Panji berencana pergi ke rumah Amanda, memeriksa kondisinya. Ia juga membawa peralatan medisnya. Dari informasi yang ia dapat dari Litha, semenjak waktu itu, Amanda tidak pernah keluar rumah. Ia tahu, wanita yang sedang hamil tidak boleh stress terlalu lama, dan harus memperhatikan janinnya sendiri. Hari itu, ia diberi tahu Litha, kalau Amanda sendirian di rumahnya. Ia bahkan diberi kode pintu agar bisa langsung masuk kalau ada apa-apa.
Panji tidak mau langsung masuk dan mengejutkan Amanda. Tetapi ketika ia tiba di apartemen tersebut, ia melihat pintunya sudah terbuka. "Manda?" Panggilannya tidak mendapatkan jawaban. Ia terpaksa masuk karena khawatir Amanda akan melakukan sesuatu yang nekat. Seperti dulu... "Manda?" Kemudian, ia melihat secarik kertas di meja dan ditindih dengan gelas. Bertuliskan, Aku nyusul Juna.
Panji langsung disergap perasaan berkecamuk. Inilah Amanda. Saat tenggelam dalam duka yang tidak bisa ditanggungnya, ia akan nekat melakukan sesuatu di luar nalar. Ia segera mencari Amanda ke seluruh isi rumah. Tidak ada. "Manda!" Sekali lagi ia memanggil-manggil nama itu. Masih saja belum ada sahutan.
Kemudian, terdengar suara orang ribut di luar.
"Eh, itu kan perempuan yang tinggal di unit..."
"Iya, iya."
"Dia bukannya artis itu?"
"Yang ditinggal mati tunangannya yang juga artis, kan?"
Dari bisik-bisik tetangga itu, Panji pun tahu di mana Amanda.
Amanda berdiri di atas tembok puncak gedung. Petugas keamanan sudah berusaha memintanya turun dari sana. Orang-orang juga.
"Manda!" Panji datang. "Turun dari sana!"
Amanda menoleh dan melihat luka lamanya juga ikut datang. "Kamu mau nertawain aku juga?"
"Engga, Manda," kata Panji. "Mana mungkin aku nertawain kamu. Aku bahkan ikut berduka bersama kamu."
"Juna nungguin aku di sana," ujar Amanda. Air matanya terus menetes tiada henti. Tangannya menunjuk ke depan, ke udara.
"Ya. Kita ke sana, tapi gak lewat sini," kata Panji. Ia berusaha membujuk Amanda. Tetapi ia siap dengan suntikan penenang. Panji berjalan merambat, mendekati Amanda. "Pegang tangan aku..."
Amanda menggelengkan kepala. "Ini jalannya," katanya.
"Bukan!" tampik Panji. "Bukan lewat sini." Ia pelan-pelan mendekati Amanda, dan gadis yang tengah di bawah pengaruh duka mendalam itu tidak menyadarinya. Sampai... Panji berhasil menariknya, dan mereka sama-sama berguling hingga ke lantai. Panji memakai tubuhnya agar Amanda tidak langsung menyentuh lantai puncak gedung.
Orang-orang tampak lega menyaksikan Amanda berhasil ditolong.
"Lepasin!" Tentu saja Amanda marah. Ia meronta, mendorong-dorong Panji agar melepaskannya. "Lepasin aku!! Aku mau nyusul Juna!"
"Kamu jangan bodoh! Bukan ini yang diinginkan Arjuna!" Panji terus memeluknya kuat-kuat, agar tidak sampai lepas lagi.
"Lepasin aku!!" Amanda masih berontak, tetapi tubuhnya berangsur lemah, karena suntikan obat penenang untuknya baru bekerja. Gadis itu pun tidak sadarkan diri.
Panji menggendongnya. Membawanya kembali ke apartemen. Tepat, ketika Vero dan Litha datang.
"Gimana kondisinya?" tanya Litha.
"Mestinya gak gue tinggalin sendiri," sesal Vero.
Panji tidak mengatakan apapun. Ia membaringkan Amanda di ranjang. "Aku gak tahu bagaimana menjelaskannya. Dia syok berat. Dalam setahun, didera syok yang sangat hebat dua kali. Ini semua aku yang salah. Andaikan... andaikan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku yang Terbaik
RomancePanji dan Amanda sudah menjalin cinta sejak SMA. Memutuskan bertunangan saat menginjak dunia kerja. Namun, orang tua Panji tidak setuju dengan hubungan mereka, karena sudah memiliki seorang calon istri untuk Panji, bernama Selma. Demi keinginan ora...