Dua Puluh Lima

1.7K 244 21
                                    

Setelah mandi dengan air hangat, Emilie berganti dengan tank top putih dan celana piama panjang bergambar Lola bunny, seragam tidurnya sehari- hari.

Ia mengeringkan rambutnya yang basah. Meregangkan tubuh, ia merasa bahwa kepenatan tubuhnya agak berkurang karena diguyur air.

Selesai mengembalikan handuk, ia segera membongkar tasnya. Dia punya satu novel yang dibawanya sebelum bertolak ke Nusa Lembongan.

Novel klasik karya Edith Wharton berjudul The Age of Innocence yang sudah lama ingin dibacanya.

Ia baru saja menyamankan diri di atas ranjang hotel yang mewah. Ranjang King size bertiang empat, dengan kelambu putih gading, pelapis seprai satin dan selimut tebal yang hangat dengan warna senada, ketika pintu kembali terkuak, kepala hitam Lucas muncul.

Ia telah melepaskan jas dan dasinya, menyisakan kemeja putih yang kusut, lengan kemejanya digulung hingga ke siku.

Emilie awalnya nggak begitu tertarik memperhatikan suami barunya yang berjalan agak terhuyung, sebelum jatuh ke atas ranjang. "Oom tidur di sini?" tanyanya acuh tak acuh. Bahkan seolah nggak peduli.

Sikapnya nggak seperti perawan yang merasa enggan menerima suaminya karena belum siap disentuh. Emilie sendiri nggak yakin, apakah Lucas mau menyentuhnya.

Baju tidurnya sama sekali jauh dari kata seksi. Tank top putih dan celana piama-- meski di balik tank top itu dia nggak mengenakan apa- apa.

Emilie selalu menganggap bahwa saat tidur, seorang perempuan berhak mendapatkan kebebasannya dengan melepaskan bra yang telah mengungkung dada seharian, bahkan lebih.

"Aku punya istri baru," ujar Lucas seraya terkekeh menatap intens pada Emilie, "dan namaku Lucas. Bukan Oom."

Emilie menaikkan bahu acuh tak acuh. Mulai membaca paragraf pertama, walau nggak begitu berkonsentrasi berkat adanya sosok Lucas.

Pria itu, aromanya saja sebenarnya sudah cukup meresahkan dan mendominasi.

Terlebih tubuhnya yang kuat dan tinggi, seolah- olah menuntut Emilie untuk mremperhatikannya lebih lanjut.

Alih- alih marah karena tak diacuhkan kehadirannya, Lucas beringsut mencapai tumpukan bantal untuk menyamankan posisinya, sebelum merebahkan kepala di atasnya dan memejamkan mata mendesah seperti  seekor kucing raksasa.

Lirikan tajam Emilie jatuh ke sepasang kaki panjang terbalut celana bahan dan masih terbungkus sepatu pantofelnya. "Lucas," katanya jengah, "peraturan pertama, kamu nggak bisa tidur pakai sepatu. Seprai bagus ini bisa kotor!"

Lucas hanya menggumam. Kemudian bangkit, menegakkan tubuhnya."Sorry," ujarnya. Ekspresinya nggak bisa dijelaskan. Entah itu datar atau apa.  "Aku cuma mau lihat kamu,"

Emilie mengerjapkan mata. Dia lumayan yakin, tipe seperti Lucas ini nggak bakalan tumbang, sekali pun menenggak segentong bir atau anggur mahal, jadi dia tepar karena apa?

Emilie mengangkat bahu, merentangkan kedua tangannya, yang menandakan bahwa dirinya baik- baik saja. "Sorry," dengan cepat, pria itu bangkit dan berdiri di samping ranjang.

Matanya menyipit tajam mengamati Emilie yang cuek- cuek saja, dan malah asyik melanjutkan bacaannya. Edith Wharton adalah tipe yang membutuhkan perhatian khusus.

Sepasang mata tajam itu sempat singgah lama di area dada Emilie. Tampak lekukan lembut itu nggak dilindungi oleh penutup dada.

Tenggorokan Lucas terasa kering. Dada Emilie nggak besar, tapi ia menyangka ukurannya akan sangat pas dalam genggamannya.

Apa rasanya jika ia meluncur dan menggulingkan tubuh itu, lalu menggelutinya, menindihnya, membelitnya hingga pagi datang? Mungkin dirinya sudah benar- benar akan kehilangan kewarasan.

Deserve YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang