6. Sebuah Keinginan

42 19 88
                                    

Kereta api memasuki Stasiun Jember di daerah Jemberlor, Patrang. Semua penumpang berangsur turun, termasuk Panji. Ia sudah menelepon adiknya, Pratiwi untuk menjemput. Pulang ke Jember, bagi Panji urusannya bukan hanya mau koas terakhir, tetapi juga ingin berdamai dengan ayahnya, serta mengabarkan soal pertunangannya dengan Amanda.


Tampak, seorang gadis berkaos hijau muda dan celana jeans berdiri di depan bangsal kedatangan penumpang. Dialah Pratiwi, adik Panji satu-satunya. Sekarang dia berkuliah di Universitas Jember, jurusan ekonomi. Cocoklah, untuk meneruskan perusahaan keluarga. Ia bersama Pak Toha, sopir keluarga mereka.

"Mas Panji!" panggil Pratiwi, sambil melambaikan tangan.

Panji pun menghampirinya. "Udah tadi?"

"Barusan aja, kok. Yuk, cepetan pulang!" Pratiwi membantu membawakan tas berisi semacam oleh-oleh gitu. Memasukkannya ke bagasi mobil, berikut dengan tas koper dan tas ranselnya. "Mama bilang, Mas Panji gak boleh mampir-mampir, harus sampai ke rumah."

"Lagian yang mau mampir-mampir tuh siapa? Mas kan juga capek, abis perjalanan jauh." Panji pun masuk ke mobil, di jok tengah bersama sang adik.

Entah sudah berapa tahun tidak pulang. Semenjak pergi bersama Amanda waktu itu, tidak sekali pun ia pernah menginjakkan kaki di kota ini. Bahkan, menghubungi orang rumah pun bisa dibilang jarang. Kalau bukan Pratiwi yang menanyai beberapa teman yang masih berhubungan, mungkin Panji juga tidak tahu bagaimana menghubungi keluarga. Hanya saja, bertahun-tahun bisa berhubungan via telepon dengan sang adik, bukan berarti bisa menghubungi ibu dan ayahnya. Saat itu, Panji belum ingin mengabarkan apapun langsung dari mulutnya.


Sesampainya di rumah yang lokasinya berada di salah satu perumahan elit Jember, mobil berhenti di dalam pagar, sehingga Panji dan Pratiwi bisa turun dulu, juga menurunkan barang-barang bawaan. Belum juga melangkah menuju teras rumah, seorang wanita berusia lebih dari setengah abad keluar, itu Padmi, ibu mereka.

"Panji!!" Padmi tidak sabar menunggu sang anak masuk rumah.

Panji menoleh dan melihat ibunya. Ia langsung menghampiri sang ibu, mencium tangan, dan memeluknya. "Mama!"

Panji memeluknya. "Anak Mama!"

Padmi mengajaknya masuk. Rupanya, Suroso sudah ada di rumah, dan Panji baru menyadari hari sudah sore.

"Papa," sapa Panji.

Suroso terlihat begitu tenang, menyapa kembali putranya, bahkan tidak menolak saat tangannya dicium dan badannya dipeluk. "Sudah pulang, kamu?"

"Ya, Pa. Panji akan koas di salah satu rumah sakit di Jember." Ia menceritakan pada keluarga, kalau sekarang kuliah kedokterannya sudah tahap koas.

"Berapa lama Mas, koasnya?" tanya Pratiwi.

"Tiga bulanan, Wi," jawab Panji.

"Setelah itu balik lagi ke Jakarta?" tanya Pratiwi lagi. Pertanyaan-pertanyaannya seolah mewakili tanya dari kedua orang tua mereka.

"Ya. Kan setelah koas ada ujian sertifikasi, diambil sumpah dokter, trus magang, dapet surat izin praktek, terakhir dilantik." Panji menjelaskan tahapan-tahapan bagi dirinya agar bisa jadi dokter. "Masih panjang perjalanannya."

"Mama bangga dengan apa yang sudah kamu pilih," kata Padmi. "Kamu membuktikan ke kami, kalau kamu bisa menekuninya dengan baik."


Sore itu, Panji segera bebersih badan, lalu beristirahat di kamar lamanya. Merebahkan diri di ranjang. Ia mengambil gawai di saku jaket, melihat wajah Amanda sebagai wallpaper di layar gawainya, ia jadi merasa rindu. Ia menekan nomor gawai sang kekasih. Tidak lama, langsung mendapat jawaban.

Cintaku yang TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang