Danu memasuki rumah dengan langkah gontai, ia tidak menyangka dengan rentetan peristiwa yang dialami oleh gadis yang dia sayangi. Tadi dokter mengatakan bahwa Zia mengalami cedera saraf tulang belakang bagian bawah yang menyebabkan kelumpuhan pada kedua tungkai kaki Zia.
Cowok itu menghempaskan tubuhnya pada sofa di ruang tamu rumahnya. Menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati atas segala kenyataan yang ada. Ia mengacak rambutnya gusar. Danu sudah putus asa. Gadis itu merelakan dirinya demi menyelamatkan Danu, ia menyesali perbuatan Zia yang tidak pernah ia inginkan itu.
Tadi gadis itu melakukan foto rontgen untuk memastikan bagian kepalanya baik-baik saja atau tidak. Danu berharap, kali ini akan ada hal baik yang datang menghampiri gadis itu setelah berbagai hal buruk terjadi. Ia tahu, Tuhan selalu adil.
"Gimana keadaan Zia?" Rida baru saja keluar dari dapur saat melihat anaknya dalam keadaan kacau.
Anaknya menoleh, menatap Rida sendu. "Zia ... lumpuh, Bun," katanya terbata. Mata Rida sontak melebar, ia menutup mulutnya tidak percaya. Dia sudah menjadi saksi betapa pilunya kehidupan anak itu sejak kecil.
Sejak rahasia itu diketahui oleh ayahnya, tak hanya dipukul, gadis itu bahkan pernah dibuang dalam keadaan tidak sadar. Untungnya, ada seseorang yang berbaik hati mengantarkan gadis itu pulang saat ia sadar.
"Bun," panggil Danu saat mengingat satu hal, "aku udah denger tentang rahasia Keluarga Zia, aku juga udah sempat baca isi surat itu," lanjutnya setelah Rida menoleh.
Rida menatap anaknya tanpa ekspresi.
Danu diam sebentar sebelum melanjutkan. "Aku boleh tahu siapa ayah kandung Zia?" Jika Zia tidak kuasa melakukan itu, maka, dia yang akan mencari tau siapa ayah kandung Zia sebenarnya.
Rida membuang muka, tak ingin melihat anaknya dengan sorot memohon. Ia menelan salivanya sebelum benar-benar menunjukkan lembar hasil tes DNA yang ia simpan selama bertahun-tahun. "Ikut Bunda...," kata Rida datar kemudian berdiri.
Mereka berjalan menuju kamar dan berdiri di depan lemari besar milik orang tua Danu. Ia mengernyit tidak mengerti dengan apa yang Ibunya lakukan. Ia hanya ingin sang Ibu mengatakan siapa ayah biologis gadis itu.
Rida menggeser satu kursi kayu yang biasa dia gunakan untuk merias diri di depan kaca. Decitan kursi yang beradu dengan lantai pun mengisi kamar yang sebelumnya hanya diisi oleh kesunyian.
"Sini, aku aja yang manjat, Bun." Sebelah kakinya Danu naikkan ke atas bangku. Namun, Rida menolak niat baik anaknya itu."Bunda aja, nggak apa-apa." Setelah mengatakan itu, ia memanjat sambil tangannya meraba sesuatu di atas lemari.
Danu tak mengerti benda apa yang dicari sang Ibu. Namun, ia yakin, apa pun itu, pasti ada hubungannya dengan pertanyaan yang ia lontarkan tadi.
*****
Zia menoleh saat melihat pintu ruangannya dibuka. Di detik berikutnya orang itu masuk dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan.
Hari ini, Zia sudah mulai membaik. Ia juga sudah bisa menerima keadaannya sendiri, meskipun itu tetap memilukan bagi Danu saat melihat gadis itu hanya bisa duduk di atas brangkar. Cowok itu tidak akan bisa lagi melihat Zia berlari di koridor sekolah demi menghindari kejahilan dua sahabatnya yang lain. Ia tidak akan bisa lagi melihat kelihaian Zia bermain di atas papan pump, pun tidak bisa berjalan beriringan dengan gadisnya.
Senyum ikut tercetak di bibir Zia. selama gadis itu berada di tempat ini, ia seolah kehilangan siapa dirinya, sebab murung selalu menghampiri di setiap waktu dalam harinya.
"Zi, karena Danu udah dateng, kita izin pulang, ya." Davin yang tadinya duduk kini berdiri setelah melihat Danu melangkah masuk.
Devan juga melakukan hal yang sama. "Nanti malam kita balik lagi. Janji kita bakalan nginep."
Zia mengangguk. Sejak semalam, mereka memang belum kembali ke rumah mereka masing-masing. "Hati-hati!" Zia berseru dengan suara pelan.
"Kita balik dulu, Bro!" Davin menepuk bahu Danu sebelum melangkah pergi.
Danu duduk di atas brangkar, berusaha menyamakan posisinya dengan Zia yang terduduk. Menatap gadis itu dengan senyum yang ia bisa. "Gimana? Udah enakan?""Udah," kata gadis itu setelah mengangguk, "tapi kepala Zia sering pusing. Kenapa, ya?"
"Lo cuma pusing biasa, nggak akan ada yang aneh." Danu berusaha meyakinkan meskipun ia tidak bisa menolak ketakutan di dalam hatinya.
Gadis itu hanya membalas dengan senyuman kecil dari bibir. Jika yang dia rasakan adalah pusing seperti biasa, Zia tidak akan menanyakan hal itu pada Danu. Sakit kepala yang sering menyerangnya itu tidak seperti biasanya, sakit itu benar-benar luar biasa.
Seorang perawat datang membawa sebuah nampan berisi bubur untuk gadis itu makan siang. Dengan sigap, Danu segera menerima dan mulai mengaduk isinya agar langsung Zia makan.
"Zia nggak mau makan." Gadis itu menggeleng saat sendok itu hampir sampai di mulutnya, "nggak selera makan."
Danu berdecak. "Lo harus makan, Zi. Nanti kalau lo udah sembuh, gue janji bakal nurutin apa pun yang lo mau."
"Kalau?" Satu alias Zia terangkat.
Danu meraih pipi Zia, meyakinkan bahwa dirinya pasti akan sembuh. "Lo pasti sembuh. Asal lo mau makan dan rutin minum obat."
Sendok yang tadi ia letakan pada mangkuk bubur, kini kembali diangkatnya. Gadis itu akhirnya membuka mulut.
"Gimana hasil Rontgen?"
Gadis itu menggeleng. "Kata dokter, hasilnya keluar malam ini.""Oh, bagus, dong." Tangan cowok itu kembali mengarah pada mulut Zia.
Setelah mengunyah suapan kedua, Zia menatap Danu dalam-dalam. Kesedihan terpancar di mata gadis itu. "Danu ...," panggilnya dengan suara bergetar.
Danu mendongak."Zia boleh minta sesuatu?" pinta Zia yang menghentikan pergerakan Danu.
"Apa pun."
Sesaat, gadis itu menghela napas panjang. Ia mengedipkan matanya berkali-kali demi menahan air mata yang mulai menggenang.
"Jangan jauh-jauh dari Zia...," katanya yang lebih terdengar seperti sebuah rintihan. "Zia takut."
Dengan sudut bibir yang ia tarik ke atas, Danu mengelus pipi gadis itu lembut. "Nggak usah takut, gue selalu ada di samping lo. Apa pun yang akan terjadi."
*****
Di atas meja yang terletak di dapur rumah Danu, berserakan segala kertas yang mengungkapkan tentang identitas ayah biologis sahabatnya. Dibantu oleh dua temannya yang lain, akhirnya segala rahasia terungkap.
Awalnya ia sudah curiga saat membaca nama yang tertera pada lembar hasil tes DNA itu. Namun, ia tidak bisa langsung menyimpulkan hal tersebut sebab banyak yang harus ia selidiki.
Diraihnya ponsel untuk menelpon Davin dan meminta penjelasan lebih lanjut. Ia benar-benar tidak percaya pada kenyataan yang barusan ia terima.
Beberapa kali nada sambungan berbunyi sebelum sahabatnya itu mengangkat telepon. "Kenapa, Nu?" tanya Davin.
"Vin, lo udah pastiin ini semua benar, kan?"
"Iya. Gue juga nggak pernah nyangka kalo dugaan lo ternyata bener," kata Davin di seberang telepon sana.
Cepat-cepat Danu memutuskan panggilan telepon kemudian menjambak rambutnya kasar. Dugaannya benar. Bagaimana mungkin Danu tidak menyadari bahwa wajah mereka mirip meskipun terlihat sekilas. Juga dengan sorot mata yang nyaris sama persis?
Berkali-kali ia meyakinkan dirinya bahwa semua ini salah. Namun, berkali-kali juga kenyataan menamparnya agar mengerti segalanya.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika percaya bahwa dunia tak selebar daun kelor, maka seharusnya ia dengan mudah percaya, ia seharusnya bisa menerima kenyataan bahwa mereka memanglah satu darah.
Mereka adalah kakak adik yang dipisahkan oleh hal-hal yang dirahasiakan bertahun-tahun lamanya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
3DZia : Rasa (Sudah Terbit)
Teen Fiction"Kata orang, tertawa yang membuat kita bahagia, tetapi kenapa justru luka yang hadir setelahnya?" Content creator dengan nama 3DZia team adalah milik empat manusia absurd bernama Danu, Devan, Davin, dan Zia. Karena sangat akrab, mereka memutuskan un...