Delapan Belas

1.2K 195 15
                                    


Prana mengantarkan Emilie kembali ke hotelnya, ketika waktu menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit.

Nusa Lembongan nggak pernah sepi oleh turis yang berjalan di sepanjang area pantai dan di sekitar hotel- hotel tempat mereka menginap.

Ketika menapaki lobi, seseorang mengadang langkahnya. Jangkung, ramping, dengan rahang kokoh dan tatapan dalam yang mengintimidasi. Dalam balutan kemeja putih yang telah digulung hingga ke siku, dan celana bahan warna hitam. Pria itu mirip eksekutif muda yang nyasar.

"Susah ya, ketemu lo?" sapanya. Suaranya berat dan rendah. Tipe- tipe  suara yang bisa membuat hati perempuan dan lelaki meleleh hanya dengan mendengarnya saja.

Mata Emilie membola. Pria itu menyeringai. "Apa kabar, yang udah jadi artis?"

"Kak Max? Lagi ngapain di sini?"

"Ada konferensi bisnis." Ujarnya. Emilie mengangguk- angguk. Sementara Prana jelas - jelas menunjukkan ketidaksukaannya.

Pria itu mendengus. Bersedekap. Melengos.

Melihat sosok di belakang Emilie, Max tertawa. "Bodyguard lo tetep sama ya?"

"Dia kakak gue, Kak Max. "

"Oh, lo di sini sampai kapan? Gue mau ngobrol nih. Bisa kan?"

"Bisa,"

"Enggak!"

Emilie menoleh ke arah Prana yang kini berdiri begitu dekat di sampingnya. "Whoa!" Max terkekeh.

"Jadi, enggak bisa, nih?"

Gaya Max betul- betul nggak banyak berubah. Masih tetap sesantai dulu. Hanya saja, kini pria itu tampak lebih matang. Dan tentu saja ganteng.

Buktinya, sejak tadi, banyak banget cewek lokal mau pun bule yang baik secara sembunyi- sembunyi melirik padanya, atau yang secara terang- terangan menatapnya. Mencoba menarik perhatian si pejantan alpa yang memang sangat mengintimidasi ini.

Emilie mendesah. "Jadi, lo bisa kan?"

"Bisa kok. Tapi enggak sekarang juga. Memang Kak Max di sini sama siapa? Aku di Nusa Lembongan sampai lusa. Terus pindah lagi ke Uluwatu."

"Besok?"

Prana menatap penuh perhitungan pada lelaki yang tampak membosankan sempurnanya itu.

Dulu, sewaktu masih SMA, Prana harus menjaga Emilie dari cowok yang pernah membawa Emilie kabur di depan hidungnya. Lalu, dari Davaro, yang bisa saja menjadi ancaman tersembunyi. Prana menyipitkan matanya. "Em, sebaiknya kamu segera masuk ke dalam. Sudah malam. "

"Jadi, besok?" Max masih berusaha memastikan. Sekaligus menantang bodyguard Emilie yang kini berdiri dengan raut wajah gelisah dan ingin menonjok Max di saat yang bersamaan.

"Jam makan siang aku kosong."

"Okey, then..."

"See you..."

"See you..."

***

Syuting hari itu dimulai pukul empat pagi. Pukul tiga, mereka sudah dibangunkan.

Tentu saja Emilie, Edyta dan Kirenia masih mengantuk. Bahkan mata Emilie rasanya seperti direkatkan dengan lem super. Tapi, dia tetap harus menyeret tubuhnya ke kamar mandi.

Meski mandi pukul setengah empat pagi bukan sesuatu yang akan dengan sukarela dilakukannya, namun cewek itu bersyukur, air di sini nggak terlalu dingin. Mandi pukul tiga pagi pada bulan Desember di London, sama dengan bencana.

Deserve YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang