30 | Tembok-tembok Transparan

1 1 0
                                    

Sebulan berlalu sejak kejadian di belakang sekolah, dan selama sebulan itu juga Danu berusaha menghapus Zia dari kehidupannya, melupakan setiap kenangan manis bersama gadis itu, juga mengubur dalam-dalam perasaannya. Namun, setiap kali berusaha melupakan, justru bayangan gadis itulah yang kembali hadir di dalam ingatan.

Tak secepat tumbuhnya perasaan cinta yang hadir lewat tatapan mata lalu menghangatkan, melupakan adalah hal yang berbanding terbalik. Karena melupakan adalah kegiatan yang tidak benar-benar bisa dilakukan dengan setengah hati. Danu memang membenci, tetapi rasa peduli masih ada meski ia berusaha menolak perasaan tersebut.

Dari yang Danu lihat, gadis itu lebih sering menggerai rambutnya, kantung mata yang hadir juga berat badan gadis itu yang terlihat menurun. Kondisi Zia benar-benar buruk setelah kepergiannya.

Ia ingin meruntuhkan segala egonya dan memeluk Kanzia, tapi sarafnya mengkhianati perintah otak dan memilih tetap berada pada egonya.

Kelas sudah sepi saat beberapa menit lalu bel istirahat berbunyi, di kelas itu hanya tersisa Danu dan Zia yang sekarang menenggelamkan kepalanya di dalam lipatan tangan. Danu sadar, banyak hal yang berubah setelah ia memilih pergi dari kehidupan Zia. Ia tidak lagi mendengar nyanyian di balik kamar Zia, tidak lagi mendengar suara tawa Zia, bahkan ia sama sekali tak pernah melihat gadis itu melengkungkan senyum.

Danu yang memilih pergi, tetapi justru dirinyalah yang merasakan kehilangan yang begitu dalam. Jejak-jejak kenangannya bersama Zia terus terngiang di dalam ingatan. Ia yang memilih pergi, tetapi dia juga yang ingin gadis itu kembali.

Tanpa pikir panjang, tubuhnya bergerak menuju tempat di mana tubuh Zia tertidur pulas. Ia ingin mengucapkan kalimat, 'gue kangen lo, Zi' Namun, lagi-lagi lidahnya sulit untuk mengutarakan kata tersebut. Ada sesuatu yang menahannya untuk berbicara, suatu gumpalan pahit yang tersekat pada tenggorokkannya.

Sadar dengan kedatangan seseorang, gadis itu mendongak. Dengan gerakan pelan ia berdiri tegak, menatap cowok itu dengan sorot yang sangat sulit dijelaskan. Pandangannya seolah kosong, mungkin pikirannya sedang sibuk menjelajahi sebuah ketidakmungkinan.

Mata mereka menyatu, membiarkan bayangan masing-masing masuk ke dalam pandangan mata. Danu mendekat, semakin menipiskan jarak di antara dirinya dan Zia. Namun, sedekat apa pun mereka saat ini, ia menyadari satu hal, bahwa memang ada sebuah tembok transparan yang terbentang tinggi di antara mereka.

Gadis itu menundukkan kepala dengan cepat, karena semakin lama ia menatap, maka semakin melebar pula rasa bersalah yang masih tersisa. Kemudian ia menggeser tubuh Danu pelan agar bisa pergi dari tempat itu.

Zia sadar, bahwa dirinya sudah terlampau jauh mengecewakan sahabatnya. Jangankan tiga temannya, bahkan ia tidak bisa memaafkan diri sendiri. Ia rasa, mereka sudah cukup bahagia tanpa keberadaannya.

*****


"Di dalam ada Zia?" tanya Ayumi saat seseorang baru saja keluar dari kantin. Sudah lama rasanya ia tidak mengobrol dengan gadis itu semenjak kejadian yang terjadi antara Zia dan ketiga sahabatnya.

Gadis itu kembali menutup mulutnya saat melihat Agnes sudah lebih dulu menjawab. Jadi ia putuskan untuk beranjak dari sana.

"Zia nggak ada di dalam," kata Agnes. Tubuhnya ia sandarkan pada pintu kantin dengan tangan yang bersedekap.

"Gue nggak nanya sama lo," kata Ayumi langsung.

Agnes tersenyum sinis sebelum menegakkan tubuhnya. "Gue ada urusan sama lo," katanya lalu menarik Ayumi ke gedung SMP. Ayumi ingin melepaskan cekalan itu, tetapi ia tidak mampu melawan tenaga Agnes yang cukup kuat.

Setelah sampai di sebuah pohon rindang, Agnes melepaskan cekalan tersebut dan menghirup udara segar di sana. Beberapa menit berlalu tanpa penjelasan gadis bermata tajam itu, ia hanya diam menyaksikan setiap kenangan yang pernah tercipta di tempat ini.
"Ada perlu apa lo ngajak gue ke sini?" Ayumi memulai pertanyaan.

Ia menoleh, menatap teman lamanya itu. "Nggak ada, gue cuma kangen sama, lo!" serunya dengan bahu yang ia naikkan sebentar. "Lo inget nggak, sih, ini jadi tempat paling aman buat kita bolos pas SMP?"

Satu hal yang berusaha Ayumi kubur dalam-dalam. Bahwa dia dan Agnes pernah menjalin pertemanan yang cukup akrab. Banyak kenangan yang mereka ciptakan, seperti bolos sekolah bersama, menjahili teman seangkatan maupun adik kelas, hingga tidak mengerjakan PR bersamaan.

Pada masa itu, mereka tidak mempedulikan efek negatif dari apa yang mereka kerjakan sampai pada suatu hari Agnes dikeluarkan dari sekolah saat bertengkar dengan salah satu siswi karena menolong Ayumi. Namun, bukannya memberi pembelaan pada Agnes atas kasus itu, Ayumi justru semakin menjerumuskan Agnes ke dalam jurang. Ayumi mengatakan bahwa memang Agneslah yang bersalah.

Semenjak kejadian itu, Agnes bersumpah akan membenci Ayumi seumur hidupnya. Meski sudah tidak lagi berada pada satu sekolah, tetapi ia tetap mencari tahu tentang apa yang terjadi pada Ayumi. Berharap ada satu hal yang bisa membuatnya membalaskan dendam.

"Tapi, gue enggak nyangka, sih, kalo lo bakal ngelakuin itu ke gue!" Agnes tertawa hambar mengingat kejadian di ruang kepala sekolah. "Gue ngebelain lo, tapi lo malah bikin gue dikeluarin dari sekolah."

"Lo enggak tahu apa alasan gue kenapa ngelakuin itu!" tegas Ayumi. Benar, semua itu dia lakukan atas ancaman dari sang ibu agar tidak lagi berteman dengan Agnes.

"Ayu Sarasmitha!" katanya penuh penekanan. "Sejak kapan ganti nama jadi Ayumi Sarasmitha? Dan kenapa lo malah jadi adik kelas gue?" tangannya bersedekap, ia berjalan memutari Ayumi. Di setiap langkahnya tidak ia lewatkan dengan menatap gadis di depannya dengan penuh kebencian.

"Semenjak kasus pemerkosaan itu?"

Bosan dengan ucapan Agnes yang bertele-tele. "Mau lo apa?" tanya gadis itu langsung dengan ekpresi.

"Gue mau ngehancurin semua rencana lo!" katanya setelah tepat berada di depan Ayumi, matanya menatap tajam teman lamanya itu. "Gue emang bukan temennya Zia, tapi gue bakal ngehancurin rencana lo ke Zia."

Bukannya takut dengan ucapan Agnes, gadis itu justru tertawa penuh kemenangan. "Lo telat, rencana gue udah berjalan. Dan lo tinggal lihat apa yang bakal terjadi ke Zia dan mungkin ke tiga sahabatnya!" katanya kemudian beranjak meninggalkan Agnes di tempatnya.

Agnes diam, mungkin ia memang telat untuk menggagalkan rencananya, tapi setidaknya ia sudah memiliki satu bukti untuk menghancurkan hidup gadis itu. Ia mengeluarkan alat perekam suara dari saku kemejanya kemudian tersenyum.

"Apa yang lo lakuin ke gue, itu yang bakal terjadi ke elo."

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang