2. His Lies Were The Beginning

13.1K 474 184
                                    

"Sebelum membaca, absen pakai tanggal lahir kamu!"

• Selamat Membaca •

•••

"Iya Bun, ini masih di sekolah, bentar lagi pulang."

"Iya, bentar lagi bel."

"Sama Elena sama Jemi dong."

"Iya, Bunda. Bunda juga jaga kesehatan, salam sama Ayah ya. Dah, Bunda."

Percakapan melalui telepon itu berakhir dengan Arini yang tertawa ringan. Sekitar lima menit yang lalu, guru terakhir yang mengajar di kelas mereka sudah keluar. Sebelum keluar, beliau berpesan jangan pulang dulu tunggu bel pulang berbunyi, membuat kelas 12 IPS 3 terdengar berisik saat ini.

"Duh, aku mah apa 'atuh, yang nggak pernah di telepon sama ibu," celetuk Jemi menggoda Arini yang malah melotot mendengarnya.

"Kebiasaan bercanda lo gelap banget. Mau sekalian gue gali kuburan ibu lo buat nyuruh untuk nelpon anaknya?" timpal Elena membuat keduanya yang mendengar tertawa kencang.

Mereka saat ini sedang duduk melingkar di meja Elena dan Arini. Sambil menunggu bel pulang sekolah berbunyi, ketiga orang itu memutuskan untuk mengobrol.

"Tapi gue masih ngakak si sama cerita lo yang nungguin orang boker, padahal lo juga udah kebelet pipis," ucap Jemi dengan tawanya.

"Ya gimana, airnya lagi pada nggak jalan kata tukang bersih-bersih tadi, cuma dua doang yang bisa, mana yang satu lagi kotor banget, bau pesing lagi. Ya udah mending gue nunggu yang lagi make toilet aja," jelas Arini berpura-pura terlihat kesal.

Mereka sedang membicarakan tentang Arini yang tadi izin pergi ke toilet. Mereka tentu bertanya karena Arini memang lumayan lama berada di sana. Dan Arini menjelaskan tentang itu pada mereka. Yang justru malah membuat keduanya tertawa terbahak-bahak.

Arini kembali mengingat kejadian tadi pagi. Saat ia dan Ragaz berada di rumah kosong yang ada di belakang sekolah. Menghela nafas kasar, membuat Elena dan Jemi yang sedang berbicara satu sama lain mengalihkan pandangannya pada Arini.

"Kenapa lo?" tanya Elena.

"Nggak, gue jadi nyesel ceritain itu sama lo berdua. Gue malah diketawain mulu." Arini dengan cepat mengarang jawaban, yang membuat keduanya malah kembali tertawa mendengarnya.

Saat di rumah kosong itu, ia dan Ragaz memang 'bermain' sekitar sepuluh atau lima belas menit, Arini tidak terlalu memperhatikannya, namun Ragaz menepati ucapannya yang berkata bahwa mereka akan 'bermain' dengan cepat.

Setelah selesai, Ragaz hanya mengecup dahi Arini yang masih tertidur di sofa yang terlihat sudah berantakan–bekas 'permainan' mereka, mengucapkan terima kasih, lalu pergi tanpa menunggu Arini. Bahkan membantu untuk membersihkan sisa-sisa persetubuhan mereka pun, tidak.

Arini sempat menangis di sana selama beberapa menit, berkata dalam hati, mengapa sekarang dirinya menjadi seperti ini. Ia dan Ragaz yang sekarang menjadikan persetubuhan mereka menjadi kegiatan yang rutin dilakukan.

Arini lagi-lagi hanya tidak menyadarinya, bahwa semuanya karena Ragaz. Cewek itu hanya terlalu mencintai Ragaz, hingga merasa semua yang Ragaz lakukan semata-mata karena cowok itu begitu mencintainya.

Ia terlanjur terjebak di lingkaran setan itu.

---

"Ayo makan, aku bawa makanan kesukaan kamu tadi sebelum kesini."

Demi mendengar itu, Arini tersenyum senang, dengan cepat melangkahkan kakinya menuju dapur, lalu kembali membawa beberapa piring, mangkuk, dan gelas.

Ragaz baru saja datang ke kosannya Arini. Pukul setengah delapan cowok itu sampai, lalu masuk setelah dipersilahkan oleh sang pacar.

RAGAZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang