38 | Kehilangan Paling Sakral

19 1 0
                                    

Sinar mentari yang masuk lewat sela-sela jendela rumah sakit membuat Zia terbangun dari mimpi indah. Silaunya cahaya itu membuatnya membutuhkan waktu lebih banyak untuk menormalkan penglihatan.

Danu masih terlelap dengan kapala yang ia letakan di atas bangkar seperti biasanya. Tidak tega membangunkan, ia memilih menggerakkan tubuhnya sendiri untuk mengambil segelas air di atas nakas.

Pergerakannya terhenti saat menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah ia duga selama ini. Saat ini, ia dapat merasakan kakinya. Dengan cepat ia menggerakan kaki itu sekali lagi, menurunkannya dan mencoba untuk berdiri.

Seperti inilah cara keajaiban bekerja, hadir disaat kita hampir sampai pada titik keputusasaan. Tercipta dalam bentuk tak terduga, hadir dalam harapan yang hampir pupus. Matanya berbinar, rasa syukur berulang kali ia ucapkan. Kemudian ia membangunkan sahabatnya agar melihat keajaiban yang menghampiri.

"Danu, bangun! Zia bisa berdiri lagi, Zia udah sembuh!"

Danu yang tadi memejamkan mata, kini terbangun ketika mendengar seruan itu. Di depannya, gadis itu memencak kegirangan tepat saat Danu menoleh.
Bahagiapun tak luput dari wajahnya saat melihat keajaiban benar-benar datang pada sahabatnya. Tidak sia-sia doanya selama ini.

"Zia sembuh!" seru gadis itu lagi.
Danu tak mampu mengatakan apapun karena terlalu bahagia, yang dia lakukan adalah meraih tubuh gadis itu dalam pelukan dan megelus rambutnya atas rasa syukur karena perlahan gadisnya akan kembali.

Ia teringat dengan permohonannya malam itu. Ternyata, Tuhan mendengar apa yang ia minta, Tuhan tidak membiarkan gadis itu pergi lebih cepat dari apa yang pernah Danu duga.

"Gue seneng akhirnya lo bisa sembuh," kata Danu setelah gadis itu melepas pelukan.

Matanya berbinar, dari wajahnya terpancar perasaan bahagia yang tak terkira. "Iya! Berarti Zia masih bisa, dong, main papan pump! Zia udah bisa jalan sekarang! Zia udah bisa lari-lari," kata Zia kesenangan. Ia memencak karena terlalu senang.

"Lo bisa ngelakuin apapun sekarang, tapi tetap jaga kesehatan lo. Gue nggak mau lo kenapa-napa lagi. Janji jangan bikin gue khawatir lagi?" Danu mengangkat jari kelingkingnya, berharap Zia meraih.

Dengan gerakan cepat Zia meraih jari itu. "Janji! Boleh dong, Zia minta beli eskrim setiap hari?"

Danu mengangguk. "Pasti."

*****

Sebuah tepukan pada pipinya membuat mata cowok itu bergerak. Ia terlalu malas membuka mata hari ini, teringat semalaman ia tidak tidur karena menjaga Kanzia. Ketika diminta pulang oleh Abas tadi pagi, Danu tidak bisa menolak. Alih-alih beristirahat di dalam kamar, Danu justru menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu.
Semalam ia memilih untuk menjaga Zia tanpa tertidur sedikitpun, meskipun sofa rumah sakit itu begitu menggoda untuk dirinya memejamkan mata.

Tepukan itu terus terjadi, bersamaan dengan suara sang Ibu yang memanggil namanya dan mengatakan kalo teleponnya sudah berbunyi belasan kali. Ia tak ingin peduli, ia hanya ingin tetap terlelap, mengistirahatkan otaknya yang lelah sejenak.

Tak lama, tepukan itu tak terasa lagi. Beberapa menit berlalu dengan nyaman, tetapi, pada menit berikutnya, ia harus terbangun ketika satu nama terucap dari bibir sang ibu.

"Danu bangun, Zia!"

Bukan hanya nama gadis itu yang membuat tubuhnya langsung terangkat dan berlari menuju mobilnya, tetapi juga nada khawatir yang Rida lontarkan. Kalimat itu berhasil membunuh segala kantuk yang menyerang. Dengan kecepatan tinggi, mobil itu melaju menuju rumah sakit.

Ternyata, kesembuhan Zia yang tadi ia saksikan hanyalah sebuah mimpi.

Zia enggak apa-apa.

Operasinya pasti berhasil.

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang