Sebelas

1.5K 210 22
                                    

Emilie terbangun  tengah malam, setelah ia ketiduran sore tadi. Perutnya berbunyi dan gadis itu memutuskan untuk turun mencari makanan.

Tukang masak pribadi Lucas selalu membekukan makanan dan dimasukkan ke dalam freezer. Jadi, sebenarnya tinggal di tempat ini adalah anugerah.

Kalau di apartemennya sendiri, sudah pasti dia harus menelepon kafe 24 jam yang ada di apartemennya.

Sejak mengenal Aeris yang dulunya punya kebiasaan untuk menghangatkan pizza sisa yang berumur dua hari, Emilie mengikuti kebiasaan Mami tirinya itu. Baik di London, mau pun di Jakarta, ia selalu menghangatkan pizza dalam panci teflon. Dia menyukai tekstur  garing dari pinggiran pizza. Dan yang jelas, tidak perlu banyak drama.

Ia hanya turun ke dapur dalam balutan tank top hitam dan celana piama longgar. Rambutnya diikat menjadi buntut kuda tinggi, mengenakan sandal rumah.

Gadis itu memasuki area dapur yang canggih. Daerah kekuasaan Pak Aswin, mantan koki di sebuah restoran di Bali yang dibajak Lucas dan di bawa ke tempat ini.

Dapur itu benar- benar membuat Emilie terintimidasi. Luasnya dua kali kamar apartemen Emilie di Kalibata dengan peralatan masak berstandar komersial. Kompor enam tungku, oven raksasa, kulkas side by side empat pintu berjejer, showcase, kulkas dua pintu, empat freezer box, microwave, penyedot asap, peralatan teppanyaki, dishwasher, dan masih banyak lagi yang Emilie tidak tahu namanya-- semuanya dalam nuansa monokrom yang terkesan mewah.

Emilie membuka salah satu kulkas. Meneliti dengan matanya. Di rak pintu ada saus X.O, saus Tabasco, mustard, honey mustard, HP sauce, dan entah apa lagi. Di rak paling atas ada bahan makanan yang telah dimasukkan ke dalam plastic ziplock. Mungkin untuk sarapan besok.

Frustrasi karena tidak bisa menemukan apa pun yang bisa langsung di makan tanpa harus repot- repot menyalakan kompor dan menumis.

Bukannya Emilie tidak bisa masak. Tinggal di kota dengan biaya hidup paling mahal di dunia, memang menuntutnya untuk bisa memasak. Meski menyukai pizza, tidak mungkin baginya untuk menjejali perutnya dengan segala macam junk food itu. Atau papinya pasti bakalan bangkrut, kalau setiap makan, dia masuk ke kafe trendi.

Jadi pilihannya hanya memasak. Masakan sederhana seperti telur orak- arik, pasta, mie goreng, memanggang ayam atau daging diskon kalau ada.

Putus asa dengan isi kulkas, Emilie beralih ke freezer khusus ice cream. Pasti ada sesuatu yang bisa dimakan di sini. Ia menggeser tutup benda itu. Menemukan favoritnya-- vanilla chocochips. Langsung ia keluarkan ember es krim tersebut dengan mata berbinar.

"Ngapain kamu gelap- gelapan di dapur?!"

Emilie terlonjak mundur, mendengar suara berat yang tiba- tiba muncul. Gadis itu memegangi dadanya. Tapi tidak repot- repot membalikkan badan.

Ia kembali fokus mengambil ember berisi seliter es krim. Lucas berdiri di balik tubuhnya, mencoba mencari tahu apa yang dilakukan Emilie. "Malam- malam begini, mau makan es krim?"

"Nggak ada pilihan lain. Is kulkas Oom bikin saya frustrasi."

"Memang kamu tidak makan malam?"  Lucas menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Mengamati Emilie yang kini memeluk ember es krim. Kemudian gadis itu berbalik, berjengit, karena Lucas persis berada di hadapannya. Dengan janggut lebat seperti residivis kambuhan, tubuh tinggi menjulang, dalam balutan sweaters rajut berkerah tinggi dan celana jin. Rambutnya agak acak- acakan. Menyiratkan bahwa mungkin pria ini baru saja melalui malam dahsyat di hotel bandara. Atau dia punya keanggotaan Mile High Club. Dan salah seorang pramugari seksi dari Eropa timur bernama Svetlana atau Elenya, baru saja melakukan sesuatu yang menakjubkan pada pria itu.

"Oom baru pulang?"

"Kamu mau memakan semua es krim itu?"

"Ini dibeli untuk dimakan kan?" Emilie mengernyitkan alis.

"Kamu bisa membuat dirimu terkena pilek karena makan es krim malam- malam. "

"Saya hanya butuh ini." Emilie memutar bola matanya dengan jengkel. "Tolong jangan merusak kesenangan kecil saya."

Pria itu menatap Emilie lekat- lekat. Dan tololnya, gadis itu terjerat oleh pesona lelaki 39 tahun yang matang dalam balutan sweaters warna putih. Dia mirip bangsawan Inggris dalam novel- novel karya Julia Quinn atau Lisa Kleypas. Dan tiba- tiba saja ember es krim itu sudah berpindah tangan. Dan Emilie mendesah kehilangan.

Lucas menyelinap di antara Emilie dan freezer box, menggeser tutup benda itu dan memasukkan kembali ember es krim itu, bahkan sebelum Emilie menyadarinya.

Setelah itu, dengan lihai, pria itu membuka kulkas, mengambil sayuran seperti lobak , kol ungu, lalu berpindah ke freezer box khusus ikan. Mengambil dua potong apa yang kelihatannya seperti salmon.

Setelah menggulung lengan sweatersnya hingga ke siku, pria itu mengambil talenan, menyalakan kompor. Emilie mengamati gerak- gerik Lucas, seolah- olah sedang menikmati cirque du Soleil. Dia tidak tahu, bahwa seorang CEO seperti Lucas Nayaka Januardy, bisa seahli dan seluwes itu di dapur.

Bahkan, sebelum Emilie sempat berkedip, masakan Lucas sudah siap.
Menguarkan aroma lezat ke seantero dapur.

Lucas membawa dua piring makanan ke meja sarapan model konter yang menyajikan pemandangan langsung ke arah dapur. Tempat chef memasak makanan. Jadi terlihat seperti di restoran teppanyaki.

"Sini, " Lucas melambai ke arah Emilie yang bengong. "Duduk. "

Kulit salmon yang terlihat menggoda,  beserta salad berisi kol ungu dan lobak, seolah mengundangnya untuk segera mencicipi rasanya . Dapur itu pun terlihat tidak pernah dipakai.

Tampaknya, stereotip bahwa lelaki tidak rapi, itu hanya mitos belaka. Nyatanya, Lucas bisa serapi dan sebersih ini.

Lucas mengambil sebotol air putih dingin dan  jus dari kulkas, beberapa gelas dan dua cup pudding kopi segera menyusul,  sebelum ia  duduk di samping Emilie.

"Saya nggak tahu, kalau Oom bisa masak. Dan bukannya seharusnya Oom masih harus di Jepang sampai akhir pekan?"

Emilie menyesap jus buah naga yang dituang Lucas ke dalam gelas tinggi. Pria itu sendiri biasanya menikmati steak larut malamnya dengan segelas chardonnay atau Sauvignon Blanc, mengingat Emilie sedang berada di rumahnya, pria itu harus rela dengan jus buah naga bikinan asisten rumah tangganya.

"Saya memutuskan pulang cepat," jawabnya sambil lalu.

Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah, Lucas mendapatkan telepon dari Miki bahwa Emilie masih berada di rumahnya setelah konferensi pers itu. Dan sejak tiba di Jepang beberapa hari yang lalu, pria itu merasa tidak tenang.

Ia ingin segera tiba di Jakarta untuk memastikan bahwa Emilie aman. Rumahnya memang dijaga oleh enam sekuriti dalam tiga shift bergantian.

Dan rumah itu adalah suaka yang akan dan terlindungi. Karena Lucas tidak pernah mengajak perempuan mana pun yang pernah berkencan dengannya ke rumahnya. Lucas hanya menjamu teman kencannya di apartemen.

"Bagaimana konferensi pers itu? "

"Sejauh ini, sepertinya wartawan puas dengan semua jawaban yang saya dan tim PR DREAM."

"Jadi kamu akan mulai syuting lagi?"

"Sebenarnya, seharusnya saya sudah mulai syuting kemarin. Tapi segala tetek bengek ini membuat Mas Jodhi minta saya break. Karena lokasi syuting jadi kemah dadakan para wartawan. Mas Jodhi pusing."

"Seharusnya kamu memang tidak usah syuting lagi. "

Emilie serta merta meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring yang masih tersisa separuh. Tiba- tiba mood nya hilang. Dia paling sebal kalau pekerjaannya dianggap tidak penting. Hanya karena dia mendapatkan peran berkat koneksi, bukan berarti dia bisa seenaknya saja. Dia berjuang supaya tetap bertahan di dunia yang memang dicintainya.

Tapi semua orang dan segala keadaan ini, seperti memukulnya mundur. Emilie meminum air putihnya, sebelum bangkit dan meninggalkan Lucas seorang diri dalam dapur yang  kembali  memberikan kesan dingin begitu Emilie melangkah pergi.

***



Deserve YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang