"Sebelum membaca, absen dulu disini!"
Maaf ya teman-teman, aku baru update sekarang. Ada sesuatu yang bikin aku nggak bisa update dulu beberapa hari terakhir, aku minta maaf yaa. Makasih yang udah nunggu.
Guys, please bantu aku dengan vote setiap chapter yaa. Aku minta tolong.
Tolong penuhi komentar di setiap paragraf. Juga vote yang gratis di pojok kiri bawah. Don't be siders. Kalau kalian aktif, aku juga akan aktif update.
• Selamat Membaca •
•••
"Bunda, maaf."
Setelah berhari-hari tak pernah lagi mengeluarkan suaranya, hari ini Arini akhirnya kembali berbicara. Menatap penuh rasa bersalah pada sang Bunda yang hanya menatap kosong ke depan.
Saat ini terhitung dua hari setelah kepala keluarga itu di kebumikan, Ibu dan anak itu hanya diam-diaman di rumah orangtuanya Arini. Sejak itu, mereka tak lagi bertukar sapa, berbicara pun tidak. Hanya terus merenungi kepergian pahlawan mereka.
Kondisi berduka jelas masih melanda mereka yang baru ditinggalkan.
"Pembunuh."
Lirihan sang Bunda kontan membuat Arini mengerjapkan matanya beberapa kali dengan posisi kepalanya yang memang sedari awal tertunduk menatap lantai.
Arini dengan ragu-ragu mengangkat kepalanya. Terlihat linglung karena balasan ucapan dari Bundanya jelas tak pernah ada di bayangannya.
Rasanya...
Aneh.
"Bunda, aku mau jelasin—"
"Diam, kamu."
Arini terdiam ditempatnya setelah ucapan dingin yang berasal dari Bundanya itu terdengar tajam. Cewek itu menolehkan kepalanya menatap sang Bunda, Sandira namanya, yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Dasar nggak tau malu. Dateng-dateng kamu ke sini, sok-sokan nangis-nangis, padahal gara-gara kamu suami saya meninggal. Kamu nggak punya malu?"
DEG
Arini tersentak ditempatnya. Menatap tak percaya dengan ucapan yang baru saja didengarnya dari mulut orang yang melahirkannya.
Ucapan itu terdengar asing.
Benar-benar asing, sampai Arini tak berani untuk kembali berbicara, sekedar untuk membela dirinya yang walaupun banyak salahnya.
"Astaga. Entah salah apa saya sama kamu. Apa salah saya ngedidik kamu. Kamu sampai sebesar ini, tapi ini balasan kamu sebagai anak?" Sandira menatap penuh amarah pada Arini yang matanya kini sudah berkaca-kaca di sana.
"Bunda larang kamu waktu kamu minta ngekos, karena Bunda tau kamu masih belum bisa jaga diri. Bunda udah punya firasat nggak enak waktu itu. Tapi kamu kekeh bilang bisa jaga diri," tutur Sandira menatap sendu anak perempuan satu-satunya itu.
"Terus ini maksudnya apa, Arini?" lirih Sandira amat pelan.
Arini dengan cepat menghapus air matanya yang sudah turun setelah mendengar kalimat yang membuatnya sakit hati mendengarnya.
Rasanya ada jarum yang menancap di hatinya. Sakit yang rasanya dirinya ingin menghilang saat ini juga.
"Bunda, ceritanya pan—"
"Keluar!"
Arini terkesiap. Menoleh tak percaya pada tangan sang Bunda yang menunjuk arah pintu keluar yang memang sedang terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGAZ
Teen FictionUPDATE SETIAP HARI! [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!] Find me on Instagram @yeremisaragih WARNING⚠️ Mengandung adegan dewasa serta bahasa yang kotor dan frontal! _____ "Karena tenang nggak harus mati." Arini tidak tahu, lebih tepatnya tidak sadar, kala...