Titik Lemah

127 4 0
                                    

Ah, seperti biasa. Aku masih pengecut yang sama —tidak berani meminta izin menggunakan fotomu untuk tayang membayangi layar kaca. Pada hal-hal tertentu yang melatarbelakangi ini semua, melalui tulisan yang tidak mungkin kau baca; aku meminta izinmu untuk menulis segenap penyesalan yang kian waktu bisa jadi kutebus dengan patah hati yang lain. Maka, bila malam ini degup jantungmu mengingatkan segelintir hal mengenaiku; meski satu kali. Itu sebab sukmaku menggila memanggilmu detik ini.

Jika wanita lain lahir sebagai penanti, maka aku ditakdirkan menjadi pemburu. Insting yang selayaknya hanya dimiliki lelaki, justru sudah tertanam di tiap aliran darahku sejak dunia menjadi tempatku berada. Lalu, belasan tahun sudah kuhabiskan untuk berburu dan memilih orang-orang yang aku mau sejak awal tanpa alasan yang jelas. Aku tidak menerima hati yang ditawarkan padaku, aku membabi-buta memburu dan mengusahakan segala hal demi meraih hati yang aku mau. Dan itulah yang belakangan tahun telah aku usahakan untukmu, meskipun gagal.

Pahit mengatakan bahwa sebenarnya aku sudah tidak merasa cukup sejak menyukaimu, namun begitulah adanya. Bisa-bisanya tubuh yang menjadi tempatku sejak lama tidak berarti apa-apa sejak aku menyukaimu. Kadang, aku berpacu dan memenuhi ambisi pada tiap cela yang aku miliki. Menambal sana-sini hal-hal yang gagal aku tutupi. Namun, ketidakcukupanku di matamu juga membuatku merasa kurang sepanjang waktu. Aku hilang bersama ketidakpuasan diri, seringkali lupa navigasi. Aku melupakan hal terdasar dari ini semua sejak kau ada; bahwa aku tidak sepantasnya memandang diriku seolah tidak berharga.

Kupikir, ini pertaruhan terbesar kedua dalam hidupku sejak yang pertama gagal telak kumenangkan meski telah menggunakan segala cara. Aku masih nekat melanjutkan pertaruhan pertamaku tepat sebelum kau membangkitkan insting yang kupunya. Alasan aku memilihmu adalah karna kau telah bertahan sejauh itu demi hidup. Siapa sangka, kini kau yang seringkali membuatku menelan pahit dalam hidup.

Tiap hal, entah kau sadari atau tidak. Derap kaki dan tiap tarikan napas yang kau lepaskan ke udara, setelah melalui banyak sekali ujian seakan semua tak ada habisnya, membuatku bersyukur. Kau lahir, digariskan sejalan denganku sementara; diizinkan membuatku terkesima. Kau mengisi tiap sisi kosong kepala yang dulunya hanya berisi kepingan kenangan tak berharga.

Tanpa sadarku, kau menjadi pusat paling lemah di sukmaku. Kian waktu, melihatmu hidup sudah tidak lagi cukup bagiku. Apa saja yang kau lakukan, siapa saja yang menyakitimu; ceritamu mengenai perempuan yang mengesankan. Semua hal yang kau bagi denganku, semakin membuatku merasa kecil. Membuatku sakit. Aku menyadari kegagalanku dari awal, hanya saja; perasaan enggan dipaksakan untuk berlogika. Perasaan tidak bisa diminta untuk tidak terluka saat seseorang yang dicinta tidak bisa dilindunginya. Maka dari itu, sejak kemarin aku mempersiapkan diri untuk menjauh.

Kau tidak mempunyai kemampuan membalas perasaanku, dari awal aku bukanlah perempuan yang menarik di matamu. Lalu, aku menjauh waktu itu. Kau justru merangkulku dan memintaku kembali menjadi teman baikmu. Berbulan-bulan kepalaku bersiap bila sewaktu-waktu mendengar nama wanita lain terlontar dari bibirmu. Hingga detik-detik permintaan kemarin tiba, aku mengerti. Pada akhirnya kau sudah memulai sayembara yang kau tunda selama ini. Kau telah membuka peluang bagi dirimu untuk menerima hati yang lain; siapapun selain aku.

“Ya, kau harus lanjutkan hidup.
Jangan tunggu aku,
jangan.”

Aku sempat ingin memotong omongan itu. Namun, aku sadar. Sudah puluhan kali aku melakukannya demi menyadarkanmu. Bukannya kau tau aku tidak pernah muak menjanjikan hal yang sama? Aku ingin sekali membantahmu sekali lagi waktu itu. Menegaskan bahwa aku akan tetap menyayangimu, tak peduli sebagai apa. Tidak peduli kau siapa pada hari-hari yang berbeda nantinya. Aku akan selalu menyayangimu meski perempuan lain memenangkan apa yang susah payah aku upayakan sejak lama.

Namun, pada akhirnya aku bungkam.

Aku membulatkan niat untuk menghilangkan semua janji, menarik pelan-pelan ucapanku dengan membuktikannya saat nanti kita bertemu. Aku ingin menghentikan perburuan ini karna jawaban itu telah mengiris tubuhku berkali-kali hingga rasanya tidak sakit lagi. Dengan segala macam usaha yang dulu aku usahakan untukmu, rasa bersalah menghantui keinginanku karna tidak bisa menepati janji. Maaf, selama bertahun-tahun aku bertahan dan meyakinkanmu seakan-akan akan terus bertahan. Maafkan aku jika hari ini aku memilih diriku sendiri.

Aku sudah tidak lagi memburu hatimu. Maaf, janji itu tidak bisa lagi aku tepati. Aku memilih menuruti kemauanmu untuk melanjutkan hidup tanpa menggangu dan menunggu. Nanti, pada tiap-tiap hari kita bertemu; aku berharap kau menghargai niatku melepaskanmu dengan tidak lagi menganggapku sebagai temanmu.

Mari kita menjadi asing kembali.




—— 13 September 2023.

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang