Epilog

21 1 0
                                    

Bagi sebagian orang, kepergian adalah hal yang lebih menyakitkan dari rasa sakit apa pun yang pernah mereka terima. Termasuk bagi tiga cowok yang sekarang memejamkan mata di depan sebuah pusara.

Tiga bulan berlalu, kepergian gadis itu masih saja menyisakan luka bagi mereka. Gadis yang pernah menemani setiap mereka melakukan syuting untuk konten Youtube, sekarang berada di dalam dekapan bumi. Namun, hal yang membuat mereka sedikit bisa merasakan tenang ketika berpikir bahwa gadis itu tidak akan berada dalam lukanya lagi.

Selesai berdoa, Danu membuka mata. Yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah nisan hitam dengan nama berwarna gold. Ia mengambil bunga di dalam kantung plastik kemudian menaburnya ke atas gundukan tanah. Perlahan, sedih masih saja menyelimuti meski kejadian itu sudah terlewat beberapa bulan yang lalu.

"Terima kasih udah pernah hadir di hidup gue," katanya kemudian lanjut menaburkan bunga. Ada sedikit nyeri yang tertinggal saat mengatakan kalimat tadi. Sesak menghampiri saat tersadar bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kepergian gadis ini lebih cepat. Sejahat itukah dirinya?

Sedangkan Devan dan Davin yang sudah lebih dulu menaburkan bunga, kini hanya menatap nisan itu sendu. Mereka tak habis pikir, kenapa gadis baik itu memilih untuk pergi lebih cepat.

Seorang gadis menatap mereka bertiga dari kejauhan. Senyum tercetak dari bibirnya, ternyata mereka masih peduli dengan saudaranya.

"Danu! Zia juga mau ikut ketemu Kak Ayumi. Gendong, dong!" seruan gadis yang duduk di kursi roda itu membuat ketiganya menoleh.

Jika biasanya mereka akan berdecak setiap kali Kanzia meminta gendong, tetapi tidak untuk sekarang dan mungkin seterusnya. Keajaiban atas berhasilnya operasi yang Zia lakukan sudah berulang kali membuat mereka bersyukur tanpa henti.

Saat hari di mana Zia melakukan operasi otak, Abas, Devan dan Davin memang sudah menunggu di depan ruangan. Namun, mereka keliru saat melihat suster mendorong brangkar dengan seseorang tertutup kain, apalagi saat melihat Danu terduduk dengan rintihan menyakitkan. Suster dan seseorang itu tidak keluar dari tempat Zia melakukan operasi, melainkan keluar dari ruangan di sebelah.

Saat suster sudah mendorong jenazah ke kamar jenazah, suara pintu terbuka membuat keempatnya menoleh. Dokter keluar dengan kabar baik; operasinya berhasil, Zia hanya butuh beberapa terapi agar bisa kembali berjalan.

Ketika itu, rasa syukur tak henti-hentinya terucap. Hal yang benar-benar tidak pernah mereka duga meski selalu berharap. Ternyata Tuhan lebih mengizinkan Zia tetap berada di samping mereka. Tuhan masih memberi mereka waktu untuk membuat Zia bahagia. Dan nyatanya keajaiban itu benar-benar terjadi.

Danu bergerak untuk menggendong tubuh Zia agar bisa menemui sang kakak; Ayumi Samamitha. Sehari setelah Zia melakukan operasi, mereka mendengar kabar bahwa Ayumi mengembuskan napas terakhirnya di dalam jeruji besi.

Ayumi tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya dan Zia adalah adik dan kakak. Apalagi saat mengingat bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab segala luka Zia. Ia rasa, pergi dari dunia adalah cara paling baik untuk menebus kesalahannya pada sang adik. Tidak ada pilihan lain, ia memilih menggantung dirinya dengan perasaan bersalah dan sakit yang menumpuk di dalam hati.

Zia menunduk, mengelus nisan yang selama ini menjadi milik kakaknya tanpa ia tahu. Seandainya waktu dapat ia putar.

"Kok, Zia bodoh banget, ya, sampe nggak tahu kalo Kak Ayumi itu Kakaknya Zia?" Zia tersenyum miris dengan rasa sedih yang hadir. "Oh, iya, di sana kakak pasti ketemu sama ibu Zia. Ibunya Zia baik, loh, Kakak pasti dijagain!" serunya polos meski setetes air bening jatuh ke udara.

Tangannya bergerak mengambil bunga yang masih tersisa di dalam kantung plastik yang tadi mereka bawa, kemudian menaburkan bunga itu kembali sebelum kembali berucap.

"Yang tenang, ya, Kak. Kakak, kan udah nggak ngerasain sedih lagi."

Terakhir, Zia menutup mata dan merapalkan banyak doa agar Ayumi bisa tenang dengan pilihannya sendiri. Meskipun ia sangat yakin, Tuhan tidak menyukai dengan pilihan yang gadis itu ambil. Ia salah mengambil keputusan, yang Zia tahu, Tuhan tidak akan menerima hamba-Nya yang memutuskan untuk pergi dari dunia sebelum waktunya.

Namun, rasa bersalah dan sakit hati yang tak kunjung reda membuatnya tidak ada pilihan lain. Jika Ayumi tak mampu lagi memohon ampun, maka Zialah yang akan melakukannya demi sang kakak.

"Udah?" tanya Davin.

Zia tersenyum kemudian mengangguk. Tangannya ia angkat ke depan Danu, dengan jari-jari yang ia mainkan, menandakan bahwa dirinya minta digendong lagi.

"Normalnya, gue bakal ngatain lo habis-habisan!" Devan berseru setelah melihat tingkah Zia.

Zia menjulurkan lidah. "Berarti sekarang lagi nggak normal, dong?"

"Sebelas tahun kita temenan, kenapa lo baru sadar kalo otak Devan nggak normal?" Davin terkekeh.

"Ye, enak aja!"

Setelah Danu sudah menggendong gadis itu, mereka melangkah menuju mobil yang sebelumnya mereka parkir tidak jauh dari makam.

Sebelum sampai ke mobil, Zia teringat akan sesuatu yang sempat Devan janjikan. "Oh iya, Dev." Zia menyipitkan mata menatap Devan, "mana es krim Zia?" tanyanya nyaris tanpa suara.

"Es krim?" seru Devan dengan sengaja agar Danu mendengar. "Lupa gue tadi, lo pesen es apa? Magnum?" katanya dengan nada suara yang ia naikkan.

"Lo minta beli es krim?" tanya Danu saat mata Zia sudah melotot ke arah Devan.

"Berisik banget, sih!" desis Zia sebal.

Danu menurunkan tubuh Zia ke kursi roda sebelum berucap, "jawab, Zi."

Tidak mendengar suara gadis itu, akhirnya Davin bersuara demi menjawab pertanyaan Danu. "Iya, dia juga minta ke gue."

Danu mengembuskan napasnya kasar karena sudah berjanji tidak akan marah sampai gadis itu benar-benar pulih. Jadi, ia lebih memilih diam tanpa bersuara sedikit pun hingga sampai ke dalam mobil.

Beginilah bahagianya jika memiliki sahabat yang sudah bersama sejak bertahun-tahun lalu. Mereka bukan hanya hadir sebagai seseorang yang membuat kita tertawa, tetapi juga hadir sebagai orang yang paling peduli.

Zia tersenyum menatap langit. Mengucapkan ribuan terimakasih karena telah menjadi saksi atas segala suka, duka, dan bahagia yang pernah ia rasakan. Juga menjadi saksi atas mereka yang telah datang dan pergi tanpa permisi. Meskipun lebih banyak merasakan luka, ia tidak seharusnya melupakan bahagia. Sekarang, tidak ada alasan untuknya merasa sedih. Sahabatnya tidak akan pernah pergi lagi.

Tamat

*****

Akhirnyaa

Makasih karena sudah bertahan sejauh ini. Siapapun kalian, terimakasih sudah membaca 3DZia: Rasa sampai selesai❤️

Kalian harus nunggu kelanjutan kisah mereka di 3DZia: Kita

Bye bye👋

Salam sayang
~Arinakhai

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang