Danu berjalan pelan setelah mendengar suara tangis yang diyakini berasal dari kamar Zia. Tanpa menunggu waktu lama, ia bergerak mendekat ke arah pintu kamar untuk memastikan jika suara yang didengarnya benar-benar suara Zia. Setelah yakin, ia mengetuk jendela beberapa kali, tetapi tak kunjung dibuka.Dari suara tangis yang didengar, cowok itu dapat merasakan perih yang Zia rasakan. Isakan itu mampu mengiris hatinya. Tak hanya perih yang dirasakan, tetapi juga sedih saat sadar jika dirinya tidak lagi ada di sisi gadis itu saat tengah terluka.
"Zi ...," panggil cowok itu pelan setelah mengetuk jendela sekali lagi.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampilkan Zia yang tengah berdiri sambil berusaha menyuguhkan senyum terbaik yang dapat ditampilkan. Helaan napas panjang terdengar jelas dari mulut Danu sebelum mengiring gadis itu ke ayunan kayu yang ada di teras rumah.
"Udah?" Danu menatap Zia. "Zi, lo masih enggak mau cerita sama gue?"
Bukan Kanzia Razita namanya jika langsung menceritakan penyebab kesedihannya. Gadis itu justru menunduk sembari menatap kakinya yang sedang mengayun.
"Kanzia, cerita sama gue, please!"
Danu berdecak sebal karena sifat keras kepala yang dimiliki sahabatnya. Ia mencubit pipi Zia agar menoleh ke arahnya. Tepat setelah mata mereka bertemu, setetes air bening mengalir dari sudut mata gadis itu."Danu...," isak Zia dengan air mata yang mengalir kian deras.
Tak tega melihat Zia serapuh ini, Danu memeluk sahabatnya demi meringankan sedikit beban. Meskipun gadis itu tidak menceritakan apa-apa, setidaknya ia bisa sedikit membantu untuk menopang tubuhnya
Mendapat perlakuan tak terduga, Zia justru memejamkan mata kemudian menarik napas dalam-dalam sekali lagi demi menutupi lukanya. Seperti biasa, ia tidak ingin terlihat lemah di depan siapa pun. Ia yakin jika dirinya bisa kuat dan akan baik-baik saja meski hidup tanpa siapa pun. Setelah meyakinkan diri, gadis itu tertawa pelan yang membuat Danu melerai pelukan.
Tawa Zia semakin keras saat melihat ekspreksi bingung dari Danu. Tak hanya Danu, siapa pun yang melihatnya tertawa dengan mata sembab seperti sekarang pasti akan merasa bingung.
"Bingung, ya?" tanya Zia kemudian kembali tertawa. "Biasa aja, dong, mukanya!"
"Lo kenapa, sih, Zi?"
"Zia lagi belajar akting, haha! Danu enggak ingat kalo 3DZia bentar lagi mau ikut lomba film pendek, ya?"
Lagi-lagi Danu berdecak kesal. Mungkin itulah sebabnya kenapa Zia semakin menguatkan tangis saat ia mengetuk jendela. Ternyata gadis itu sedang berlatih untuk mengikuti lomba.
"Mau ke mana?" tanya Zia saat melihat cowok itu berdiri.
"Pulang."
"Zia beneran lagi sedih." Danu seketika berbalik. "Tapi bohong, haha!"
Mendengar decakan Danu, Zia kembali berujar, "Zia beneran sedih. Serius, deh!"
Melihat sorot mata penuh ketulusan itu, akhirnya Danu kembali duduk pada posisi semula. "Mau cerita sama gue?" Gadis itu mengangguk. "Ya udah, gue dengerin."
"Tadi ... tadi Zia pengen beli Es Krim Magnum, tapi enggak punya uang. Beliin, ya?"
*****
"Tumben enggak ikut futsal."
Ayumi menatap cowok di depannya yang sedang menatap orang lain yang hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Orang itu adalah Zia. Mungkin cowok itu bingung karena Zia mengobrol dengan Dina. Yang Danu tahu, Zia tidak terlalu suka bermain dengan perempuan,apalagi dengan Dina, tetapi kenapa sekarang justru berteman dekat.
"Danu?" panggil Ayumi lagi saat cowok itu tak kunjung menjawab.
Danu mengerjap. "Apa?"
"Kenapa enggak ikut futsal?"
"Bosen."
Ayumi terkekeh sejenak. "Tumben banget seorang Danu Adhiatma bosen main futsal."
Danu mengangkat bahu untuk merespons ucapan Ayumi. Jika cowok itu bukanlah orang yang sudah dikenal lumayan lama, Ayumi pasti bingung kenapa Danu selalu berbicara singkat padanya
"Gue mau nanya, deh."
"Apa?"
"Lo temenan sama Zia dari SD, kan?" cowok itu mengangguk. "Berarti kalian jagain Zia terus, dong?"
"Iya, emang kenapa?"
Ayumi tersenyum. "Kalian sayang banget, ya, sama dia. Sampe rela ngelakuin apa pun?"
Setelah membalas ucapan Ayumi dengan senyuman, Danu kembali menatap Zia yang sedang tertawa bersama teman sebangkunya yang sekarang. Saat mendengar tangis Zia semalam, ia tidak benar-benar yakin dengan apa yang dikatakannya tadi malam. 3DZia teammemang akan mengikuti lomba film pendek, tetapi gadis itu tidak mungkin latihan menangis sampaimembuat matanya bengkak seperti sekarang.
Sudah sejak lama ia tidak yakin jika tangisan itu hanya karena sedang merindukan ibunya. Karena ia merasa jika memang ada sesuatu yang mengiris luka gadis itu lebih dalam.
"Lo suka sama Zia, ya?"
Mendengar pertanyaan Ayumi, Danu sontak menoleh. Ia mengernyit karena bingung dengan tingkah Ayumi hari ini. Ia tidak tahu mengapa pertanyaan yang dilontarkan selalu mengarah pada Zia. Tidak hanya saat duduk di teras kelas seperti sekarang, tetapi juga saat di kelas tadi. Ia memilih tak menjawab dan hanya menatap gadis itu dengan datar.
Di lain tempat, Zia sempat mendengar pertanyaan Ayumi. Ia juga menunggu jawaban cowok itu meskipun menatap dan mendengar ocehan Dina yang mengobrol tanpa henti.
Kesal karena Zia tak merespon ucapannya, Dina memukul lengan Zia cukup kuat. "Zi, lo denger gue enggak, sih?"
"Aw! Sakit!" keluh Zia sambil mengelus tangannya yang terasa nyeri.
Dina terkekeh. "Siapa suruh lo enggak dengerin gue!"
Zia melepaskan tangannya. "Lo ngomong apa, emang?"
Teman sebangkunya itu memajukan tubuh menandakan jika hal yang ingin dibicarakan adalah hal yang benar-benar penting. "Gue ada gosip...." Decakan terdengar dari bibir Zia yang membuat Dina sontak mundur. "Gosip ini ada hubungannya sama sahabat lo!"
Dina berhasil membuat Zia tertarik untuk mendengarkan. "Gue denger ... Ayumi itu udah nggak PW."
Alis Zia mengerut mendengar dua huruf yang tidak dimengerti. "PW? Apaan, sih?"
Dina berdecak. "Perawan," katanya masih dengan nada pelan sambil sesekali melirik ke arah Ayumi agar tidak ketahuan. "Ayumi udah enggak perawan. Dari gayanya aja udah kelihatan."
"Kelihatan?" Zia membalikkan badan demi melihat Ayumi. "Kelihatan apaan, sih?"
"Kelihatan kalo dia itu simpanan om-om."
Zia menghela napas panjang. Mungkin otak teman sebangkunya ini sudah sedikit bergeser sehingga bisa mengatakan hal yang belum tentu benar. Ia tidak ingin mempercayai sesuatu jika tak ada bukti yang mendukung. Sebab ia juga seorang perempuan yang pasti akan merasakan sakit hati jika mendengar tuduhan seperti itu jika berada di posisi Ayumi..
"Udah gila lo, ya?" kata Zia kemudian beranjak masuk ke kelas.
"Enggak percaya banget sih, lo!" teriak Dina saat Zia sudah benar-benar masuk ke dalam kelas.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
3DZia : Rasa (Sudah Terbit)
Teen Fiction"Kata orang, tertawa yang membuat kita bahagia, tetapi kenapa justru luka yang hadir setelahnya?" Content creator dengan nama 3DZia team adalah milik empat manusia absurd bernama Danu, Devan, Davin, dan Zia. Karena sangat akrab, mereka memutuskan un...