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi," lanjutnya sambil mengangkat bahu.
Pia mengangguk lagi, mulai menjelaskan desa tersebut sesuai pengetahuannya. Itupun ia dapatkan dari buku tersebut. Seperti yang ia katakan sebelumnya bahwa buku itu seolah bisa berbicara dengannya. Menunjukkan berbagai tempat yang terlintas di pikirannya.
"Jadi ... bagaimana?" tanya Asept setelah Pia selesai dengan penjelasannya.
*
---
By Tira
KAMU SEDANG MEMBACA
September : Chaos! [END]
FantasíaFestival Bunga Mekar merupakan salah satu perayaan untuk menyambut pergantian musim semi di kerajaan Croxerz. Festival ini sangat dinantikan setiap tahunnya karena selalu ada hal baik yang terjadi saat festival ini berlangsung. Sayangnya, tahun ini...