33. Keputusan Paling Berat

52 1 1
                                    

Padmi bergeming saat Panji membawa Amanda meninggalkan rumah itu. Pratiwi sibuk membujuk kakaknya agar mengalah.

Panji jadi emosi mendengar cara Pratiwi membujuknya. Setelah membantu Amanda duduk di jok depan mobil, ia menjawab semua bujukan adiknya. "Maksudmu mengalah dengan cara apa? Meninggalkan Amanda? Seperti yang Mama mau?" Panji mantap mengatakan, "Gak akan pernah!"

"Mas, bukan gitu maksud aku. Diomongin baik-baik sama Mama. Jangan pake emosi seperti ini." Pratwisi masih bersikeras membujuk kakaknya.

Di dalam mobil, yang tertutup, meski tidak mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut mereka, Amanda bisa melihat, adu mulut yang tampak dari urat-urat leher mereka yang menyembul. Kenapa jadi seperti ini? Kalau saja tidak memikirkan bayi yang dikandungnya, ia pasti sudah keluar dan ikut ribut. Ia hanya bisa menangis. Buru-buru dihapusnya air mata, ketika Panji masuk ke mobil. Mereka meninggalkan rumah itu, membawa impian lain setelah meneteskan tangis seorang ibu.


Asrama dokter.

Ada sebuah kamar kosong, yang dulu pernah ditinggali Panji. Sampai sekarang, Panji masih sering menggunakannya saat butuh tempat istirahat setelah bekerja seharian. Tempatnya bersih.

"Mulai sekarang, kita tinggal di sini," kata Panji.

Melihat tempat yang kecil itu, Amanda sedih. Ia tidak bisa menawari Panji untuk tinggal di apartemen lamanya. Belum lagi jika ketahuan wartawan. Amanda menggangguk. "Deket sama rumah sakit, aku lebih tenang." Ia tidak memperlihatkan kesedihannya.

Tetapi, Amanda harus melakukan sesuatu, setidaknya meski bukan sekarang.


Waktu berlalu.

Hubungan Panji dan ibunya semakin asing.

Selama tinggal di asrama dokter, Amanda tidak pernah keluar dari sana, selain untuk check up kehamilannya yang semakin besar. Bahkan mereka sudah tiga bulan lebih tidak pernah bertemu dengan Selma, yang kini dijaga oleh Pratiwi selama masa kehamilan.


Sampai pada suatu ketika.

Amanda lebih dulu merasakan tanda-tanda menjelang persalinan. Saat itu, Panji tengah bertugas di rumah sakit. Dengan seluruh kesakitan di perutnya, dan air ketuban yang telah pecah membasahi setiap jengkal lantai yang dipijaknya, ia melangkah keluar dari tempat tinggalnya. Ketika berhasil membuka pintu, seorang dokter yang tinggal bertetangga dengannya melihat kejadian itu.

Amanda segera dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang bersalin. Yang tahu kalau dia istri Panji, langsung mengabarkan hal ini pada sang dokter.


Pada saat yang sama, Selma juga merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Pratiwi yang belum pernah menghadapi orang bersalin, berusaha untuk tidak panik. Ia segera menelepon ambulans, yang datang beberapa menit kemudian.

Sesampainya di rumah sakit, Selma dibawa ke unit bersalin, dan di sanalah ia bertemu dengan kakaknya, Panji.

"Mbak Amanda juga lahiran?" tanya Pratiwi.

"Ya," jawab Panji. "Selma juga?"

"Iya, Mas." Pratiwi masih terlihat cemas.

"Kamu tenang aja. Para bidan di sini hebat-hebat, kok." Panji hanya mengkhawatirkan Amanda, meski yang akan lahir bukanlah darah dagingnya.


Selma mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha mengeluarkan bayi dalam rahimnya. Tidak ada suami yang mendampingi, tetapi ia tidak boleh menyerah. Hingga pukul tujuh malam, akhirnya sang bayi pun lahir ke dunia. Tangisnya mengundang perasaan lega.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cintaku yang TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang