Meski aku belum meminta izin untuk menceritakanmu pada banyak orang, namun kau pasti tau bahwa namamu abadi. Entah pada halaman buku-buku yang nantinya terbit atas namaku, atau pada orang-orang terdekat yang ada di sisiku. Apapun itu, kau abadi.
Bunda bilang, kau bukan orangnya. Bukan seseorang yang cukup kuat bersamaku, bukan pula yang memiliki kemampuan menangani susunan rumit isi kepalaku. Karna katanya, seseorang yang benar-benar untukku pasti memiliki kemampuan-kemampuan itu. Kau tak cukup kuat untuk menampung aku yang memenuhi kehidupanmu. Dan itulah alasan baginya mengapa kau bukan untukku.
Bunda juga bilang, kau tak cukup layak meninggalkanku dan berpaling begitu saja. Menurutnya, seseorang yang benar-benar mencintaiku akan menemukan segala kecukupan pada apa yang aku punya. Sekalipun banyak orang lain yang jauh lebih sempurna. Karna kau memilih mendua sebagai cara menggagalkan kisah kita, ia yakin bahwa kau sebenarnya tak pernah benar-benar mencintaiku. Sebab, jika benar hatimu milikku waktu itu, takkan ada wanita lain yang membawamu.
Terakhir, ia memintaku melupakan segalanya. Ambisi, mimpi-mimpi; harapan bahwa suatu saat kau akan kembali. Ia ingin aku melepaskan segala yang aku peluk bertahun-tahun agar hidupku bertahan. Dan aku setuju akan hal itu, aku melepas segalanya melalui doa yang menyamar menjadi lentera di kamarmu. Menjelma angin sore yang membelai wajahmu, menjadi awan yang meneduhkanmu dari sinar matahari. Segalanya sudah menyatu menjadi doa-doa baik yang aku yakini, pasti Tuhan kabulkan untukku.
Hanya saja, melupakan adalah suatu hal yang mustahil. Meski aku pernah berharap kepalaku terbentur dan amnesia mendadak. Namun, setelah dipikir-pikir; aku tak pernah sungguh-sungguh ingin melupakanmu. Aku hanya bersungguh-sungguh agar perasaanku terhadapmu binasa, meski caranya melalui pemaksaan setengah gila. Beda halnya dengan ingatan. Menurutku, aku tak pernah berusaha mengenalmu. Kau adalah seseorang yang sudah aku kenali bahkan sebelum kita bertemu. Kau tampak tak asing, seperti telah dirancang akan menjadi cinta sekaligus luka yang membuatku hancur berkeping-keping. Lalu, bagaimana bisa aku belajar melupakan jika aku tak pernah memulai mengingatmu?
Lagipula, kau mendapat cintaku yang luar biasa. Kau seseorang yang aku cintai bertahun-tahun dan mengalir selalu tanpa jeda. Kau alasan aku berbohong dan menipu perasaanku demi memaksakan diri agar bisa menerima seseorang yang berbeda. Kesetiaanku yang luar biasa lamanya tak pernah dimenangkan yang lain; selain kau. Dan itu membuatku takjub. Wajar saja bila aku masih suka membayangkan raut wajahmu tersenyum, beserta segala keistimewaanmu yang selalu membuatku kagum.
Ingatan adalah satu-satunya bukti yang aku miliki agar aku yakin pada diriku sendiri. Kau memang pernah menjadi pilu yang membiru, rindu yang memburu dan segala sesuatu yang melukaiku. Namun, setelah itu semua; aku masih tetap menyayangimu. Itulah gunanya ingatan bagiku, agar kelak saat aku telah menemukan seseorang yang benar-benar akan menjadi milikku, aku yakin bahwa aku mampu. Aku mampu mencintainya sehabis-habisnya aku. Aku mampu menemaninya sepanjang sisa waktu. Karna, aku ingat pernah melakukannya padamu bahkan tanpa satu alasanpun. Aku ingat bahwa aku pernah menerimamu hingga titik terendah dalam hidupmu.
Dan bagiku, semuanya layak untuk dikenang. Tercatat dalam beberapa bagian yang tengah aku ketik, meski mustahil untuk kita ulang. Kita memang tidak memenangkan sejarah, kita gagal. Tetapi, itulah pembelajarannya. Kisah gagal yang kita punya, kuharap mampu menjadi pelajaran untuk orang-orang yang membacanya. Ah, menulis ini membuatku bertanya-tanya.
Bagaimana, apa kau sudah bahagia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Patah Hati
PuisiBagiku, semua ini layak untuk dikenang. Entah seperti apa menurutmu. Jika kau bersedia untuk menjadikannya sebagai sejarah, maka kenanglah aku sebagai seseorang yang paling-paling mendambakan kebahagiaanmu. -Jum'at, 1 September 2017.