17. Move On

13 1 0
                                    

Malam masih larut. Belum ada tanda-tanda fajar menampakkan dirinya. Kejadian tengah malam itu memang masih membuat siapapun terkejut.

Panji dan Amanda duduk bersama di mini bar mansion itu. Seorang pramutama menyajikan minuman hangat berupa susu vanila untuk mereka. Menghangatkan badan pada cuaca dingin musim gugur begini.

"Makasih, udah nolong Pak Akshay," ucap Amanda.

"Sudah tugasku sebagai dokter," sahut Panji pelan.

"Mansion semewah ini hanya punya satu kekurangan dari sekian banyak kemewahan yang tampak," ujar Amanda. "Yaitu tim medis."

Panji bingung harus mengobrol apa dengan gadis ini. Badannya lelah. Tetapi tidak ia pedulikan karena terlalu bahagia. Amanda sudah mau lebih ramah kepadanya. "Kamu harus jaga kesehatan." Kalimat itu terdengar begitu monoton.

Amanda menoleh, lantas tersenyum. "Kamu sendiri gimana? Udah ada tanda-tanda akan punya momongan atau gimana?"

Kenapa Amanda menanyakan hal seperti ini? Panji bahkan masih membenci kenyataan bahwa dirinya menikah dengan orang lain. "Hal itu gak akan pernah terjadi. Aku gak mau punya anak dari perempuan yang keberadaannya aja gak pernah aku anggap." Jawaban tegas dari Panji ini keluar begitu saja dari mulutnya.

"Kamu gak boleh begitu," ucap Amanda. "Dia gak bersalah. Takdir melibatkan dia dalam kehidupan kita. Sehingga apa yang kita rencanakan berakhir dengan kegagalan. Kamu belum mengenalnya dengan baik, makanya kamu bersikap demikian. Mungkin dia lebih baik dari aku."

"Manda, bukan gitu konsep mencintai seseorang, 'kan? Aku memilih kamu, bukan karena sifat atau sikap kamu. Tetapi karena itu kamu. Kamu." Panji tidak tahan dengan semua nasehat baik Amanda.

"Kamu harus bisa move on," pungkas Amanda. "Kayak aku." Ia menyeruput susunya yang sudah lebih hangat.

Panji malah mencebik. "Selama ini, aku melihat tayangan gosip tentang kamu. Aku kenal kamu luar dalam, Manda. Aku hafal dengan setiap tatapan mata kamu. Saat kamu bersungguh-sungguh, atau sedang pura-pura. Aku bahkan bisa membedakan saat kamu berakting atau sungguhan. Kamu memanfaatkan mereka semua untuk menutupi kegagalan hati kamu mengikhlaskan semua ini."

"Kamu jangan sok tahu, Panji!" cebik Amanda. "Aku tadinya mau kita berteman biasa dan melupakan semuanya. Meski pun kita pernah dekat, setidaknya mantan yang paling menyakitkan pun tidak melulu jadi musuh. Kayaknya, perkiraanku salah." Ia bangkit dari duduknya, hendak meninggalkan pria itu.

Panji ikut berdiri, dan menarik pelan lengan Amanda. "Manda..."

"Lepasin!" Amanda melepaskan diri dari Panji, dan secepat mungkin meninggalkannya.


Memang benar, hanya Panji yang bisa mengenali Amanda sejauh itu. Semua kata-kata pria itu tidak satu pun yang keliru. Amanda hanya tidak ingin menjadikan perpisahan sebagai alasan permusuhan. Bagaimana pun, mereka pernah saling mengisi dalam kehidupan ini.


Keesokan harinya.

Semua pramutama berkumpul di beranda untuk menyambut kedatangan aktor pemeran utama film ini, yaitu Arjuna Yudhistira. Juna, begitu ia disapa, datang bersama manajernya, Bustomi dan asistennya Clara.

Karena Pak Akshay sakit, maka penyambutan diwakilkan oleh putrinya Aishwarya dan sang suami Sameer.

"Ya, saya udah dengar kabar tentang Pak Akshay," kata Arjuna memahami situasinya dengan baik. "Demi Pak Akshay yang udah sangat baik dan perhatian ke kami semua, kami akan memberikan yang terbaik dalam film ini."

Mereka berada di ruang makan lantai dua, khusus tamu VIP seperti para pemeran utama, sutradara, dan keluarga Akshay.

Arjuna melihat di salah satu sisi meja ada Amanda Syailendra, yang akan menjadi lawan mainnya kali ini. Ini pertama kalinya mereka bekerja sama dalam satu judul. Tidak tanggung-tanggung, proyek film besar. Pria itu berjalan menghampiri Amanda.

Cintaku yang TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang