15. Turut Campur Semesta (?)

10 1 0
                                    

Beberapa hari sebelumnya.


Panji menemui kepala rumah sakit, yaitu dokter Teriawan, seusai menangani pasien kecelakaan di UGD. "Bapak manggil saya?"

"Ya. Silakan masuk, dokter Panji!" sambut Teriawan. Ia mempersilakan Panji duduk pada kursi di hadapannya.

Panji sangat jarang dipanggil begini, kecuali ada masalah-masalah penting, seperti persiapan untuk pasien VIP. Selain hal seperti itu, hampir tidak pernah. "Ada masalah apa ya, Pak?"

"Gak ada masalah yang serius, kok. Hanya aja, saya mau menugaskan kamu di luar rumah sakit." Teriawan memberikan informasi. "Sebuah rumah produksi akan bertolak ke Amerika Serikat akhir pekan ini untuk syuting film action. Mereka mempercayakan rumah sakit kita untuk memimpin tim medis. Biasalah, action gitu, pasti butuh tim medis kalau ada yang kecelakaan dan sampai terluka. Saya mempercayakan tugas ini ke kamu. Kamu bisa bawa satu asisten dokter dan satu orang perawat."

Rumah produksi? Film? Sesungguhnya Panji tidak yakin, apakah akan menerima tugas ini. Ia sempat tercenung. Sampai dokter Teriawan mengejutkannya kembali.

"Ada aktor idola anak saya nih," kata si dokter senior itu. "Itu loh, Arjuna Yudhistira. Aktor muda yang lagi naik daun itu. Ya kali aja nanti kamu bisa mintakan tanda tangan dia. Buat kado ulang tahun anak saya."

Sebenarnya, pergi sejauh mungkin dari sisi orang yang paling tidak disukainya adalah cara yang terbaik untuk menghirup udara segar. Siapa lagi kalau bukan Selma. "Baik, Pak. Saya bersedia."


Sepulangnya dari rumah sakit, Panji segera berkemas. Memasukkan beberapa pakaian dan perbekalan untuk di Amerika selama kurang lebih satu bulan. Ia membawa beberapa benda yang sekiranya tidak usah beli lagi di sana, seperti peralatan mandi dan aksesoris khas lelaki. Juga stetoskop kesayangannya. Melihat benda itu, ia teringat sebuah kenangan beberapa tahun lalu, saat dirinya baru dilantik jadi dokter.


Sebuah kotak kado tergeletak di atas meja makan. Masih berbalut kertas berwarna biru muda, dengan pita biru dongker. Ada sebuah kertas memo di atasnya. "Untuk dokter ganteng kesayanganku". Diakhiri dengan simbol hati.

Panji membuka kado tersebut, dan isinya adalah stetoskop ini.

Tidak disangka, si pemberi kado, yaitu Amanda sudah berdiri di belakangnya. "Kamu suka kadonya?"

Panji tersenyum, dan berbalik. Melihat kekasihnya begitu cantik, walau hanya mengenakan piyama. "Aku suka banget," jawabnya, seraya menyambut gadis itu yang kemudian menghambur ke arahnya, memeluknya.

"Aku gak tahu mau kasih hadiah apa buat pelantikan kamu. Apalagi aku tadi gak bisa dateng karena jadwal syuting gak bisa diganti." Amanda bermanja-manja dalam pelukan kekasihnya.

"Padahal gak papa, loh," kata Panji. "Kita sama-sama tahu kesibukan kita. Misalnya kamu akan menerima penghargaan aktris terbaik, trus kebarengan aku ada jadwal operasi, gimana?"

"Kan nerima penghargaan bisa berkali-kali. Tapi kamu dilantik jadi dokter pertama kali, hanya satu kali. Sumpah, aku nyesel banget, Yang." Amanda memang terdengar sedih.

"Beneran gak papa, Sayang." Panji menatap Amanda. "Cinta kita itu gak terbatas dengan formalitas hal-hal yang mewajibkan hadir di acara-acara yang bersifat pertama kali, kan? Meski pun kamu hanya hadir suara lewat telepon, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Karena aku tahu, bahwa kita masih memiliki waktu seumur hidup ini untuk saling menemani dalam suka dan duka."

Tiba-tiba Amanda tertawa pelan. "Kamu kedengeran kayak pujangga, deh. Udah mulai pinter nih, menata kata-kata romantisnya."

"Aku serius, lah." Pada akhirnya Panji tertawa juga.

Cintaku yang TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang