Setelah beberapa hari rawat inap, dan memastikan Amanda baik-baik saja, dokter Iqbal mengizinkannya pulang, untuk menjalani rawat jalan di rumah. Dokter Iqbal berpesan berulang kali pada Panji, kalau untuk sementara ini Amanda tidak boleh mengalami tekanan mental dulu. Jangan memberinya masalah-masalah yang berat. "Lo tahu kan, akibatnya apa?"
"Iya, gue tahu," kata Panji.
Hari itu, Panji membawa Amanda pulang ke apartemen yang sudah bersih dan rapi, berkat Vero yang mengatur.
"Yank, aku boleh makan rujak manis, gak?" tanya Amanda.
"Belum boleh, Sayang," jawab Panji. "Kamu baru keluar dari rumah sakit. Makan yang healthy food dulu gitu. Aku bikinin salad buah aja, ya?"
"Ya, Pak Dokter. Pasien nurut." Amanda begitu terlihat manja hari ini. Ia membiarkan Panji membantunya berbaring di tempat tidur.
"Kamu istirahatlah." Panji membetulkan selimut.
Amanda menarik tangan Panji. "Yank..."
"Hm?" Panji menoleh.
"Jangan tinggalin aku," kata Amanda.
Panji pun duduk di sisi tempat tidur. Memegang tangan Amanda. Ia menatap sepasang mata indah yang penuh harapan itu. "Aku gak akan pernah ninggalin kamu."
"Janji?" Amanda meminta Panji berjanji.
"Janji," ucap Panji tanpa keraguan sedikit pun. Ia menemani Amanda sampai tidur. Tidak sadar, dirinya juga tertudur sembari memeluknya. Memeluk Amanda, bagaikan memeluk masa depannya yang hampir hilang, namun masih dalam genggaman.
Selma bagaikan unta yang kehausan di gurun pasir. Ia tidak tahu bagaimana menjalankan pernikahan semacam ini. Ia ingat, beberapa tahun sebelum pernikahan terjadi. Dirinya masih berkuliah di Universitas Muhammadiyah Jember, mengambil fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Ia berencana menjadi guru di sebuah sekolah madrasah tsanawiyah negeri. Selesai wisuda, barulah orang tuanya memberi tahukan sesuatu.
"Bapak dan ibu sudah mempunyai pilihan untuk calon suamimu, Selma," kata Salamah, sang ibu.
Selma hanya diam. Sebagai anak, ia harus menuruti apa yang diinginkan orang tua. Baginya, hal tersebut merupakan bentuk bakti.
"Bukankah selama ini kamu memasrahkan pada kami tentang calon suamimu?" Burhan, ayahnya mengingatkan prinsip yang selalu dipegang Selma selama ini. Ia yang tidak pernah berpacaran, jika ditanya kapan menikah, jawabannya selalu menunggu pilihan orang tua.
Menurut cerita ibunya, lelaki yang akan menjadi calon suami Selma, adalah anak dari sahabat baiknya semasa muda. Mereka sudah sepakat menjodohkan anak-anak mereka, semenjak masih dalam kandungan. Maka, semakin menurutlah Selma pada keinginan orang tuanya. Baginya, membahagiakan kedua orang tua adalah segalanya. Tidak ada keraguan sedikit pun bagi Selma menerima perjodohan ini. Ia meyakini, semua sudah ditakdirkan Tuhan.
Semenjak pergi waktu itu, Panji belum pernah pulang ke rumah. Selma pun berinisiatif pergi ke rumah sakit tempatnya bekerja. Ia tahu rumah sakit itu, setelah menemukan alamatnya di beberapa dokumen yang ada di meja kerja. Sambil menenteng sebuah tas berisi kotak makan yang mengemas risoles buatannya, Selma mendatangi meja resepsionis.
"Mbak, saya ingin bertemu dengan dokter Panji," kata Selma.
"Dokter Panji Setiawan dari poli umum ya, Mbak?" Petugas itu memastikan yang dicari Selma.
"Bener, Mbak," kata Selma lagi.
"Saat ini dokter Panji sedang ambil cuti satu minggu," kata petugas itu, setelah memeriksa daftar kehadiran dokter pada komputernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku yang Terbaik
RomancePanji dan Amanda sudah menjalin cinta sejak SMA. Memutuskan bertunangan saat menginjak dunia kerja. Namun, orang tua Panji tidak setuju dengan hubungan mereka, karena sudah memiliki seorang calon istri untuk Panji, bernama Selma. Demi keinginan ora...