6 | Di 'Rumah' Ibu

6 2 0
                                    

Mentari tidak terlalu bersinar siang itu. Justru langit mulai menggelap. Desau angin menerbangkan rambut Kanzia yang sedang berjalan menuju rumah milik ibunya dengan pandangan kosong dan wajah yang terlihat murung.  Itulah yang selalu terjadi saat dirinya datang ke tempat itu.

"Kamu jaga diri baik-baik, Ibu pergi dari sini, ya."

Kalimat itu terus terngiang di tempurung kepalanya apalagi kalimat itu yang sang ibu katakan kala ingin meninggalkan rumah. Di setiap kedipan matanya, ia selalu berharap sang ibu kembali ke rumah, kembali berada di sampingnya, dan kembali memeluk saat dirinya merasa sedih.

Zia berjalan dengan hati-hati karena di sana banyak benda-benda yang bisa saja membuatnya tersandung. Ia terus berpegangan pada tali ransel sambil tersenyum tipis saat tiba di dekat rumah baru sang ibu.

Zia berjongkok. "Ibu, apa kabar?" tanyanya sambil mengusap nisan yang mulai penuh dengan debu , padahal baru minggu kemarin ia datang ke pemakaman umum itu.

"Ibu kangen Zia, nggak?" tanya Zia.Tentu saja dia tidak akan menemukan jawaban dari lawan bicaranya. "Sama, Bu. Zia juga kangen. Banget malah."

Zia terdiam sebentar lalu menunduk. "Zia pengin Ibu ada di samping Zia."

Tanpa sadar, semua kenangan saat Zia kecil kembali terulang bak sebuah film di dalam pikirannya. Ia meneteskan air mata. Bukan hanya kenangan manis yang terulang, kenangan terburuk itu pun kembali terlihat tanpa diperintahkan.

Zia terduduk kemudian memeluk gundukan tanah yang sudah dipenuhi rumput. "Bu, kenapa orang sebaik Ibu dipaksa pergi dari bumi? Ibu tahu, enggak? Zia kangen tidur di pangkuan Ibu, terus Ibu nyanyi sampai Zia ketiduran."

Bersamaan dengan air mata yang kian menetes, Zia tersenyum hambar kemudian kembali berbicara setelah senyumnya memudar. "Makasih, ya, udah jadi Ibu terbaik yang aku miliki."

Zia terdiam sebentar demi mendapat ketenangan setelah tangisnya reda. Namun, bukannya merasa tenang, ia justru merasakan kesedihan yang luar biasa. Ia teringat kejadian tatkala menyaksikan sang ibu yang mengembuskan napas terakhir saat dirinya tak bisa melakukan apa pun untuk menolong nyawa wanita terhebatnya itu.

Hujan turun bersamaan dengan isakan yang keluar dari mulut Zia. Ia tak peduli, ia hanya ingin dekat dan ingin ibunya kembali. Ia juga ingin waktu bisa terulang.

Air hujan kian deras membasahi bumi. Tubuh Zia juga sedikit demi sedikit mulai basah dengan rambut panjang yang masih terurai di atas makam. Mendadak, ia merasakan air hujan itu tidak lagi menetes ke tubuhnya. Karena penasaran dengan penyebab air hujan berhenti menetes, ia terdiam sejenak lalu mendongak.

"Udah lega?"

Di sebelahnya Danu berdiri dengan sebuah payung di tangannya untuk melindungi Zia dari derasnya air hujan.
Gadis itu mengusap air matanya, menghela napas, lalu mengangguk. "Udah."

"Pulang, yuk?" Danu mengulurkan tangannyalalu disambut baik oleh Zia. "Udah, lo nangis mulu dari tadi. Muka lo udah jelek, jangan dibikin jelek lagi karena air mata!" lanjut Danu setelah Zia berdiri dan berjalan beberapa langkah.
Zia tak ingin menanggapi. Ia hanya diam hingga mereka sudah tiba di dalam mobil.

"Lo boleh nangis, kok. Boleh banget, tapi jangan setiap hari juga. Gue enggak suka lihat lo terpuruk cuma karena rindu sama ibu." Danu memakaikan jaket agar tubuh Zia sedikit menghangat. "Lo bisa kok, ngobrol sama bunda, cerita semua kesedihan lo, dan peluk bunda kapan pun yang lo mau. Itu, kan, yang bunda bilang?"

Saat hari pertama ditinggal pergi oleh ibu, bunda Danulah yang tak pernah berhenti memberi Zia semangat dan mengatakan hal itu agar dirinya tidak terlalu merasa kehilangan sosok ibu.
"Maaf," lirih Zia pelan.

*****

Zia memeluk tubuhnya sendiri akibat hujan yang tadi membasahinya. Setelah mengganti pakaian, ia memilih duduk di sofa dengan selimut tebal yang menutupinya.

Sedangkan Danu yang urung pulang, kini sedang membuatkan teh hangat untuk Zia. Hujan sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu, tetapi dirinya masih ingin berada di rumah Zia sampai kesedihan gadis itu hilang.

"Nih, minum!" Danu menyodorkan gelas kemudian duduk di sebelah Zia. "Lo mau cerita?" tanya Danu setelah Zia meneguk dan meletakan gelas itu di atas meja.

Meskipun telah berteman selama sebelas tahun dan tahu tentang masa lalu Zia, tetapi Danu yakin jika banyak hal yang gadis itu sembunyikan. Karena yang ia tahu, Zia benar-benar pintar untuk menutupi lukanya hingga tak terlihat. Ketika mengeluarkan air mata, pasti gadis itu hanya bilang bahwa dirinya merindukan sosok sang ibu.

Namun, Danu tidak pernah percaya sepenuhnya. Ia yakin ada hal yang Zia sembunyikan.

Helaan napas berat terdengar dari bibir Zia, ia menggeleng lalu menjawab, "Enggak."

"Ada yang lo sembunyiin dari gue?" Zia kembali menggeleng hingga membuat Danu berdecak. "Sampai kapan lo mau tutupin luka?"

"Luka apaan? Zia cuma kangen ibu, kok," sergah Zia cepat.

"Enggak capek nanggung beban sendirian?"

"Apa, sih? Udah, deh! Zia mau makan, laper!" balas Zia lalu berjalan menuju lemari makanan yang menyimpan segala stok makanan selama satu bulan. Mulai dari mi instan, bubur instan, dan lain sebagainya. Maklum saja, sang tante hanya berkunjung dan memberikan uang sebulan sekali.

"Sampe kapan, Zi?" gumam Danu.
Danu sibuk dengan pikirannya. Ia memikirkan luka Zia yang tak pernah benar-benar ia tahu. Bahkan gadis itu sama sekali tidak pernah cerita tentang apa pun, terutama tentang penyebab kepergian sang ibu dan kemana ayahnya pergi.

Sembilan tahun yang lalu saat hari di mana Danu melihat tangis Zia, gadis itu hanya mengatakan jika sang ibu sakit tatkala ayahnya meninggalkan rumah tanpa sebab yang pasti.

"Danu?" Zia duduk pada sofa di sebelah cowok itu. "Danu, enggak mau makan?"

Danu menggeleng, menghela napas panjang, merampas cup  Pop Mie di tangan Zia, lalu membuangnya ke wastafel. Karena aksinya itu, Zia merengut kesal karena gagal menyantap mi.

"Ikut gue!" Danu menarik tangan Zia. "Udah berapa kali sih, gue bilangin, jangan suka makan yang instan-instan? Enggak bagus buat kesehatan lo!"

Gadis itu memutar bola mata dengan kesal kemudian mengangguk. "Mau bawa Zia ke mana, sih?"

"Ke rumah gue. Kita makan siang bareng bunda aja."

Mendengar itu, Zia sontak berbinar senang.

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang