23 - MAKHLUK BERNAMA MANUSIA

12 7 0
                                    

Sejak dahulu, manusia memegang peranan penting dalam sebuah peradaban. Manusia adalah makhluk yang dibekali kecerdasan serta keterampilan paling seimbang dari Yang Maha Kuasa. Disebut-sebut pula sebagai makhluk paling sempurna. Tidak heran jika mereka disegani dan dihormati.

Keahlian yang paling utama dimiliki manusia ialah menarik hati ras lain, yang membuat mereka diagung-agungkan dan dijadikan sebagai panutan. Bak tokoh utama, manusia menempatkan diri mereka di puncak kekuasaan tertinggi, yaitu menjadi pemimpin di suatu wilayah.

Kehidupan manusia sebagai pemimpin suatu wilayah berjalan aman dan damai. Di mana manusia hidup berdampingan bersama ras lain dengan tenangnya. Namun, manusia yang dianggap makhluk paling sempurna, disegani, dihormati dan terkadang disebut sebagai makhluk suci dan indah tidak selamanya seperti itu. Manusia tidak lain adalah makhluk paling egois yang pernah diciptakan Sang Maha Kuasa.

Salah satu korban keegoisan manusia ialah iblis. Di mana iblis adalah salah satu ras yang hidup berdampingan bersama manusia dan ras-ras lainnya. Sayangnya, keberadaan iblis di mata manusia begitu hina. Iblis dianggap sebagai biang onar, pembuat masalah dan ras paling menjijikkan yang pernah ada.

"Pergi kau, dasar iblis!"

Sebuah kerikil dilemparkan pada seorang anak iblis. Anak kecil yang tidak tahu apa-apa itu menangis sejadi-jadinya karena kepalanya terluka akibat kerikil tersebut.

"Kau melukai anakku!" kata sang ibu pada anak lelaki yang melempar kerikil pada anak perempuannya itu.

"Anakmu iblis. Kau iblis. Tidak seharusnya iblis hidup berdampingan dengan manusia. Iblis itu menjijikkan!" ucap sang anak seraya menjulurkan lidah lalu berlari meninggalkan sang ibu dan anaknya itu.

Ucapan anak manusia itu membuat wanita dari ras iblis terdiam. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada luka yang begitu lebar. Entah bagaimana luka itu akan sembuh, tetapi yang pasti, luka itu tidak akan sembuh dengan mudahnya. 

"Ibu, apakah benar kita makhluk yang menjijikkan?" tanya sang anak menatap dengan mata merah menyala. Terlihat begitu membara, tetapi di lain sisi terasa begitu dingin.

Sang ibu memeluk anaknya erat. "Tidak, sayang. Kita tidak menjijikkan. Mereka yang menjijikkan. Manusia adalah makhluk paling egois dan menjijikkan yang pernah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa," balas sang ibu sambil mendekap putrinya.

Sejak awal, kedatangan ras iblis di wilayah kekuasaan manusia tidak disambut sebaik seperti ras lainnya. Namun, kehadiran mereka masih diterima di sana, meskipun lama-kelamaan kehadiran mereka tersingkirkan. Tidak ada yang menerima ras iblis di sistem pemerintahan, bahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ras iblis dilarang keras berbaur dengan ras lain, terutama manusia.

"Seperti yang kita ketahui bersama, ras iblis tidak diterima oleh manusia. Itu sebabnya mulai sekarang, kita harus pandai-pandai menyamarkan identitas kita," kata sang ketua klan memulai pembicaraan di ruangan yang hanya dipenuhi cahaya remang-remang dari obor.

"Tetapi saya tidak setuju, Tuan. Bagaimanapun juga, kekuatan kita jauh lebih kuat dari para manusia. Seharusnya mereka yang tunduk pada kita, bukan sebaliknya," balas salah satu tetua yang tidak setuju dengan ucapan sang ketua klan.

"Saya tahu, tetapi manusia memiliki kekuasaan yang tidak kita miliki. Kita memang kuat, tetapi kita tidak memiliki kekuasaan. Itu sama artinya dengan kalah," balas sang pemimpin lagi.

Salah satu tetua menggebrak meja. "Saya tidak setuju, Tuan. Kita tidak boleh kalah dari makhluk hina seperti mereka. Kita harus menyusun rencana untuk menyingkirkan manusia yang dianggap sebagai makhluk paling sempurna itu," ucapnya dengan emosi yang mulai tersulut.

"Saya mengerti maksudmu, tetapi ingatlah bahwa manusia itu juga pemimpin kalian. Dia adalah pendamping saya, sang pemimpin ras iblis."

Ucapan sang pemimpin membuat tetua itu menggertakkan gigi kesal. Namun, tidak ada yang bisa diperbuat olehnya selain menuruti ucapan sang pemimpin.

***

Perlakuan buruk yang didapat ras iblis membuat mereka menghindari segala hiruk pikuk kehidupan manusia. Mencoba tidak membuat kegaduhan yang mungkin menambah rasa benci manusia pada mereka.

"Kau melukai anakku! Kau pasti anak iblis! Dasar menjijikkan! Pergi kau dan jangan bermain lagi dengan anakku!"

Ucapan dari seorang wanita membuat seorang anak laki-laki bergeming. Ia menatap sekilas anak perempuan yang menangis dengan luka di lututnya. Anak itu lalu berlari sekencang yang dia bisa.

"Ibu!" panggilnya pada sang ibu lalu memeluknya erat. Anak laki-laki itu tidak henti-hentinya menangis di pelukan ibunya.

Sang ibu mengelus lembut kepala anaknya. "Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi. Terkadang manusia memang lebih jahat daripada iblis."

Anak laki-laki itu mendongak menatap mata ibunya yang mendadak menjadi sendu.

"Kenapa, Nak? Kamu tidak mengerti, ya, apa yang Ibu katakan?" tanya sang ibu yang dibalas anggukan dari anak putranya.

"Tidak apa. Suatu saat kamu akan mengerti."

***

Malam itu, tempat tinggal ras iblis kedatangan tamu tidak diundang. Manusia bersama ras-ras lainnya datang menyerbu dengan amarah yang memuncak. Tidak lain sang rajalah yang menyusun kekuatan dan memberikan perintah. Salah satu keturunan iblis telah melukai putrinya dan tindakan itu tidak bisa dimaafkan.

"Ayah, Ibu, aku takut," adu sang anak pemimpin ras iblis itu pada orang tuanya.

Sepasang suami istri itu saling tatap. "Ayo ikut Ibu, Nak," ajak sang wanita. "Kamu di sini saja, ya. Jangan keluar sampai tidak ada seorang pun yang bersuara. Ibu akan kembali."

Anak itu mengangguk lalu menutup pintu lemari. Riuh suasana masih dapat didengar anak itu dari dalam lemari. Ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu. Mengapa ibunya belum juga kembali? Ia takut. Sangat takut.

"Pertempuran ini adalah tentang hidup dan mati, maka keluarkan sisi iblis kalian! Kita mungkin kalah, tetapi dengan terhormat."

Suara sang ayah sayup-sayup terdengar, tetapi lama kelamaan, hening mulai menguasai. Anak itu akhirnya memberanikan diri membuka pintu lemari. Api terlihat di mana-mana. Belum lagi bau darah yang sangat kental tercium ke indera penciuman, membuat anak itu gemetar ketakutan. Air matanya jatuh, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

"Ayah, ibu." Anak itu menatap sedih kedua orang tuanya yang tergeletak di tanah. "Ayah, Ibu, kenapa tidur di sini?  Kenapa ada cairan merah di perut Ayah dan mulut Ibu? Ah, kita harus ke tabib, ya? Ayo, Yah, bangun. Ayo kita ke tabib," ucap anak itu seraya menarik tangan ayahnya. Sayang, sang ayah tidak juga beranjak dari posisinya.

"Anakku sayang."

Panggilan itu seketika membuat sang anak menoleh. "Ibu kenapa tidur di sini? Ayo bangun, Bu. Kita ke tabib dan hilangkan cairan merah di perut Ayah dan Ibu," katanya dengan air mata yang bercucuran.

Wanita itu menggeleng. "Tidak perlu, Nak. Ibu dan Ayah baik-baik saja," ucapnya disertai senyuman. "Pergilah, Nak. Temui seorang kakek yang tinggal di kaki gunung Marley."

Anak itu menggeleng tanpa menghentikan tangisnya.

"Janganlah menangis, Nak. Kamu itu anak Ayah dan Ibu yang kuat. Janganlah menyesal menjadi keturunan iblis, karena meskipun menyakitkan, tetapi iblis jauh lebih baik dari manusia. Iblis tidak pernah egois seperti manusia."

Anak itu terpaku akan ucapan sang ibu. Ia tidak mengerti mengenai maksud ucapan wanita yang telah melahirkannya itu, tetapi satu yang dimengerti olehnya adalah, manusia membenci iblis. Manusia tidak akan membiarkan iblis hidup dengan tenang, meskipun mereka tidak melakukan apa-apa.

***

Angin dingin berputar di sekeliling seseorang dengan pakaian serba hitam yang menutupi tubuhnya. Sosok itu menghirup udara dalam lalu mengembuskannya perlahan. Tidak lama setelahnya, ia lalu tertawa keras. Memecah keheningan malam.

"Sial! Aku mengingatnya lagi!" umpatnya.

---
By Kaia

September : Chaos! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang