Emilie berjalan cepat begitu turun dari mobil. Ia ingin menyelesaikan ini segera, dan bisa segera bertemu dengan kasurnya yang nyaman.
Lucas kini punya rumah di kawasan Senopati yang jarang ditempati. Pria itu lebih suka berada di apartemennya di Mega Kuningan. Meski begitu, rumah bergaya era Victoria ini tampak terawat dan terjaga dengan baik. Sewaktu masuk tadi, di pos satpam ada dua sekuriti yang bersiaga. Tampaknya pria itu memang terkena semacam phobia, sehingga perlu memperkerjakan banyak sekali tim keamanan.
Ruang tamu terang benderang. Hal yang sangat aneh terjadi di Jakarta pada pukul setengah empat pagi. Pria itu duduk menyandarkan kepala di punggung kursi, sembari memegang gelas anggur. Sebotol anggur berdiri canggung di atas meja.
"Ada apa?" tembak Emilie tanpa basa- basi.
Lucas mengarahkan tatapan matanya ke atas. Langsung ke sepasang mata berwarna madu itu. "Duduklah." Suaranya memang kalem. Tapi Emilie tahu persis, perintah itu sama sekali bukan sesuatu yang bisa dibantah.
Kesal, namun Emilie tetap mendaratkan bokong di atas single sofa di seberang Lucas.
"Minum,"
"Enggak, trims. Nggak ada orang waras minum alkohol sebagai sarapan mereka!"
"Mamimu ingin bertemu,"
Emilie mengesah jemu. Dia tahu, cepat atau lambat semua ini pasti akan terjadi. Mami ingin bertemu dengannya, sudah pasti hal itu dikarenakan papinya sudah tidak punya nyali untuk memintanya pulang ke Surabaya.
Gadis itu menunduk. "Em, Mami kamu sedang hamil tua. Dia jauh- jauh datang ke sini dari Surabaya, karena sudah kangen sama kamu."
"Oom jangan sok menasihatiku." Dengus Emilie. Pusing tiba- tiba mendera kepalanya yang sedari tadi sudah berat. Bekerja dari siang sampai hari berganti memang bukan perkara enteng. Dia memang dapat break syuting untuk beberapa jam. Tapi yang dibutuhkannya adalah istirahat seminggu penuh buat memulihkan stamina.
Semenjak seriesnya yang terakhir, yaitu empat bulan yang lalu, jadwal Emilie sudah kembali padat. Berkutat pada pemotretan, acara talkshow, kemudian jadi model untuk merek busana dari perancang dalam negeri, semuanya itu butuh komitmen dan tubuh yang fit.
Tapi kali ini dia betul- betul kewalahan. Masalah keluarga saat ini tidak ada dalam daftar hidupnya. Akan tetapi, hal itulah yang beberapa bulan ini dialaminya.
"Sepertinya kamu memang butuh istirahat. Pakaialah kamarmu. " Ujar Lucas lembut.
"Terimakasih, tapi saya mau pulang ke tempat saya sendiri."
"Jangan mulai, Em. Sebelum mencapai ambang pintu, mungkin kamu sudah pingsan duluan." Lucas memperingatkan. "Berhentilah bersikap keras kepala."
"Well, itu bukan urusan Oom." Emilie berdiri. "Permisi, Oom. Selamat pagi."
Tapi baru saja melangkah, tubuh gadis itu sudah lunglai, dan secepat kilat, Lucas menangkap tubuh ramping itu.
Bergegas, pria itu membopong Emilie ke kamar yang terletak di lantai dua. Membuka pintunya, dan membaringkan tubuh gadis itu ke atas ranjang. Menyelimutinya.
Kemudian memandanginya.
Secara fisik, Emilie sama sekali tidak mirip dengan Aeris. Namun sifat mereka tak jauh beda. Mungkin hal itulah yang membuat Emilie dulu langsung cocok dengan Aeris.
Gadis kecil ini punya sifat pemberontak yang alami. Namun terkadang jiwa pemberontaknya itu mampu menghibur hati Lucas yang masih tetap memilih untuk hidup sendiri di usia yang hampir mencapai kepala empat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deserve You
ChickLitRasa sakit hatinya pada Prana tidak pernah dilupakan Emilie, meskipun enam tahun berlalu. Meskipun pria itu masih berada di sekitar Emilie, menjadi bagian dari hidupnya, namun gadis itu bertekad untuk melupakan bahwa dirinya pernah menyukai lelaki y...