12. Kotak Pandora

18 2 1
                                    

Pukul sepuluh malam, di hari yang sama.

Kamar rumah sakit kelas VIP itu terasa dingin karena embusan udara dari AC. Seorang pria berjas dokter tertidur di sisi ranjang, sambil memegang tangan pasien yang tengah terbaring dengan mata terpejam.

Kemudian, "Pan...ji..."

Dokter muda itu terbangun. Ia melihat Amanda membuka matanya. "Sayang?"

"A-aku di mana?" tanya Amanda.

"Kamu di rumah sakit, Sayang. Tadi pagi kamu pingsan. Litha yang bawa ke sini." Panji menceritakan kejadiannya.

Amanda pun teringat. Pagi tadi ia merasakan kepalanya yang sangat sakit. "Sayang, aku sakit apa, sih?" tanyanya.

"Kamu hanya kecapean dan stress karena pekerjaan," jawab Panji, lagi-lagi berbohong.

"Aku bisa mati?" Amanda bertanya demikian, karena sakit di kepalanya tadi sangat tidak biasa.

Panji tersenyum. Ia lantas memeluk Amanda. "Engga, dong. Kamu pasti akan pulilh kembali, asal, seperti yang biasanya aku bilang, jangan terlalu banyak mikir. Gak boleh stress."


Di luar kamar, sebenarnya ada Selma. Ia penasaran karena malam itu Panji tidak juga pulang. Setelah mendapat informasi dari petugas resepsionis, barulah ia tahu, kalau Panji berada di kamar ini, menemani pasien. Pasiennya itu adalah Amanda. Ia mendengarkan apa yang mereka berdua bicarakan di dalam. Dan ia masih saja menyimak apa saja yang terjadi di dalam kamar itu.


"Panji maaf ya, pasti tadi aku udah bikin kamu khawatir," kata Amanda.

Panji tersenyum. "Wajar kalau aku khawatir. Kamu 'kan tunangan aku. Perempuan yang paling aku cintai di dunia ini."

"Aku juga mencintai kamu. Selama ini, kita hidup bersama, saling sayang, saling cinta, dan peduli satu sama lain. Aku gak bisa bayangin, apa jadinya aku kalau tanpa kamu, Panji." Amanda menyandarkan kepalanya di pundak Panji.

"Kamu gak akan pernah hidup tanpa aku," tegas Panji penuh janji. "Aku selalu ada buat kamu. Mencintai kamu, dari dulu sampai selamanya." Lalu, ia membantu Amanda berbaring lagi. "Tidur lagi, ya."

Amanda mengangguk. Kemudian, ia memegang tangan Panji. "Temenin aku..."

Panji tidak menolak. Ia melepaskan jas dokternya, dan menaruhnya di kursi. Lalu ikut berbaring di samping Amanda, memeluknya erat.

"Yank," panggil Amanda lirih.

"Hm?" sahut Panji pelan.

"Aku itu udah gak punya siapa-siapa lagi, selain keluarga Bude Puspa, dan kamu..." Tiba-tiba Amanda bicara soal takdir hidupnya. "Aku gak pernah ngebayangin kalau suatu hari hidup tanpa kamu."

"Itu gak akan pernah terjadi, Sayang," kata Panji, sembari mendekap erat Amanda, dengan seluruh cintanya.

"Ya. Aku juga berharap demikian." Sebenarnya Amanda ingat, kenapa dirinya sampai sakit kepala dan pingsan. Sekelebat memori yang belum pernah ia alami--sepertinya.

"Udah, jangan mikir yang aneh-aneh," kata Panji menegurnya. "Tidur, yuk."

Amanda mengangguk. Ia seperti seorang anak perempuan yang memeluk erat ayahnya saat tidur. Baginya, posisi Panji di hatinya sudah sepenting itu.


Selma pulang dengan perasaan yang sangat sedih. Ia hancur. Apakah dirinya sudah jatuh cinta pada Panji--suaminya sendiri, sehingga merasa begitu pedih menyaksikan suaminya bermesra dengan wanita lain? Bisa jadi demikian. Ia begitu sakit, membayangkan seorang pria beristri dan seorang wanita yang bukan muhrimnya, tidur berpelukan di satu ranjang, entah apa saja yang bisa mereka lakukan untuk menabrak norma. Berzina? Ia lantas memutuskan sesuatu.

Cintaku yang TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang