3. Saling Mendukung

96 48 238
                                    

Hari menjelang siang, saat Amanda membantu Panji membersihkan rumah kontrakannya. Rumah yang memang tidak terlalu besar, tetapi nyaman ditinggali. Tidak begitu kotor juga, karena penghuni sebelumnya rajin bebersih. Perabotan penting seperti kasur, peralatan dapur, dan sofa untuk ruang tamu memang sudah disiapkan oleh pemilik kontrakan, yang tidak lain adalah Puspa, budenya Amanda.

Saat sibuk bersih-bersih itu, Puspa datang. "Manda, Panji, gimana? Suka dengan tempatnya?"

"Tempatnya bagus, Bude," jawab Panji. "Lebih dari bagus malah. Terima kasih."

"Oh ya, nanti air dan listrik, kamu usaha sendiri. Soalnya, meteran di sini beda dengan yang di rumah. Pengontrak yang lain juga gitu." Rupanya Puspa datang untuk membahas hal itu. Dia memang tidak meminta Panji membayar kontrakan, karena sudah menganggapnya keluarga.

"Baik, Bude," kata Panji lagi. "Gak papa. Nanti sambil kuliah, saya juga akan cari kerjaan sampingan." Rencana Panji ini baru banget diketahui oleh Amanda. Memang ada hal yang tidak dia ceritakan pada sang kekasih.

"Ya sudah," ucap Puspa. "Gimana nyamannya saja. Kalau butuh motor, bisa pakai punya Gibran. Udah sajarang dipakai juga itu motor, karena si Gibran lebih sibuk kerja bareng papanya." Puspa sangat baik, sampai sejoli itu tidak tahu harus mengatakan apa sebagai bentuk rasa terima kasih mereka. "Yo wis, silakan dilanjut," kata Puspa seraya pamit kembali ke rumah.

Setelah Puspa menghilang di ujung gang yang memang merupakan tikungan menuju ke rumahnya, barulah Amanda ingin memuaskan rasa ingin tahunya. "Yank, kamu mau cari kerja sampingan itu, maksudnya gimana?" Ia sangat tahu kemampuan finansial keluarga Panji.

Panji sendiri sudah bisa menduga kalau Amanda pasti akan bertanya soal ini. Seharusnya tadi ia tidak mengungkapkan rencana itu pada Puspa. "Em, gimana ceritanya, ya?" Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Ceritain apa yang perlu aku tahu, sekarang," pinta Amanda, dengan kedua tangan menyilang di depan dada. "Aku gak mau jadi orang yang bodoh dengan gak tahu kesulitan yang dihadapi pacarnya."

"Oke, aku ceritain," kata Panji. "Duduk dulu." Ia mengajak gadis itu duduk bersama di satu sofa panjang yang hanya muat dua orang. "Sebenernya aku itu... kabur dari rumah, ikut kamu ke Jakarta."

Amanda terkejut mendengarnya. "Kenapa harus kabur? Kenapa kamu gak cerita dari sebelum-sebelumnya?"

"Papaku itu inginnya aku sekolah bisnis ke luar negeri," beber Panji, mulai menceritakan. "Tapi aku gak mau. Karena aku gak ingin jauh dari kamu."

"Astaga, Yank!" pekik Amanda. "Luar negeri, kan kamu masih bisa pulang. Emangnya kamu takut kegaet bule di sana, apa?" Ia tidak habis pikir dengan alasan Panji. Tidak masuk akal, menentang orang tua hanya demi pacarnya. Bila gadis lain, mungkin akan tersanjung mendengarnya, namun tidak bagi Amanda. Ia tidak suka menjadi penghalang bagi orang lain.

"Ya bukan hanya itu," lanjut Panji, sembari membela diri. "Aku emang gak ingin sekolah bisnis. Kamu 'kan tahu, aku ingin jadi dokter. Nilai pelajaranku di kelas IPA selama ini, aku dapat dari belajar sungguh-sungguh, karena ingin meraih cita-citaku."

Amanda menghela napas panjang, mulai memahami permasalahan yang disimpan Panji.

"Mama ngasih uang buat aku kuliah, juga hidup di Jakarta," lanjut Panji. "Tapi kalau gak cari kerja sampingan, aku dapat pemasukan dari mana, coba? Kontrakan dan seisinya ini, 'kan juga butuh biaya." Apa yang Panji katakan memang ada benarnya.

Amanda pun tidak lagi mempermasalahkan rencana Panji ke depannya seperti apa. "Aku juga rencananya ingin cari kerja sampingan," ungkapnya. "Aku gak ingin terus-terusan merepotkan keluarga Bude." Ia lantas memegang tangan Panji. "Yang penting sekarang, kita harus kuliah yang bener. Belajar sungguh-sungguh. Kalau kamu udah sukses jadi dokter, aku yakin, papa kamu akan ikut bangga. Jangan sia-siain kesempatan yang dibuka oleh mama kamu."

Cintaku yang TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang