33 | Harapan yang Menggantung

4 1 0
                                    

Tiga jam sudah berlalu sejak gadis itu dilarikan ke rumah sakit. Namun,masih belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan  dan memberi kabar yang mereka harapkan. Segala doa sudah mereka rapalkan demi keselamatan Zia, lagipula tak ada yang lebih hebat dari kekuatan doa. Dokter bahkan tidak bisa melakukan apapun jika Tuhan sudah mengabulkan doa-doa mereka.

Di sana, Danu, Devan, Davin, juga Rina dan Abas duduk sambil menunggu segala keajaiban dengan keadaan yang masih terguncang. Banyak kemungkinan buruk yang mungkin saja akan terjadi pada Zia, apalagi tubuh gadis itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun ketika  mobil itu menabraknya.

Kemungkinan terburuk yang Zia alami adalah gegar otak.

Diantara mereka, Danulah yang paling jatuh pada titik terendah. Bukan hanya karena melihat sahabatnya merasakan sakit untuk yang kesekian kali, tetapi juga karena sang pelaku merupakan gadis lemah lembut yang selama ini ia kenal.

Danu tidak menangis, melainkan menyesali dirinya atas apa yang terjadi. Ia mengusap wajahnya frustrasi karena tidak bisa menyelamatkan Zia-nya. Disesaki kepahitan yang mendalam, Danu berusaha memikirkan hal-hal yang positif, tetapi semua seolah sia-sia saat ditimpa kenyataan yang ada.

Baju yang tadinya basah diguyur hujan kini mulai mengering, begitu juga dengan darah di pelipis yang sama sekali tidak ia pedulikan. Yang paling penting adalah kabar baik tentang keadaan Zia. Itu sudah cukup menyembuhkan segala lukanya.

Davin menoleh, lalu melihat Danu dengan tatapan kasihan. Lantas ia bergerak menuju temannya itu duduk kemudian berujar, "Ganti baju, Nu." Davin bersuara saat melihat kegusaran yang tak kunjung mereda dari wajah sahabatnya. Sama terlukanya, ia pun merasakan kekalutan yang luar biasa ikut menghantuinya. Zia bukan hanya penting bagi Danu tetapi juga baginya.

Sampai kapan Zia harus menahan luka?
Danu menggeleng perlahan. "Gue gagal ngelindungin Zia ...," katanya dengan suara serak. Penyesalan terpancar jelas dari matanya. Danu gagal menyelamatkan gadis yang ia cintai. Ia begitu ingin melindungi gadis itu, tapi jangankan melindungi sekadar membuatnya bahagia saja Danu sudah gagal.

Ia menyesal saat mengingat tindakan Zia yang menyelamatkannya dari tabrakan mobil, dan berakhir tidak sadarkan diri seperti ini.

"Bukan cuma lo. Kita juga gagal ngelindungin Zia." Devan yang tadinya duduk bersandar kini menegakkan tubuhnya. Ia sama terguncangnya dengan Danu. Kejadian itu sangatlah tiba-tiba, ia bahkan tidak sempat menarik tubuh Zia sebelum terpental jauh.

Berbeda dengan kedua temannya, Davin justru bersikap sedikit lebih tenang meski perasaan khawatir masih saja ada. "Lo balik, biar kita yang nungguin Zia di sini. Bunda pasti khawatir sama keadaan lo."

Sejak kejadian tadi, Danu sama sekali belum mengabari sang bunda. Bukan karena apa-apa, dia pasti sudah menebak Rida akan jadi sepanik apa. Jadi, Danu memutuskan untuk mengatakannya setelah mendapat kabar Zia. Sebaik apapun Davin membujuk temannya itu agar pulang, Danu tetap bersikeras untuk tinggal. Ia takut jika saat ia kembali hal buruk justru terjadi. Akhirnya Davin menyerah dan membiarkan Danu tetap tinggal, sementara dia meminta izin untuk kembali ke rumah dan mengabari ibunya atas apa yang terjadi dengan Zia.

Waktu terus berjalan, lorong-lorong rumah sakit itu hanya diisi dengan suara detik jam yang terus bergerak. Tak lama, pintu ruang operasi terbuka menampilkan beberapa perawat yang akan mendorong ranjang Zia.
Perlahan, Danu menyeret kakinya mengikuti langkah para perawat. Wajah pucat Zia semakin mengiris hatinya lebih dalam. Jangankan melihat Zia tidak sadarkan diri seperti ini, sekadar melihat gadis itu bersedih saja sudah mengguncang perasaannya.

Langkahnya terhenti saat pintu ruang ICU itu kembali tertutup. Danu kembali menuju tempat semula. Seorang dokter keluar dengan wajah gusar, membuat Danu mempercepat langkahnya.

"Pasien mengalami retak sumsum tulang belakang. Operasi memang berjalan lancar, tapi kami masih belum bisa memastikan keadaan pasien kedepannya. Jadi, untuk sementara waktu, pasien akan kami bawa ke ruang ICU," kata Dokter tersebut kemudian bergerak pergi setelah mendengar ucapan Rani dan Abas.

Dari banyaknya harapan yang ia terbangkan, satu dari harapan tersebut berhasil dikabulkan Tuhan. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan syukur. Meskipun cedera yang Zia derita cukup serius, tapi setidaknya operasi yang dilakukan dokter berjalan lancar. Dan itu sudah cukup melegakan sedikit perasaan Danu.

"Danu, kamu pulang aja. Om nggak mau kamu ikutan sakit," kata Abas. Danu memang terlihat sangat kacau saat ini, bahkan darah yang mengering masih tersisa di pelipisnya. "Kalian juga pulang aja, malam ini biar Om yang jaga Zia."

Semuanya mengangguk kecuali Danu, cowok itu benar-benar tidak ingin menjauh dari Zia. Ia ingin memastikan bahwa Zianya benar-benar baik-baik saja.

Melihat Danu yang masih ragu, Abas kembali berucap, "Tenang aja, Om pasti langsung kabarin kamu kalo ada apa-apa sama Zia."

*****


Langit berwarna biru cerah saat kepalanya menengadah menghadap langit. Semilir angin yang menggoyangkan ilalang terasa sejuk menyentuh kulit, disaat terik matahari tidak bisa dihindari.

Zia tidur terlentang dengan kepala yang ia letakan diatas pangkuan Azura. Matanya mengikuti pergerakan burung yang berterbangan kesana-kemari. Sebegitu cerianya mereka menikmati ciptaan Tuhan di atas sana.

"Bu, kalo Zia ada di langit, seru kalik, ya," katanya dengan mata yang masih menatap langit luas. "Zia pengen ikut Ibu," lanjutnya lagi.

Azura mengelus rambut anaknya perlahan kemudian tersenyum. "Belum waktunya, Sayang. Kamu masih punya banyak waktu untuk menikmati hidup."

Zia mengeluh mendengar jawaban Azura, ia ingin sekali berada di tempat Ibunya berada. "Tapi Zia capek, Bu. Hidup punya banyak masalah dan Zia nggak suka," katanya lagi. Kali ini tubuhnya ia gerakkan untuk duduk, matanya menatap Azura sendu.

"Tuhan kasih kamu masalah untuk menaikkan derajat kamu nantinya. Tuhan nggak akan kasih masalah diluar kemampuan umatnya. Ibu percaya kamu itu kuat." Azura mengelus pipi Zia.

Helaan napas kecewa terdengar dari bibir Zia. "Zia maunya tinggal sama Ibu, Zia mau di sisi Ibu terus." Zia kembali pada posisinya semula, tidur terlentang dengan kepala yang berada di atas pangkuan sang Ibu.

"Di dunia masih banyak yang sayang sama kamu. Kamu harus bahagia demi mereka dan demi Ibu juga."

"Tapi Zia maunya ikut sama Ibu. Zia mau sama Ibu terus kemanapun Ibu pergi," rengek Zia dengan suara khas miliknya. Kemudian senyum lebar penuh harapan tercetak dari bibirnya.

"Boleh, ya?"

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang